Minggu, 07 September 2014

MURID-NYA

     Aku ini murid-Nya, ya aku mengakui diri bahwa aku adalah murid-Nya. Sekalipun aku bukan termasuk ke dalam kelompok 12, sakipun aku bukan murid yang dipanggil secara istimewa untuk menjadi imam atau biarawan, tetapi aku adalah murid-Nya. Sekalipun aku adalah seorang awam, tetapi aku adalah murid-Nya. Maka sebagaimana murid-murid yang lain yang mengalami Dia, aku pun ingin mengalami Dia dalam kehidupanku.



       Kucoba untuk menyadari bahwa Dia ada di sampingku, lalu kucoba pula untuk menjaga kesadaran itu. Hal yang tampaknya sangat mudah namun ternyata sangatlah berat. Kesadaran itu demikian mudah lenyap. Ketika ada sedikit hal yang menarik, segera saja kesadaran itu hilang. Ketika ada yang mengusik emosi, langsung saja kesadaran itu lenyap. Dalam satu hari, hanya beberapa saat saja aku mampu terjaga kesadaranku akan diri-Nya.

      Keesokan harinya aku mencoba lagi. Kucoba dalam sehari aku bisa menjaga kesadaranku akan diri-Nya menjadi lebih lama dari kemarin. Ternyata tidaklah mudah, apa yang terjadi kemarin nyaris sama dengan yang terjadi hari ini, hanya sedikit waktu yang kusisakan untuk mengingat diri-Nya. Selebihnya, aku hidup tanpa diri-Nya. Berhari-hari kucoba dan kucoba lagi, namun kesetiaan akan kesadaraan itu tidak juga tumbuh. Sampai akhirnya aku berpikir bahwa semua ini sia-sia saja aku lakukan. Aku merasa diriku demikian tidak pantas dan demikin berdosa sehingga tidak mampu melihat kesadaran akan diri-Nya lebih lama lagi.

      Semilir angin pagi berhembus dan membawa hawa dingin yang menyegarkan. Udara segar itu kuhirup dalam-dalam. Dalam hati aku mengucap syukur bahwa sekalipun aku orang yang berdosa, namun Dia masih memberi karunia untuk bisa merasakan kesegaran ini. Kunikmati kesegaran itu, dan rasa syukurku semakin dalam...... Beberapa menit aku bisa mengalami kesegaran itu dan ketika sinar matahari pagi menyentuh kulitku, aku merasakan kehangatannya. Aku kembali bersyukur kepada-Nya, sekalipun aku ini pendosa namun masih boleh merasakan kehangatan ini. Rasa syukurku bergerak semakin dalam............,

      Perlahan aku menyadari bahwa ketika aku bersyukur, pikiranku melekat kepada-Nya. Sepanjang aku mampu bersyukur, seluruh perhatianku tertuju kepada-Nya. Segera aku pun tersadar, bahwa Dia hadir dalam setiap syukur yang aku ucapkan. Aku pun tersadar akan kebodohanku selama ini, bahwa tidak mungkin memisahkan Dia dari syukur. Mustahil memisahkan Dia dari kasih yang Ia pancarkan. Melalui syukur, aku mengalami Dia, dan melalui syukur pula aku berada dalam kesadaran akan diri-Nya.

(Sebuah Refleksi diambil dari Luk 6: 12-19)





{Yustinus Setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar