Rabu, 11 Maret 2015

POLITISASI AGAMA

Simbol agama menjadi salah satu isu hangat dalam jagat polotk tanah air. Sebagai bangsa yang beragama, masyarakat Indonesia rentan bersimpati jika petualangan politisi mengedepankan slogan, simbol agama, dan semangat religius. Sehingga sangat logis jika para politisi dan bahkan capres-cawapres mengusung slogan dan simbol agama. Meskipun demikian, penulis tidak membenarkan jika agama dibawa-bawa ke ranah politik dalam rangka mencari kekuasaan.

Dalam kontestan pilpres tahun 2014, partai politik yang berbasis agama menyebar kepada keduakan kandidat capres. Yang perlu dipahami bahwa antara agama dan politik adalah, membutuhkan agama sebagai rujukan untuk membangun moralitas, etika, dan kearifan dalam berpolitik. Bukan sebaliknya, yakni agama sebagai sarana untuk merebut kuasa tanpa etika. Namun sekarang ini, agama cenderung dimobilisasi ke arah politik praktis sehingga agama yang seharusnya bertujuan untuk jangka panjang, baik urusan dunia maupun akhirat, dieksploitasi ke arah politik praktis yang sifatnya sementara dan cenderung bertujuan untuk duniawi.

Tidak dapat di pungkiri bahwa para politisi dalam melakukan jelajah kempanye acapkali menggunakan jargon dan imbol agama dalam menjaring konstituen. Namun ketika sudah memperoleh apa yang diinginkan (msalnya menjadi wakil rakyat) ideologi dan ajaran agama jauh dari mereka. Inilah kenyataan, realita serta menjadi refleksi bagi si penulis. Namun lihat saja ketika penyelenggara negara (yang berasal dari partai plitik) menjadi tersangka korupsi. Mereka semua adalah kaum beragama, dan bahkan mereka memiliki posisi strategis di partai yang berideologi agama.

Perdebatan sengit masih sering terjadi ketika agama dibawa-bawa ke ranah politik. Yang pro terhadap hal itu menganggap bahwa agama penting dalam kerangka membangun politik. Hal ini dapat dilakukan oleh politisi yang mengalami degradasi moral, etika, akhlak dan pola pikir hedonis. Agama menjadi penunjang dan dapat meyeimbangkan akhlak sehingga tidak berperilaku koruptif serta mementingkan diri sendiri. Namun ada juga yang menentang persepsi tersebut. Agama tidak boleh dimasukkan ke ranah politik. sebab agama dan politik memiliki pergerakan yang berbeda-beda. Agama menghubungkan diri manusia dengan Tuhan sebagai hamba-Nya. Sedangkan politik merupakan urusan struktural dalam tatanan pemerintah. Kebijakan politik bisa saja berubah-ubah dalam hitungan detik. Namun dalam agama, keputusan dan hukumnya sudah mengikat dan tidak bisa di ganggu gugat.

Para politisi di negeri ini masih banyak yang berdiri dengan sendirinya berdasarkan persepi dan keyakinannya. Namun semuanya tidak dapat dipermasalahkan jika memang agama dimasukkan dalam politik selama tidak di politisasi atau menjadi kedok. Pasalnya, politisi tanpa beragama ibarat rumah tanpa penyangga. Agama sebagai sandaran dalam berpolitik agar semua yang diputuskan tidak merugikan masyarakat. Toh, semua agama tidak mengajarkan kecurangan, dan ketidakadilan. Agama selalu mengajarkan kesucian, kesalehan, kesantunan, dan kepribadian yang baik. Namun menjadi masalah jika agama di politisasi. Agama di jadikan topeng untuk menjarah kekayaan dan merampas hak-hak bangsa. Negeri ini akan celaka jika pemimpin yang terpilih diproduksi oleh politisasi agama. Semoga negeri/bangsa ini berpolitik secara santun tanpa harus membawa-bawa agama, suku, ras antar golongan.




(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar