Dari ketinggian, ia bisa melihat sebuah tanaman luas yang rindang. Daun-daunnya yang menghijau. Hujan, badai, panas terik tak menghalanginya untuk memberi kesan sejuk nan teduh bagi yang melihatnya.
- Kesal.
Pagi, siang, sore,ia bisa menikmatinya, tepatnya dari tempat tidur yang menghadap ke taman luas itu. Baginya yang tanggal di hunian vertilal, maka pemandangan itu mengingatkan pada halaman luas di depan rumah di masa kecil dulu. Kalau hati sedang galau, memandangi taman yang asri itu saja, ia seperti sedang menelan obat penenang. Apa lagi kalau cuaca sedang berbaik hati, matahari sore menjadi .latar belakang yang mencolok, membuat pemandangan di taman itu seperti lukisan yang menawan sekaligus menakjubkan. Belakangan, pemandangan ke taman yang rimbun itu seperti sebuah pelipur lara. Bahkan menjadi semacam pembuka mata. Ketika hujan turun dengan derasnya, angin yang menerpa begitu kencangnya, ia bisa menyaksikan pepohonan itu meliuk mengikuti terpaan angin kencang dan hujan yang deras.
Ketika matahari menyengat pohon-pohon besar itu berdiri kokoh. Pada suatu pagi dihari libur, ketika,cuaca setengah panas dan setengah mendung, ia memandangi taman itu. Di tengah acara leyeh-leyeh di tempat tidur, ia berpikir untuk menjalani hidup seperti pepohonan itu. Belakangan ini perjalanan hidup yang ia rasakan terlalu drastis naik dan turunnya. Macam menaiki roller ceaster. Ia dipenuhi dengan kekesalan, ketidakmenentuan, ketidakadilan hidup yang entah kenapa mejadi begitu terasa, problem datang bertubi-tubi, mudah tersinggung, nasihat yang diberikan beberapa orang pada kenyataan hanya seperti pepesan kosong. Ia berusaha dengan baik dan benar, ia mengikuti aturan main dengan benar, tetapi semua berjalan berantakan. Sehingga rencana tak kunjung terlaksana dan malah amburadul. Maka benarlah kata ungkapan "it take two to tango".
Kekesalan, kekecewaan, tujuan dan target yang belum juga kunjung, percintaan, mempertahankan hubungan, pembunuhan karakter dan pembunuhan lainnya, hanya karena beberapa pihak tidak menyepakati melakukan dengan sepenuh hati. Persis seperti orang berkendaraan di jalan umum. Ada manusia yang mengendarai kendaraan dengan baik dan benar, tetapi tahukah di jalan raya itu, tak semua manusia memiliki niat mengendarai dengan prinsip yang sama. Maka kecelakaan terjadi, atau mulut kemudian mengumpat karena ada saja yang nyaris membuat kecelakaan terjadi.
- Bijak.
Ada manusia yang mau naik dan ada yang mau turun. Ketika yang mau naik bertemu dengan yang mau turun, hasilnya manjadi amburadul. Yang naik bertemu dengan yang naik atau yang turun bertemu dengan yang mau turun, maka hidup menjadi lebih baik. Ada yang mau di depan seperti boneka, ada yang mau di belakang mangendalikan yang di depan. Ada yang berani berteriak dangan lantang, ada yang memporakporandakan dalam diam. Tetapi masalahnya tak ada yang tahu apakah manusia akan setia mau naik atau turun, kapan ia mau menjadi dalang, kapan ia mau menjadi boneka, atau kapan ia mau menjadi keduanya. Kapan ia mau berteriak secara nyata dan kapan ia memporakporandakan dalam diam.
Maka melihat kembali ke pepohonan di taman luas itu, huh......ia seperti melihat rahasia hidup ayem tentrem. Ada matahari dan terik yang menyengat, pepohanan itu tetap berdiri kokoh. Ia mungkin melakoninya dengan berpikir bahwa adanya matahari membantunya bertumbuh lebat dan mejadi rindang. Ada hujan badai dan angin kencang, yaaaaa..... meliuk saja bersama hujan dan angin. Beberapa rantingnya yang sudah rapuh patah dan terbuang, itu tidak mengecewakan, karena terbuang itu sebuah pembersihan, akan diganti dengan yang baru dan lebih kokoh. Namun ia tak tahu persis apakah pohon-pohon itu bisa berbicara bahwa dia juga kesal dalam melakoni hidupnya setiap hari. Tak bisa protes akan panas terik yang menyengat dan hujan deras yang menguyurnya. Tetapi entah kesal atau tidak, pohon-pohon itu sudah meneduhkan mata, ketika gegap gempita hidup ini menyilaukan mata.
Dia telah memberi tumpangan berteduh, dan daun-daunnya yang rimbun telah memayungi mereka dan kami yang beristirahat di bawahnya. Dia menjadi "obat penenang"ketika kegalauan menyerang hari-hari. Di telah menjadi paru-paru untuk sebuah kota. Maka mesti berlatih untuk bisa meneduhkan orang lain ketika diri sendiri sedang kesal. Barangkali harus bisa nembiarkan dan tidak kecewa karena beberapa ranting dalam hidup ini harus di buang.
Mungkin ranting yang harus dibuang itu adalah perasaan iri hati, perasaan takut, perasaan terancam, keinginan mengadu domba, menjadi dalang yang culas, mau menjadi boneka, dan sejuta ranting busuk yang membuat pohon kehidupan tak bisa tumbuh kokoh serta rimbun, dan yang terutama tak mampu meneduhkan. Bisa saja pohon-pohon itu sedang mencoba memberi cara baru yang out of the box, untuk melahirkan kebijakan dari sebuah kekesalan hidup.
{Yustinus Setyanta}