Mungkin sebagian besar orang jika ditanya tempat mana paling nikmat untuk menatap matahari terbenam, mereka akan menjawab itu adalah pantai. tak peduli pantai pasir putih, hitam, karang, beton, tebing; yang penting tetap saja berupa batas daratan dengan lautan. Seharian berkeliling dengan panas yang membara, dan sempat mampir tidur sebentar mampir di perkebunan buah naga lantas ku bergerak merapat menuju sebuah pantai di pesisir Yogyakarta, yang terletak di Kabupaten KulonProgo. Nama desa dan kecamatan tidak begitu saya tahu, tetapi pantai ini merupakan salah satu pantai andalan objek wisata di daerah ini.
Jalanan berupa aspal yang masih bagus dan dilengkapi dengan petunjuk arah tidaklah menyulitkan bagi kami untuk menemukan gerbang tiket untuk masuk ke kawasan objek wisata ini. Sebagian besar pantai telah diberi pemecah ombak untuk mengurangi gempuran ombak yang mengakibatkan abrasi keras pada pantai pasir hitam ini. Bentukan pemecah ombah yang unik menjadikannya objek menarik sebagai pemanis ketika akan narsis narsisan. Tanpa lama bergerak sajalah ku ke ujung-ujung pemecah ombak ini. Bentukan pemecah ombah yang unik menjadikannya objek menarik sebagai pemanis ketika akan narsis narsisan. Tanpa lama bergerak sajalah ku ke ujung-ujung pemecah ombak ini.
Bentukan pemecah ombah yang unik menjadikannya objek menarik sebagai pemanis ketika akan narsis narsisan. Tanpa lama bergerak sajalah aku ke ujung-ujung pemecah ombak ini. Menatap senja yang tertutup mega, namun tetap meneruskan kilaunya sore itu.
Jauh di tengah laut, sebuah biduk kecil nampak kesepian terombang-ambing gelombang. Beberapa ekor camar melayang lepas dan sesekali satu dua ekor nampak seakan mengambang di atas biduk itu. Dunia tenang, seakan mengambil istirahat setelah pergulatan dalam udara yang terik dan gerah sepanjang hari ini. Dan pantai glagah yang jauh dari hiruk pikuk kota mulai berbenah menuju malam yang menjelang tiba. Aku menyerap suasana itu tanpa kata. Tanpa hasrat untuk berkata-kata. Dan memang, ada banyak hal dalam kehidupan yang kita jalani ini, takkan bisa dijelaskan hanya dengan kata. Ada banyak hal yang hanya bisa dijalani dan dialami. Serta diresapi. Keindahan, kesunyian, kerinduan, kelembutan selalu membawa rasa damai dalam hati walau hanya sekejap. Dan itu cukup sebagai pengimbang segala kesibukan kita sepanjang hari yang dilintasi.
Waktu adalah milik kita. Dan ketika kusadari itu, aku mengenang mereka-mereka yang selalu merasa kekurangan waktu. Bagi mereka, waktu tak pernah cukup. Waktu tak pernah cukup, bukan karena mereka tak punya waktu, namun karena merasa tak pernah cukup kesempatan untuk terus meraih kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang terus menerus membayangi kehidupan mereka. Waktu adalah milik kita. Kita bukan milik waktu. Sebagai pemilik, kitalah yang harus mengatur penggunaannya, dan bukan waktu yang mengatur kita. Sesekali, kita layak untuk berhenti. Layak untuk menikmati waktu yang kita miliki. Layak untuk melihat ke sekeliling kita. Sungguh, petang hari di pantai Sorong ini, aku menyaksikan kehidupan yang berjalan bersama keberadaanku sendiri. Kita ini memang sekecil debu, namun juga pusat kehidupan. Tanpa kita, tanpa keberadaan kita, bukankah tak ada hidup? Dan tak ada waktu? Ya, mungkin tetap ada hidup dan waktu, tetapi bukankah kita tak pernah akan mengetahui dan mengenalnya?
Waktu adalah milik kita. Dan ketika kusadari itu, aku mengenang mereka-mereka yang selalu merasa kekurangan waktu. Bagi mereka, waktu tak pernah cukup. Waktu tak pernah cukup, bukan karena mereka tak punya waktu, namun karena merasa tak pernah cukup kesempatan untuk terus meraih kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang terus menerus membayangi kehidupan mereka. Waktu adalah milik kita. Kita bukan milik waktu. Sebagai pemilik, kitalah yang harus mengatur penggunaannya, dan bukan waktu yang mengatur kita. Sesekali, kita layak untuk berhenti. Layak untuk menikmati waktu yang kita miliki. Layak untuk melihat ke sekeliling kita. Sungguh, petang hari di pantai Sorong ini, aku menyaksikan kehidupan yang berjalan bersama keberadaanku sendiri. Kita ini memang sekecil debu, namun juga pusat kehidupan. Tanpa kita, tanpa keberadaan kita, bukankah tak ada hidup? Dan tak ada waktu? Ya, mungkin tetap ada hidup dan waktu, tetapi bukankah kita tak pernah akan mengetahui dan mengenalnya?
Malam menjelang tiba. Langit perlahan tenggelam dalam kekelaman. Dan makin banyak pula yang berdatangan memenuhi sepanjang pantai ini. Mereka datang bergerombol. Berpasangan atau hanya seorang diri. Tak ada yang peduli. Tak ada yang menghalangi. Hidup ada untuk dinikmati. Waktu ada untuk dijalani. Sebaik-baiknya. Sepasang kekasih tadi. Entah kemana, aku tak tahu. Mendadak aku merasa betapa kita, ya kita semua, sesungguhnya hanyalah pendatang di bumi yang indah ini. Kita semuanya hanyalah pendatang. Yang kita miliki hanyalah sang waktu. Waktu yang akan mengawal kita hingga akhir. Dan sebagai pendatang, kita tak pantas mengeluh. Sebab pada akhirnya, kita semuanya akan pulang kembali. Berpulang kembali Kepada BAPA........
Yustinus Setyanta
Kulon Progo - Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar