Selasa, 10 Desember 2013

PETANI DI PEDESAAN

Sering kita dengar ada orang yang mengatakan bahwa tanah air kita ini memiliki tanah yang subur dan cocok
untuk pertanian. Pernyataan tersebut seolah mengidentifikasikan negeri ini pada aktivitas pertanian, hal tersebut memang tidak keliru, namun adanya kesuburan tersebut bukan berarti pertanian kita telah menyejahterakan semua petaninya. Kenyatannya ada petani yang sejahtera dan ada yang hidup sederhana.

Suatu kali di sebuah desa yang masih alami suasana alam kala itu ku berjumpa dengan seorang petani, yang ramah sembari kami ngobrol dan menikmati singkong rebus dan teh
 “Di sini kami hidup apa adanya, nak. Barangkali terasa berat, tetapi tetap akan kami jalani. Kami percaya bahwa semua hal ada yang baik. Bahkan dalam suasana sejelek apapun juga. Bukankah selalu ada tawa bahkan biar kita susah bagaimana juga? Kami hanya perlu merasakannya. Dan menikmatinya....” Demikian kata-kata bijak seorang bapak petani tua yang menetap jauh di pedesaan. Jauh dari keramaian kota. Dan jalan menuju ke lokasinya yang tidak beraspal. Berdebu di musim panas.

Tiba-tiba ku mengingat kalimat-kalimat itu, saat membaca atau mendengarkan berbagai keluhan atau protes mengenai hidup ini. Barangkali memang, kian banyak keinginan kian banyak pula keluhan kita. Seberapa banyakkah dari kita yang sadar betapa hidup yang kita bayangkan sesungguhnya sulit atau mustahil sama dengan hidup yang kita jalani. Dan saat kita merasa gusar terhadap apa yang dilakukan orang terhadap kita, karena kita merasa tak sesuai dengan apa yang kita inginkan, sadarkah kita bahwa kita sungguh meninginkannya? Jangan-jangan keinginan itu timbul justru saat kita menerima atau merasakan apa yang telah dilakukan orang lain. Sementara jika orang itu tak melakukan sesuatu apapun justru kita juga tidak memiliki keinginan yang berbeda.

Hidup itu sulit jika kita tak mampu menyederhanakannya. Hidup menjadi pelik jika kita hanya mau menerima tanpa mampu memberi, sedang saat menerima kita merasa tak pernah puas dengan apa yang kita dapatkan. Padahal kita sendiri sesungguhnya tak tahu apa yang kita inginkan. Sebab kita tak mengetahui sebelum seseorang melakukan sesuatu yang ternyata kemudian tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Dan itulah soalnya. Kita tidak membutuhkan sesuatu yang belum ada. Tetapi saat dia menjadi ada, kita ternyata tak merasa puas.

Tetapi dapatkah kita hidup dengan seadanya disaat kita dilingkupi dengan aneka macam keberadaan benda-benda yang tak mampu kita miliki? Dan disaat yang sama pula tak mampu kita ciptakan sendiri? Tidakkah pada akhirnya, semuanya itu membuat hidup kita menjadi lebih rumit. Dengan beban keinginan, hasrat dan ambisi yang tidak berkesudahan. Kesemuanya membuat kita terperangkap dalam obsesi untuk mencari solusi namun bila ternyata kita gagal, dapat membuat hidup kita menjadi pahit. Atau malah putus asa.

“Di sini kami hidup apa adanya”, kata petani tua itu. Dengan kata lain, di sini hidup, bagi mereka, adalah suatu kesederhanaan. Sebab, “selalu ada tawa dalam kondisi susah bagaimana pun”. Jauh di lokasi yang terpencil, dimana kesunyian menjadi sahabat sehari-hari, hidup ternyata menjadi lebih ringan. Daripada di kota-kota yang mengagumkan dengan cahaya kelap-kelip dan tak pernah tertidur, namun ternyata sering kita merasakan kesusahan yang bersembunyi di antara tawa ria yang bergemuruh. Kesepian di tengah keramaian. Kesengsaraan di tengah kemewahan.



Yustinus Setyanta
Desa Krembangan - Panjatan - Kulon Progo - Yogyakarta 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar