Perutnya keroncongan. Berjalan nunduk, konsentrasi buyar ke mana-mana. Mendadak tubuhnya terpental jatuh ke aspal, tubuhnya lunglai bagi daun rumput putri malu yang kesengol orang. Di tabrak sesosok tubuh, berjenis kelamin betina, woaa bermuka jorok tua bangka. Pakaiannya penuh tambalan aneka warna. Sekilas disimpulkan bahwa orang itu tidak genap otaknya. Sinting alias edan bin gila. Nenek yang juga terpental itu bangun lebih dulu. Bukannya menolong tapi malah mencengkram bahunya. Mengguncang-guncangkannya keras-keras.
"Dasar wong edan! Berjalan nggak lihat-lihat. Sinting! Teriaknya. Lalu diam. Ditatapnya wajah Si Samat lekat-lekat. Berseru kegirangan, "Wah kamu ganteng banget. Mirip pacarku dulu. Ku peluk kamu sekarang!". Samat gelagapan dalam dekapan. Sekuat tenaga membebaskan diri lalu ngacir kabur. Di warung dekat jembatan ia berhenti. Ingin makan dan minum. Dirogohnya sakunya. Kosong. Dompetnya lenyap. Ia yakin seratus persen, dompetnya dicopet.
Entah mengapa, nenek itu kerap mengembara di otaknya. Membayangkannya, ia jadi ingat pacarnya. Juga kurus seperti itu juga, tidak cantik seperti itu. Cuma, tidak edan seperti itu. Soalnya cewek, sejak akil baligh ia punya selera tertentu. Pantang pada yang berpotongan normal. Wajar kalau kali ini ia terobsesi habis-habisan. Di lacaknya jejak makhluk yang membuatnya tak bisa tidur itu.
Suatu pagi, matahari nogol di langit dengan wajah kecut. Dilihatnya nenek sinting itu menari di perempatan jalan. Mendadak berhenti saat metanya menatap lekaki muda berjalan menunduk di timur. Disongsong lalu ditabrak. Mereka terpental. Nenek itu bangkit duluan. Mendekati lekaki itu, mencengkram bahunya, mengguncang-guncanp, mendadak diam dan menatap lekat. Kejadian selanjutnya persis dengan yang dialami Si Samat dulu. Berikutnya nenek itu mengipasi wajahnya dengan sebuah dompet. Seratus persen Samat yakin, dompet tersebut milik lelaki tadi.
Berulangkali Samat menikmati nenek itu menjalankan modusnya yang aneh. Seperti sebuah hafalan. Tetapi dihiasi spontanitas tak terduga. Plastis dan intutif. Rasa penasaran mendorongnya ingin menggali karakter tokoh itu. Berminggu-minggu, matanya yang jalang mengamati gerak-geriknya. Tujuannya pasti. Untuk dijadikan model lukisannya.
Lukisan pertama dibuat. Begitu selesai langsung dibeli kolektor. Lukisan kedua begitu juga. Lukisan ketiga sampai ketujuh belas sama nasibnya. Tak menunggu hitungan hari sudah disikat peminat. Lukisan kedelapan belas sampai ketiga puluh lima lebih dahsyat lagi. Belum usai digarap sudah dibayar duluan. Berebutan lagi! Dalam waktu singkat Samat jadi raja uang. Hal ini sungguh misterius bin ajaib. Wah, pokoknya kejadian yang dialami Samat mirip banget dengan khayalan cerpenis yang malas berpikir. Yang imajinasinya dangkal. Asal produktif demi mengejar honor. Tidak logis. Anehnya amat menarik diikuti perkembangan ceritanya.
Suatu malam Samat tidur berbantal uang ratusan juta. Mata uang lembaran ratusan ribuan ditumpuk-tumpuk dan dikemas sedemikian rupa hingga bantal dan guling. Ia ingin menikmati kesuksesannya yang datang mendadak. Tidurnya betapa nyenyak. Hanya sedikit terganggu oleh mimpi pendek yang aneh. Dalam mimpinya ia bertabrakan dengan nenek gendut eksentrik, sinting bin edan alias gila. Urutan kejadiannya sama persis. Bahunya dicengkram, diguncang-guncang, dikejar-kejar sembari diteriaki, "Awas, kau!" cuma ending-nya beda dikit, dialah yang nyopet dompet nenek itu.
Bangun pagi ia berpikir keras. Betapa selama ini ia belum pernah berterima kasih pada nenek itu. Tak pernah memberikan apa pun meski sekadar sepotong roti ataupun sebungkus nasi kelinci. Kesadarannya ini membuatnya geram terhadap diri sendiri. Alangkah egoisnya makhluk bernama seniman yang tidak memiliki kepekaan terhadap keadilan hidup dan kehidupan.
Kanvas besar digelarnya. Ia pun bekerja siang-malam melukis figur nenek sinting itu. Menari di tengah taman bunga yang indah. Kupu-kupu aneka warna beterbangan mengitari tubuhnya. Mirip taburan merjan yang disebar oleh tangan malaikat dari langit yang penuh rahmat. Sesudah lukisannya rampung ia lega bukan main. Belum pernah ia membuat karya sebagus, seanggun dan sehebat itu. Ia tertekad akan menghadiahkan pada mata air yang menjadi sumber inspirasinya. Yaitu nenek sinting. Karya itu akan dijual semahal mungkin. Uangnya akan diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarganya agar bisa digunakan untuk memberikan perawatan yang layak. Ia bertekad mencari sisik melik keluargamya di manpun berada.
Hati Samat terpaku saat mengetahui studionya dibobol maling. Karya terbaiknya hilang. Ketika aku datang, ia duduk terpekur. Wajahnya gelap. Matanya mencorong memancarkan kemarahan. Dua botol bir besar kosong tegeletak di atas meja.
"Ah, dari pada stres mending kita jalan cari angin segar," kataku. Ia tak merespons. Kupancing lagi, "Atau kita cari beadarimu di tempat biasa. Siapa tahu setelah melihatnya lagi kau bisa melukis lebih dahsyat. Apa lagi kau mau bermain tabrak-tabrakan dan kejar-kejaran kayak dulu. Inspirasimu pasti menggumpal." "Sudah puluhan kali aku ke sana. Tak sekali jua melihatnya," jawabnya malas. "Coba kita lacak di tempat lain. Siapa tahu pindah lokasi," aku pun ngeyel.
Suatu malam Samat tidur berbantal uang ratusan juta. Mata uang lembaran ratusan ribuan ditumpuk-tumpuk dan dikemas sedemikian rupa hingga bantal dan guling. Ia ingin menikmati kesuksesannya yang datang mendadak. Tidurnya betapa nyenyak. Hanya sedikit terganggu oleh mimpi pendek yang aneh. Dalam mimpinya ia bertabrakan dengan nenek gendut eksentrik, sinting bin edan alias gila. Urutan kejadiannya sama persis. Bahunya dicengkram, diguncang-guncang, dikejar-kejar sembari diteriaki, "Awas, kau!" cuma ending-nya beda dikit, dialah yang nyopet dompet nenek itu.
Bangun pagi ia berpikir keras. Betapa selama ini ia belum pernah berterima kasih pada nenek itu. Tak pernah memberikan apa pun meski sekadar sepotong roti ataupun sebungkus nasi kelinci. Kesadarannya ini membuatnya geram terhadap diri sendiri. Alangkah egoisnya makhluk bernama seniman yang tidak memiliki kepekaan terhadap keadilan hidup dan kehidupan.
Kanvas besar digelarnya. Ia pun bekerja siang-malam melukis figur nenek sinting itu. Menari di tengah taman bunga yang indah. Kupu-kupu aneka warna beterbangan mengitari tubuhnya. Mirip taburan merjan yang disebar oleh tangan malaikat dari langit yang penuh rahmat. Sesudah lukisannya rampung ia lega bukan main. Belum pernah ia membuat karya sebagus, seanggun dan sehebat itu. Ia tertekad akan menghadiahkan pada mata air yang menjadi sumber inspirasinya. Yaitu nenek sinting. Karya itu akan dijual semahal mungkin. Uangnya akan diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarganya agar bisa digunakan untuk memberikan perawatan yang layak. Ia bertekad mencari sisik melik keluargamya di manpun berada.
Hati Samat terpaku saat mengetahui studionya dibobol maling. Karya terbaiknya hilang. Ketika aku datang, ia duduk terpekur. Wajahnya gelap. Matanya mencorong memancarkan kemarahan. Dua botol bir besar kosong tegeletak di atas meja.
"Ah, dari pada stres mending kita jalan cari angin segar," kataku. Ia tak merespons. Kupancing lagi, "Atau kita cari beadarimu di tempat biasa. Siapa tahu setelah melihatnya lagi kau bisa melukis lebih dahsyat. Apa lagi kau mau bermain tabrak-tabrakan dan kejar-kejaran kayak dulu. Inspirasimu pasti menggumpal." "Sudah puluhan kali aku ke sana. Tak sekali jua melihatnya," jawabnya malas. "Coba kita lacak di tempat lain. Siapa tahu pindah lokasi," aku pun ngeyel.
*****
Berboncengan sepeda motor kami kitari kota. Di setiap perempatan jalan raya mata kami pentalitan. Sungguh melelahkan pencarian yang menggelikan ini. Saat kami memutuskan untuk pulang tiba-tiba bidadari gendut itu muncul di ujung jalan. Ia menari dan tertawa ria. Kami mendekat, memarkir sepeda motor, mengamati segala peristiwa yang bakal terjadi. Belum habis sebatang rokok mendadak dikejutkan oleh raungan sepeda motor yang ngebut ugal-ugalan. Melaju ke arah bidadari kami yang asyik menari paipong. Kami menjerit tertahan. Tapi rupanya bidadari sigap menghadag. Yang terjadi malah di luar dugaan. Sewaktu melompat ke tepi jalan, ia nabrak pemuda ganteng yang berjalan menunduk. Keduanya terguling ke aspal.
Secepat kilat nenek itu bangun. Mencengkram bahu pemuda malang itu, mengguncang-guncang dan alur selanjutnya seperti bisa diduga. Perutku mengeras akibat terpingkal-pingkal melihat adegan kejar-kejaran yang heboh. Sambil rok warna-warni yang kembyar-kembyor ia berjingkat-jingkat mengejar di sertai lengkingan dramatis. Nenek itu menimang dompet hasil oleh kreativitasnya yang memukau. Mendadak ia disergap tiga orang polisi. Ia merota-ronta histeris. Tapi ketiga polisi itu makin kuat memegangi tubuhnya. Lalu datang mobil patroli polisi. Nenek itu dinaikkan ke mobil. Tangannya diborgol. "Kenapa nenek gila itu ditangkap Pak?" tanyaku pada salah satu polisi. Samat tampak emosional berdiri disampingku.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar