Ku lihat ke seputar. Hanya ada beberapa pegunjung malam minggu kala itu. Meja dan kursi sebagian besar kosong. Pembicaraan teman-temanku nampak menguasai keheningan tetapi tak seorang pun yang mau peduli. Dua orang teman lainnya, yang sedang berkelana di dunia maya, kelihatan serius dan sesekali ada senyum tersungging di bibir mereka. Kami berempat, bermuka-muka secara fisik. Tetapi tiba-tiba ku merasa ganjil. Benarkah kami berempat? Benarkah dua orang teman yang sedang asyik chatting itu bersama kami sekarang?
High Tech. Tehnologi canggih. Di jaman modern ini, kata orang, kemajuan tehnologi telah menghilangkan sekat waktu dan tempat bagi umat manusia. Dan ku melihat pada teman-temanku yang sedang sibuk chatting, mungkin sedang bersenda gurau atau membicarakan sesuatu yang serius dengan seseorang yang tak kami kenal, jauh di ujung bumi sana. Ah, ku sendiri pun tak tahu apa yang sedang mereka ketikkan dalam tombol-tombol keyboard laptop mereka, android mereka. Tetapi tiba-tiba saya merasa terasing dan ada jarak yang jauh antara kami, kami dekat secara raga tetapi jauh, bahkan tidak terhubung sama sekali dalam komunikasi saat kami sedang berhadapan muka ini. Hal ini mengherankan bagiku. dalam benakku jangankan dengan teman yang di bilang orang terdekat pun demukian halnya, sibuk dengan iPod, sibuk dengan android, dan semacamnya, katimbang ngobrol penuh keakraban dan kehagatan.
Dan inilah ironi kemajuan tehnologi sains dan komunikasi. Sering kita merasa jauh lebih dekat dengan seseorang yang berada jauh di ujung bumi daripada seseorang yang sedang berada langsung di depan kita. Bahkan sering kita mengetahui sesuatu peristiwa yang terjadi di daerah-daerah atau negara-negara lain yang jauh sementara apa yang sedang berlangsung di depan rumah kita sendiri, sama sekali tak kita ketahui. Kemajuan tehnologi membuat kita terpesona dan larut dalam beragam informasi yang, bagai gelombang tsunami, melanda kita di dunia maya. Namun, tetangga kita yang saat ini mungkin sedang kesulitan, mungkin sedang menderita, mungkin sedang berduka cita atau mungkin sedang diterpa musibah, luput dari pengetahuan kita. Mengherankan?
Tidak. Saat kita sedang membaca tulisan ini, kita tahu, bahwa kebanyakan dari kita bukanlah mereka-mereka yang saat ini sedang mencari nafkah sambil menjajakan barang di mal-mal mewah. Kita bukanlah mereka yang saat ini berada di perempatan jalan sambil menjajakan koran atau hanya menadahkan tangan. Kita bukanlah mereka yang saat ini sedang menyabit atau mengolah kebun dan sawah sambil dengan rasa syukur melihat ke langit yang mendung. Kita bukanlah mereka yang saat ini sedang berada di tengah laut yang bergelombang sambil, dengan rasa was-was, menebarkan jala dan mengharapkan tangkapan yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya. Karena sebagaian besar dari mereka bahkan tak tahu apa itu internet.
Suasana hening, di sebuah cafe, malam minggu. Kami berkumpul bersama untuk berbincang-bincang, namun toh, kami merasa bahwa ada jarak yang terentang antara kami. Walau dekat secara fisik, kami jauh dari hati dan rasa. Komunikasi nampak lebih intens pada tombol-tombol keyboard, pada layar-layar sentuh daripada lewat kalimat-kalimat yang kami utarakan. Maka, saat pertemuan kami nantinya usai, apakah yang tertinggal di memori kami adalah hasil perbincangan antara kami secara fisik, ataukah justru hasil dari perbincangan lewat chatting dengan seseorang yang berada jauh di sana? Entahlah. Di luar cafe ini hujan mulai menderas.
"Ya, Allah Bapa, di era digital dan global ini, utuslah Roh Kudus-Mu kedalam hati setiap manusia, agar sabda kebenaran-Mu dapat membuat kami bijak di dalam menggunakan alat komunikasi dan berkomunikasai dalam kebenaran-Mu. Terlebih bagiku sendiri ya Tuhan agar lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan alat-alat komunikasi." Amin
(Yustinus Setyanta)
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar