Dalam pola sebab-akibat, memahami Allah sungguh tidak mungkin, karena kita tidak akan menemukan sebabnya. Jika hal ini dipaksakan, maka Allah menjadi sebuah obyek yang kemudian terlepas dari ke-Allah-anNya sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah memahami kehendak-Nya, karena kehendak-Nya itu bersebab. Satu-satunya yang menjadi sebab dari kehendak-Nya adalah Dia mengasihi manusia. Kasih-Nya menjadi sumber penyebab semua yang terpancar dari-Nya. Kasih-Nya menjadi satu-satunya alasan Dia berkehendak. Dengan demikian memahami dengan benar, adalah menempatkan setiap peristiwa sebagai kehendak yang merupakan ungkapan dari kasih-Nya.
Ketika kita gagal, ketika jatuh, hal itu bukanlah hukuman atau kutukan dari-Nya, namun Dia berkehendak agar kita menyadari kekurangan dan keterbatasan kita. Yang acapkali terjadi ketika jatuh dan gagal adalah menyalahkan orang lain atau nasib buruk yang menyebabkan kita jatuh dan gagal. Bahkan kita menyalahkan Allah dan menjadi tidak percaya kepada-Nya. Ketika kita sakit dan menderita, hal itu bukan kutukan dan hukuman, tetapi Dia memberi kesempatan bagi kita untuk lebih mendengarkan Dia berbicara. Yang umum terjadi kemudian adalah, kita lebih banyak mengeluh dan merintih. Kita lebih sibuk memohon dan terus berbicara kepada-Nya tanpa memberi kesempatan bagi-Nya untuk berbicara. Kita enggan diam, dan mendengarkan apa yang sebenarnya Dia kehendaki pada diri kita. Demikian juga ketika kita mengalami kegembiraan dan kebahagiaan, hal itu bukanlah hadiah atau upah karena kebiasaan kita, tetapi Dia memberi kesempatan bagi kita untuk berbicara kepada-Nya. Yang sering terjadi, kita bukan bersyukur dan bebicara kepada-Nya, melainkan sibuk berbicara dengan keinginan dan impian-impian kita sendiri.
Aku belajar dan belajar memahami kehendak-Nya dengan benar dalam kehidupan ku sehari-hari.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar