Bahwa kita berpikir karya sastra tidak bisa dipisahkan dari kekuatan imajinasi, tentu kita bersepakat. Yah, imjajinasi. Demikian dunia sastra menyebut 'analisis' dalam tulisan ilmiah (sebutlah artikel) dengan istilah imajinasi, sebagaimana misal bisa dinukil dari Jean-Paul Sartre. Sastra, pendek kata, di antaranya adalah buah imajinasi. Ini benar. Namun, buru-buru penting untuk segera ditegaskan bahwa kekuatan imajinasi seseorang (sastrawan) akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan analisisnya. State of mind (rangka pikir, mindset) demikian istilah yang sangat mewakili konteks ini. Jika seseorang menulis, cerpen, misal, tidak dengan dilandaskan pada kekayaan state of mind yang luas, dapat dipastikan cerpennya akan dangkal, muter-muter pengulangan belaka, sehingga menjadi minim makna. Mengapa? Sebab ia bak menulis dari ruang kosong belaka atas nama imajinasi yang alakadarnya itu.
State of Mind?
Karya fiksi haruslah memainkan peran bagi kehidupan pembacanya. Karya fiksi yang keren ialah karya yang berhasil menginternalisasi pembacanya, menpengaruhi pemikirannya dan kemudian dengan sendirinya beranjak ke perilaku nyatanya. Dan agar sebuah karya sastra bisa mencapai level ini, selain ia harus memikat hati pembacanya dengan struktur cerita/narasi yang kuat, ia perlu mengandung State of Mind yang keren. State of Mind adalah kerangka pikir yang logis sistematis dan filosofis, bercirikan argumentasi yang kuat berdasarkan analisa data. Ia berlandaskan kerangka teori, lalu melihat kenyataan. Telah menempuh proses pendalaman (kontemplasi, permenungan), sehingga detail kisi-kisinya terbangun dengan baik dan menghadirkan kesimpulan nilai yang bertenaga. Ide yang kelak dituliskan oleh seorang penulis/sastrawan yang memiliki state of mind yang baik, pastilah tidah lahir dari sesuatu yang instan, tanpa riset dan asal bercerita saja.
Apakah ini berarti bahwa sastrawan itu tak ada bedanya dengan ilmuwan yang menulis karya-karya ilmiah?
Apakah ini berarti bahwa sastrawan itu tak ada bedanya dengan ilmuwan yang menulis karya-karya ilmiah?
Iya, mau itu sastrawan, seniman, ilmuwan, atau pun penulis awam, semuanya sama-sama cendikiawan, si agent of social change. Akan betapa urgennya posisi mereka dalam dinamika peradaban. Dalam pengkat sebagai penulis, semuanya sama saja. Dan pangkat ini jelas mensyaratkan kekuatan State of Mind.
Mereka (Sastrawan, Ilmuwan) berada dalam hal teknis menulisnya belaka. Jika seorang cerpenis atau novelis menulis dengan struktur cerita maka ilmuwan fisika, umpamanya, ia menulis dengan struktur makalah/artikel. Di luar struktur teknis berlandaskan pada state of mind. Penulis yang tak menyadari prinsip ini hanya kan menjelma 'mesin' dan apalah yang menarik dari sebuah mesin kecuali kemampuan mekanis-produktifnya?
Gizi Buat Sastrawan.
Tanpan ampun, penulis haruslah selalu mengasup dirinya dengan gizi-gizi bacaan dan pergaulan yang luas. Kian luas tentu kian keren. Sejarah sastra indonesia telah menujukkan dengan gamblang bahwa semua sastrawan terkemuka kita adalah orang-orang yang memiliki state of mind yang luas.
Jika kita bicara, ngobrol atau dengarkan para sastrawan, semuanya rata-rata mempelihatkan kekuatan state of mind. Lalu menyimak juga dengan sebagaian penulis cerpen yang produktif sekalipun yang namanya malang-melintang di media sosial atau sosmed, jika muncul jurang kemampuan analisis antara mereka, maka itulah sebeneranya pangkal masalah yang membedakan kelompok pertama dan kedua itu. Umumnya, godaan genit yang paling sukses menjebak para penulis sastra kita ialah produktivitas tanpa diikuti seletivitas. Pokoknya asal nulis, nilis dan nulis. Pokoknya asal kirim, kirim dan kirim.
Tentu, juga sepakat tidak otomatis penulis produktif itu hanya akan menghasilkan karya picisan, sebagaiana penulis tidak produktif akan menelorkan karya emas. Tidak. Letaknya bukan pada pada seberapa banyak karyamu, tetapi lebih pada seberapa sadar penulis untuk menyertai energi menulisnya dengan asupan gizi-gizi bacan, sharing dan pembelajaran, sehinga karyanya dari waktu ke waktu senantiasa menghadirkan point of view yang unik, mulai dari kata-kata atau kosa katanya hingga maknanya.
Kita memiliki nama macam Tere Liye, misal, yang novelnya sangat banyak. Ia tergolong penulis produktif. Tetapi, setiap kita membaca vovel terbarunya, selalu ada'keunikan' di dalamnya, yang menunjukkan bahwa ia selalu berjuang untuk membesarkan diri dari pergaulan dan pengulangan ala mesin. Itulah kekuatan point of view-nya setiap kali menulis. Keberhasilan macam ini jelas berdiri di atas kaki state of mind yang terus di-up datae, diperluas.
Rasa telah cukup tahu, cukup piawai, cukup senior dan sejenisnya, merupakan virus-virus penanda kematian seorang penulis di pantas kompetisi yang keras ini. Saat seorang sastrawan membiarkan dirinya begitu, sejak saat itulah ia sesungguhnya telah membiarkan dirinya menjadi mesin, bkua lagi cedikiawan, apalagi agent of social change.
Tentu, akhirnya, berpulang kepada level kesadaran masing-masing penulis. Hukum 'State of Mind' akan senantiasa bekerja sedemikian kausalistiknya. Di titik manapun seoran sastrawan atau penulis berhenti mengasupi state of mind-nya, maka hanya di titik itu pulah ia akan tercatat. Tak lebih. Keep fighting! ~¿¤)
Tentu, juga sepakat tidak otomatis penulis produktif itu hanya akan menghasilkan karya picisan, sebagaiana penulis tidak produktif akan menelorkan karya emas. Tidak. Letaknya bukan pada pada seberapa banyak karyamu, tetapi lebih pada seberapa sadar penulis untuk menyertai energi menulisnya dengan asupan gizi-gizi bacan, sharing dan pembelajaran, sehinga karyanya dari waktu ke waktu senantiasa menghadirkan point of view yang unik, mulai dari kata-kata atau kosa katanya hingga maknanya.
Kita memiliki nama macam Tere Liye, misal, yang novelnya sangat banyak. Ia tergolong penulis produktif. Tetapi, setiap kita membaca vovel terbarunya, selalu ada'keunikan' di dalamnya, yang menunjukkan bahwa ia selalu berjuang untuk membesarkan diri dari pergaulan dan pengulangan ala mesin. Itulah kekuatan point of view-nya setiap kali menulis. Keberhasilan macam ini jelas berdiri di atas kaki state of mind yang terus di-up datae, diperluas.
Tentu, akhirnya, berpulang kepada level kesadaran masing-masing penulis. Hukum 'State of Mind' akan senantiasa bekerja sedemikian kausalistiknya. Di titik manapun seoran sastrawan atau penulis berhenti mengasupi state of mind-nya, maka hanya di titik itu pulah ia akan tercatat. Tak lebih. Keep fighting! ~¿¤)
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar