Udara di luar terasa menyengat, padahal waku baru menunjukkan pukul 09.00. Di saat kesendirian Tika asyik mengamati anak-anak didiknya, karena di sana sering ditemui berbagai ekspresi. Anak didiknya sedang mengerjakan tulisan apa saja yang menarik minatnya.
Tiba-tiba, pintu berderit. Sesosok wajah tampan muncul di ambang tintu. Ia datang terlambat lagi seperti biasanya. Agak ragu, ia mendekati mejaku. Entah kenapa Tika tidak dapat meninggikan suara untuk bertanya kepadanya. "Pagi, Bu! Maaf saya terlambat lagi!" Alvin mendatangi meja Tika meminta maaf dengan berbata. "Kenapa telambat lagi?" tanya Tika serta mengamati wajah Alvin, telihat tidak ingin mengatakan alasan keterlambatannya. "Ya, sudah duduk dan kerjakan tugasmu!". Tika bingung dengan dirinya sndiri, kenapa tidak bisa marah dengan siswa yang satu ini. Ada apa dengan ini. Ketika ia duduk di kursinya, tanpa berkedip Tika mengamati wajahnya. Terhitung waktu hampir 15 menit, terlihat kertasnya masih bersih belum ada sepotong kalimat pun yang tergores. Ketika Tika melewati mejanya, tanpa sadar membaca guratan di wajahnya. Kosong! Terlitas sebuah tanya, ada apa dengan yang satu ini? Ditepuk-tepuk pundaknya. Dipalingkan wajahnya ke arah Tika. Di matanya Alvin menemukan sebuah bndungan yang hampir jebol tanggulnya. Tika balik menatapnya. Ya, Tuhan! "Alvin, boleh kita bicara nanti? Temui ibu di ruang tamu?" kata Tika. "Apakah saya bersalah, Bu?" Alvin menjawab dengan tubuh gemetar. Alvin melihat wajah Tika dengan pandangan termangu. Ia tertegun sejenak. Matanya menerawang jauh masuk ke dalam dirinya. Tika tidak sanggup bebalas tatapan wajah Alvin. Ia begitu murung. Entah apa yang membuatnya murung.
Cakrawala kian tak bersahabat, ketika Alvin menemui Tika di ruangan tamu siang itu. Nampak wajahnya pun sata tidak bersahabtnya dengan udara di luar sana. Ia melangkah ragu. Tangannya meremas-remas ujung kemeja putih yang dikenakanya. Pergumulan di benak Tika kian seru, karanya melihat wajahnya yang ditekuk begitu pula dengan matanya yang kosong, seringkali dijumpai di kelas. Senyumnya yang mahal membuat Tika termangu resah. Perasaan sesak gelisah. Di benak bayangan kekosongan wajahnya menggelitik mengusik ketenangan Tika...... "Alvin, bolehkah kita berteman?" Tiba-tiba meluncur pertanyaan yang dianggap tidak masuk akal, karena Tika bingung ingin membukanya dari mana. Ditatapnya wajah tika, sementara mendung bertambah mengelanyut di matanya. "Kenapa kamu sering terlambat, dengan alasan yang tidak jelas?" Tanpa menjawab pertanyaan Tika tanggul air di matanya jebol, ambrol juga. Tika merasakan pergumulan di benaknya Alvin kian seru, maka pertanyaan beikuatnya tidak diajukan. Dibiarkan berdamai dulu dengan dirinya. Namun tiba-tiba, "Saya benci papa mama!" kalimat itu keluar dengan berbata-bata.
Tika nyaris mengeluarkan pertanyaan baru, tapi, "Kenapa aku dilahirkan, kalau pama mama tidak pernah menyapaku? Aku dibiarkan terlantar?" "Anak ayam saja sejak ditetaskan selalu dijaga dan ditemani induknya, kemana pun melangkah".
Realitas muram itulah yang kini terpampang terang benderang di hadapan Tika. Di biarkan Alvin menumpahkan segalanga. Dengan sekuat tenaga ia menceritakan kenapa sering datang terlambat. Alvin selalu menunggu papa mama pulang. "kenapa, Bu, papa mama tidak pernah punya waktu untukku? Sibuk dengan kesenaganya sendiri. Sejak kecil aku selalu ditemani Mbak Irma. Dialah yang menyiapkan segala keperluanku, terkadang rapot pun diambil olehnya. Perhatian kasih sayang banyak tercurah dari Mbak Irma". Sebuah suara keluar lagi dari mulut Alvin yang begitu kusut, "Mama tidak pernah tau menau diriku, apalagi melayani" "Alvin, bukankah manusia dilahirkan bukan untuk dilayani tetapi akan bahagia bila kita dapat melayami?". Tika memotong ceritanya ditengah isak yang tertahan. "Besok pagi, coba minta bantuan Mbak Irma menyiapkan sarapan untuk papa mama, bagaimana?" Lalu jawab Alvin dengan ketus, "Untuk apa, Bu? Bukankah itu teguran manis untuk mereka?" Tika menegarai keraguannya. "Tapi, Bu....." Tika melihat wajah Alvin dengan pandangan termangu, kemudia tertegun sejenak. Matanya menerawang jauh masuk lewat pikirannya.
Tika menangkup tangannya diatas kedua tangannya, "Bagaimana kalau kita berdoa." Tika tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Lamat-lamat terdengar doa yang begitu panjang. Dibiarkan Alvin bergumul dengan dirinya. Terlihat dipelupuk matanya, sungai itu telah mengering. Ia telah berdamai dengan dirinya. Doanya telah diakhiri dengan tanda salib.
Hari ini sang mentari bersinar kegirangan. Terlihat senyumanya sudah mucul di ujung bibir. Tiba-tiba, ia mencium telapak tangan Tika sebagai ucapan tdrima kasih. Tika merasa tidak memiliki apa-apa, selain dirinya yang dibawa kesana-kemari menuemukan awan-awan mendung di setiap pelupuk wajah manis anak-anak.
(Yesaya 40:31) |
Sekian.
{Yustinus Setyanta}