Kita dapat berduiskusi tak henti akar persoalannya mungkin karena ekonomi, persaingan dalam lapangan kerja, tiadanya peneladanan, survival hidup, dan banyak lainnya. Tetapi, secara piskologi, ada pertanyaan lebih mendasar: meski alasan-alasan di atas, menpapa harus melakukan kejahatan berkekerasan yang sadis?
Suatu konsep paling dasar tampaknya harus disinggung adalah 'empati'. Empati bicara menenai "kemampuan untuk melihat dan merasakan dunia dari sudut pandang dan penghayatan orang lain". Dapat dipilah dalam "empati kognitif" mengacu pada kemampuan manusia unuk mengambil perspektif mental dari orang lain dan "empati emosional" yang menunjuk pada kemampuan untuk dapat menghayati perasaan yang dirasakan oleh orang lain. Keduanya berbeda. Mengapa orang miskin mencuri, misalnya, "ia terpaksa mencuri karena rasa tidak punya pilihan lain, sementara ia harus makan, dan anak-anaknya harus makan, dan ia sudah pernah ketahuan, jadi ia memantapkan perilakunya mencuri". Ini contoh mengenai empati kognitif. Bila kita berpikir "kasihan sekali ya orang itu, terpaksa harus mencuri. Kalau kita ada di posisinya, bisa saja pusing dan bingung sekali melihat bayi menangis karena tidak memperoleh susu yang cukup, anak-anak lapar dan tidak bisa sekolah.....", ini adalah contoh empati emosional.
Pemahaman Kognitif.
Empati atau pemahaman kognitif diperlukan agar kita dapat bertahan dalam dunia sosial yang sangat kompleks. Kita belajar dari dan menganalisa situasi yang dihadapi orang lain atau ada dihadapan kita untuk dapat mengatasi persoalan. Bila orang kuat dalam empati atau pemahaman kognitif tapi tidak punya empati emosional, ia dapat menjadi orang yang kompetitif, tidak peduli, dan melakukan pelanggaran-pelangaran yang merugikan orang lain bahkan dapat menuduk sekenanya beberbuat salah. Ini karena fokus perhatiannya adalah mencari pengetahuan untuk dapat menemukan peluang dan cara-cara menguasai kompleksitas hidup, bagaimana bisa memperoleh yang paling maksimal dengan cara yang paling strategis.
Orang yang kuat dengan dominasi pengetahuan kognitif, tetapi berkekurangan empati emosional, mungkin tidak mengalami kebingungan menghadapi dunia sosial. Bisa jadi ia justru punya keterampilan sosial yang tinggi dan terlihat menarik. Mereka punya pemahaman kognitif yang baik sehingga memberikan kesan seolah sensitif atau peduli akan emosi orang lain, tetapi sebenarnya tidak demikian. Karena tidak punya empati emosional, orang-orang seperti ini tidak punya hambatan untuk mengambil manfaat atau melukai orang lain, sulit merasa bersalah, tidak punya perasaan.
Ada pula orang yang mungkin tidak memiliki empati kognitif ataupun empati emosional. Orang seperti ini mengalami kebingungan memahami kehidupan sosial, tidak mengerti bagaimana harus menipu dan memanipulasi orang lain. Tetapi ia juga tidak mampu menghayati perasaan dan pengalaman orang lain. Mungkin saja ia melakukan ketahatan atau melukai orang lain. Tetapi, karena bukan orang yang pandai memanipulasi dan mengelabui, barangkali ia jadi orang suruhan saja, atau ikut-ikutan dalam kelompok, bukan jadi pemimpin atau otak kejadian.
Empati Emosional.
Empati Emosional.
Jadi, empati yang selama ini sering kita bahas sebenarnya menunjuk pada empati emosional, dan ini pada umumnya terjadi. Tidak cukup untuk memiliki empati kognitif saja. Untuk hidup yang manusiawi, sangat penting untuk kita juga memiliki empati emosional, bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain: ikut gembira ketika orang lain mengalami keberhasilan dan mampu menghayati sakit dan kesedihan yang dirasakan orang lain. Memang empati emosional juga sangat tinggi bisa menganggu juga. Bayangkan bila kita mudah sekali tertular emosi negatif (sedih, takut, marah) atau sangat peka akan situasi yang dihadapi orang lain. Mungkin itu akan mengganggu dalam memfokuskan perhatian pada tugas-tugas kita dalam mengatasi persoalan yang kita hadapi sendiri.
Lantas, bagaimana pejelasannya, hingga ada orang yang tidak memilikinya, dan mampu melakukan hal-hal sang buruk kepada orang lain? Ada yang menjelaskan, kepribadian anti sosial mungkin merupakan strategi perkembangan diri individu yang rentan secara genetik akibat dipicu pola pengasuhan yang kacau atau buruk. Orang yang punya keterampilan tinggi memahami kondisi mental orang lain tetapi tidak punya empati emosional diduga mengembangkan karakteristiknya sebagai bentuk strategi hidup.
Otak-atik kita yang dimulai dengan keheranan menjelaskan fenomena kriminalitas, misalnya begal motor akhirnya merembet pada kasus-kasus kejahatan lain hingga kejahatan terorganisasi. Pelaku begal bisa jadi (meski tidak selalu) orang rendah dalam pemahaman akan situasi mental dalam empati akan kondisi emosional orang lain. Tetapi, orang yang berkehendak melakukan kejahatan canggih barangkali justru oran yang punya kemampuan tinggi dalam memahami kondisi mental orang lain. Muncul pertanyaan-pertanyaan baru: apakah pejelasan tidak ada atau hilangnya empati emosional selalu harus dikembalikan pada pola pengasuhan (individu) di masa kanak? Bagaimana dengan peran lingkungan sosial atau konteks lebih makro di masa remaja atau dewasa? Mengapa bahkan ada orang yang bersusah payah memilih untuk bergabung dengan kelompok yang mengambil ideologi kekekesasan sebagai dasar eksistensinya (seperti NIIS)?
Lantas, bagaimana pejelasannya, hingga ada orang yang tidak memilikinya, dan mampu melakukan hal-hal sang buruk kepada orang lain? Ada yang menjelaskan, kepribadian anti sosial mungkin merupakan strategi perkembangan diri individu yang rentan secara genetik akibat dipicu pola pengasuhan yang kacau atau buruk. Orang yang punya keterampilan tinggi memahami kondisi mental orang lain tetapi tidak punya empati emosional diduga mengembangkan karakteristiknya sebagai bentuk strategi hidup.
Otak-atik kita yang dimulai dengan keheranan menjelaskan fenomena kriminalitas, misalnya begal motor akhirnya merembet pada kasus-kasus kejahatan lain hingga kejahatan terorganisasi. Pelaku begal bisa jadi (meski tidak selalu) orang rendah dalam pemahaman akan situasi mental dalam empati akan kondisi emosional orang lain. Tetapi, orang yang berkehendak melakukan kejahatan canggih barangkali justru oran yang punya kemampuan tinggi dalam memahami kondisi mental orang lain. Muncul pertanyaan-pertanyaan baru: apakah pejelasan tidak ada atau hilangnya empati emosional selalu harus dikembalikan pada pola pengasuhan (individu) di masa kanak? Bagaimana dengan peran lingkungan sosial atau konteks lebih makro di masa remaja atau dewasa? Mengapa bahkan ada orang yang bersusah payah memilih untuk bergabung dengan kelompok yang mengambil ideologi kekekesasan sebagai dasar eksistensinya (seperti NIIS)?
Memang masih banyak yang belum dapat dijelaskan. Diperlukan piskologi yang interdishplin, yang terpapar pada berbagai cara berpikir dari disiplin ilmu lain, untuk dapat menjelaskan berbagai fenomena sosial khusus secara lebih komprehensif, dan menelurkan rekomendasi penanganan yang lebih tepat.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar