Anak-anak selalu menakjubkan. Mereka dapat menangis dan marah karena keinginannya tidak dikabulkan tetapi dalam sekejap dapat tertawa gembira karena tawaran lain telah diberikan. Mereka dapat bertengkar karena memperebutkan sesuatu tetapi dalam sekejap larut dalam permainan bersama dengan asyiknya.
Anak-anak memang selalu menakjubkan kita. “Setiap bayi lahir bersama pesan bahwa Tuhan belum putus asa pada manusia” (Rabindranath Tagore – Burung-Burung Liar, 77). Tidak, Tuhan tidak pernah putus asa kepada manusia, memang. Tetapi semakin jauh usia menyeret kita ke arah kedewasaan, semakin jauh pula kita dari kegembiraan masa anak-anak kita. Kita menjadi demikian mudah mengutuk cuaca yang buruk. Kita demikian panjang mengingat kekecewaan kita. Kita demikian lama mengenang kepahitan hidup. Dan, walau Tuhan tak pernah merasa putus asa terhadap kita, kita sering merasa putus asa terhadap-NYA.
Petir menyambar dan anak-anak itu bersorak, walau kami serasa demikian cemas. Namun, mereka bertiga demikian bersemangat sehingga tetap berjalan sambil berpegangan tangan. Dengan wajah yang polos, mereka menembus hujan dengan mantel hujan yang kedodoran. Tanpa takut. Penuh harapan. Sesuatu yang sering terlupakan oleh saya, para orang tua, bahwa hidup, walau penuh dengan kesulitan dan tantangan, selalu menyimpan rahasia berkat yang harus kita nikmati.
Sebab memang, ada banyak hal yang tidak dapat kita kuasai. Ada banyak peristiwa yang tak akan mampu kita duga sebelumnya. Maka haruskah kita merasa kecewa dan sakit hati bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan? Haruskah kita merasa putus asa bila segala sesuatu yang tak pernah kita inginkan menimpa kita? Haruskah kita kita berpikir bahwa kita telah diperlakukan secara tidak adil bahkan oleh Tuhan sendiri bila segala rencana dan hasrat kita tidak dapat kita raih? Tidakkah kita, seperti juga anak-anak itu, dan kita pun pernah menjadi salah satu dari mereka, dulu, sadar bahwa hidup menyimpan sesuatu yang lebih indah daripada cuaca buruk atau musibah yang sedang berlangsung. Lagi pula, siapakah kita sehingga menghasratkan agar segala sesuatu harus berjalan sesuai dengan ambisi kita?
Hujan deras di pagi hari. Langit kelam. Dan petir. Dan guruh. sembari menunggu hujan reda ku termenungkan ada aja yang di jadikan manusia untuk mengeluh daripada mensyukuri; ketika musim hujan "waah...kok hujan mulu" ketika musim panas ; "wah....kok udara panas" Kembali kupandangi Ketiga anak-anak itu kulihat mereka menghilang di balik deretan ruko dan pepohonan satu dua yang tumbuh di tepi jalan. Dan tiba-tiba kami sadar bahwa kita, sama seperti anak-anak itu, harus tetap melewati musim yang buruk. Harus tetap berjalan menembus hujan dan cuaca yang tidak mendukung. Dan walau, tetap kita wajib melindungi diri ini dengan mantel hujan yang mungkin kedodoran juga, kita mesti dapat menerima segala kesulitan itu tanpa banyak mengeluh. Bahkan menikmatinya sebagai satu anugerah lain dari Tuhan sendiri. Kita toh tidak dapat memilih apa yang baik atau tidak baik sesuai dengan keinginan kita sendiri. “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:13).
Jogja-2009
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar