Hidup memang demikian. Dalam tawa dan tangis. Dalam suka dan duka. Maka setiap kita mengenang satu peristiwa di masa silam, sadarlah kita betapa sianya mengharapkan keabadian. Tonggak-tonggak kehidupan yang kini kita susun bersama, suatu saat akan tumbang dan berguguran menjadi puing-puing yang tak dikenali lagi. Kita toh, selalu memimpikan suatu menara babel yang baru. Tetapi apakah makna menara babel itu jika kita hanya hidup sekejap dalam jangka waktu yang panjang ini? Demi apakah kita berjuang untuk mewujudkan menara itu? Demi ambisi pribadi kita? Demi mengabadikan nama kita? Demi hal-hal yang tak mampu kita ucapkan saat ini? Seorang anak kecil berlarian di padang rumput. Celana pendeknya yang berwarna putih berkibaran kebesaran. Tiba-tiba dia melemparkan dirinya, berguliran di atas rumput yang hijau. Lalu dia melenting kembali, berdiri dengan tegak, sambil mengusapkan tangannya ke celananya. Warna putih yang tadi demikian cerah kini dinodai bercak-bercak coklat lumpur. Tetapi dia tidak peduli.
Dia kembali berlari sembil bersenandung kecil. Kotor? Apakah artinya itu bagi si bocah? Tidakkah pada akhirnya harus kita akui bahwa nilai suatu kegembiraan tidak ditentukan oleh apakah sesuatu itu harus putih bersih tetapi lebih ditentukan oleh kebebasan kita untuk menikmati hidup secara bersahaja? Maka belajarlah dari anak-anak itu seperti telah difirmankan oleh Yesus sendiri. Kita adalah butiran kecil air.
Kita adalah pelaku hidup. Kita adalah saksi. Kita adalah terdakwa. Kita adalah segala hal yang kita anggap. Tetapi lebih dari itu, kita harus menjadi anak-anak yang bebas untuk menikmati kegembiraan tanpa perlu membebani diri dengan segala ambisi dan hasrat. Maka maju menuju masa depan berarti maju menuju Dia yang telah menciptakan kita. Matahari. Bulan. Bintang. Alam. Bunga. Pepohonan. Rimba. Gunung. Bukankah mereka menyimpan keindahan yang tak tergantikan? Lantas, mengapakah kita ingin menggantikan segala ciptaan itu dengan akal dan perasaan kita? Toh, kita cuma setetes air yang hidup dan pada saatnya nanti kita akan menguap kembali kepadaNya.
Maka marilah kita memandang hidup ini dengan suatu keceriaan. Marilah kita meyakini bahwa bukan dengan segala macam ambisi dan hasrat kita tetapi hanya dengan mengikuti teladan dan cara Kristuslah hidup kita akan bermakna. Sebab kita semua hanya ciptaan. Kita semua dibentuk untuk memuliakan namaNya semata. Bukan demi nama kita. Semoga jika saatnya tiba, kita akan melayang kepadaNya sambil menyanyikan lagu pujian baru untuk Dia. Satu paduan suara dari sekian banyak insan ciptaan yang serasi, indah menawan dan menetap di hatiNya. Kita.
Yustinus Setyanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar