Maraknya tren selfie yang kian meramaikan berbagai situs jejaring sosial tak terlepas dari penampilan seseorang. Semakin menarik penampilan maka akan semakin selfie, berbagai ekspresi atau gaya berfoto juga semakin populer, apalagi teknologi fotografi yang ditawarkan gadget kian beragam. Para warga 'sosmed' pun selalu membubuhkan tanda pagar (tegar) #selfie pada setiap foto selfi yang diungguhnya. Foto-foto itu diungguhnya ke situs jejaring sosial atau untuk gambar profil di aplikasi pesan. Ada yang melakukan selfie pada saat moment-moment tertentu untuk mengabadikan moment yang ditemuinya.
Kata selfie baru saja terpilih menjadi word of the year atau kata paling penting pada 2013 oleh kamus Oxford. Meski sebenarnya, aktivitas mengabdikan potret diri itu sudah ada sebelum era fotografi digital. Perkembangan teknologi membuat selfie tumbuh pesat. Pilihan ini tentu saja diperdebatkan seluruh dunia. Para kritikus bahasa mengatakan selfie adalah fenomena budaya modern yang sebenarnya memalukan. Ada pun Guardian menulis, selfie adalah fenomena budaya yang sebenarnya sudah dimulai beribu tahun lalu. Saat julius caesar meletakan wajahnya di atas kain kuno. Keinginan caesar yang punya sifat narsistik itu yakni agar wajahnya bisa dilihat sesering mungkin oleh warganya. Well, tanpa disadari, tujuan membuat selfie termyata juga seperti itu, bukan?
Kini seiring perkembangan teknologi tersebut, ukuran kamera semakin menyusut dan semakin mudah digunakan. Ditambah dengan mewabahnya media sosial mewabah makin bayak pula aksi foto sendiri yang kemudian biasanya diungguh ke situs-situs jejaring sosial. Sejak saat itu pula istilah selfie mulai muncul. Istilah selfie mulai marak digunakan ketika media sosial (mesos) muncul. Pada awal 2000 seiring tenarnya situs MySpace, banyak penggunanya memasang foto diri (self portrait). Fenomena 'self portrait' makin berkembang kira-kira 2005 ketika facebook mulai menjadi situs jejaring sosial terpopuler, akhirnya untuk menyingkat penyebutannya muncullah istilah "selfie".
Sah Saja Kok, Asal....
Foto selfie dapat memberikan kesan dan penilaian pada individu yang melakukan selfie. Dampaknya bisa positif, bisa negatif. Selfie dikakukan seseorang cenderung memahami sudut pengambilan foto dan ekspresi seperti apa yang akan membuatnya lebih menarik. Dengan mengambil sendiri foto diri, hasil yang didapat dirasakan lebih baik dibanding bila foto itu diambil org lain. Lantaran tak melibatkan orang lain untuk melakukan foto diri, pelaku selfie jadi merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk berpose. Tak ada lagi kata malu atau sungkan.
Menurut psikologi klinis; Meski memiliki keunggulan, selfie yang dilakukan secara berlebihan artinya tanpa komitmen pengendalian diri tentu bakal berdampak negatif, misalnya ketika dilakukan untuk mencari perhatian di media sosial secara berlebihan demgan mengungguh selfie saat tengah mengalami gejolak emosi. Bila aspek emosi dan motivasi melakukan selfie tidak sehat, maka selfie menjadi kurang tepat dikakukan. Apalagi ketika itu menjadi kebiasaan. Misalnya karena sedang galau kemudian menguplod foto selfie sedang sedih atau menangis. Dampak lainnya juga bisa terjadi pada kehidupan relasi dengan orang terdekat. Pada beberapa kasus, orang yang tenggelam dalam tren itu mengalami gangguan keharmonisan dengan orang terdekat. Pasalnya selfie yang diungguh ke media sosial dapat memberikan kesan dan penilaian pada individu yang melakukan selfie. Lantas, bagaimana agar selfie tetap dalam koridor aman? Salah satu tekniknya adalah dengan menghindari melampiaskan emosi dengan cara kurang tepat. Untuk melampiaskan emosi dengan mencurahkan isi hati kepada orang terdekat atau orang yang dapat dipercaya. Atau juga bisa menerapkan menajemen stress untuk mengatasi emosi negatif sehingga tak melampiaskannya dengan merekam sendiri ekspresi dan menyebarkannya di media sosial. Pertimbangkan matang-matang keuntungan dam kerugian mengungguh dan berbagi foto self sebelum membagikannya ke sosial media.
Kini seiring perkembangan teknologi tersebut, ukuran kamera semakin menyusut dan semakin mudah digunakan. Ditambah dengan mewabahnya media sosial mewabah makin bayak pula aksi foto sendiri yang kemudian biasanya diungguh ke situs-situs jejaring sosial. Sejak saat itu pula istilah selfie mulai muncul. Istilah selfie mulai marak digunakan ketika media sosial (mesos) muncul. Pada awal 2000 seiring tenarnya situs MySpace, banyak penggunanya memasang foto diri (self portrait). Fenomena 'self portrait' makin berkembang kira-kira 2005 ketika facebook mulai menjadi situs jejaring sosial terpopuler, akhirnya untuk menyingkat penyebutannya muncullah istilah "selfie".
Sah Saja Kok, Asal....
Foto selfie dapat memberikan kesan dan penilaian pada individu yang melakukan selfie. Dampaknya bisa positif, bisa negatif. Selfie dikakukan seseorang cenderung memahami sudut pengambilan foto dan ekspresi seperti apa yang akan membuatnya lebih menarik. Dengan mengambil sendiri foto diri, hasil yang didapat dirasakan lebih baik dibanding bila foto itu diambil org lain. Lantaran tak melibatkan orang lain untuk melakukan foto diri, pelaku selfie jadi merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk berpose. Tak ada lagi kata malu atau sungkan.
Menurut psikologi klinis; Meski memiliki keunggulan, selfie yang dilakukan secara berlebihan artinya tanpa komitmen pengendalian diri tentu bakal berdampak negatif, misalnya ketika dilakukan untuk mencari perhatian di media sosial secara berlebihan demgan mengungguh selfie saat tengah mengalami gejolak emosi. Bila aspek emosi dan motivasi melakukan selfie tidak sehat, maka selfie menjadi kurang tepat dikakukan. Apalagi ketika itu menjadi kebiasaan. Misalnya karena sedang galau kemudian menguplod foto selfie sedang sedih atau menangis. Dampak lainnya juga bisa terjadi pada kehidupan relasi dengan orang terdekat. Pada beberapa kasus, orang yang tenggelam dalam tren itu mengalami gangguan keharmonisan dengan orang terdekat. Pasalnya selfie yang diungguh ke media sosial dapat memberikan kesan dan penilaian pada individu yang melakukan selfie. Lantas, bagaimana agar selfie tetap dalam koridor aman? Salah satu tekniknya adalah dengan menghindari melampiaskan emosi dengan cara kurang tepat. Untuk melampiaskan emosi dengan mencurahkan isi hati kepada orang terdekat atau orang yang dapat dipercaya. Atau juga bisa menerapkan menajemen stress untuk mengatasi emosi negatif sehingga tak melampiaskannya dengan merekam sendiri ekspresi dan menyebarkannya di media sosial. Pertimbangkan matang-matang keuntungan dam kerugian mengungguh dan berbagi foto self sebelum membagikannya ke sosial media.
Tak ada salahnya memanfaatkan selfie sebagai hobi yang produktif dan bermanfaat sesuai passion. Namun, terlalu sering selfie dan sering memposting foto selfie di sosial media juga bisa membuat orang lain terganggu, atau memgalami gangguan piskologis.
Yustinus Setyanta
Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar