Kamis, 05 Maret 2015

BAHASA KORAN

Masyarakat awam acapkali menempatkan koran pada posisi miring. Misalnya ketika harga kebutuhan pokok melambung dan pemerintah berusaha mengendalikannya dengan melakukan operasi pasar (OP). Dalam praktik, OP sering salah sasaran dan harga tetap melambung. Muncullah celetukan ”Itu kan (harga) menurut Koran. Beli saja di Koran!”. Pada sisi yang lain, koran sendiri menempatkan dirinya pada posisi yang seolah-olah merupakan cermin dari masyarakat, menggunakan ”bahasa masyarakat”. Istilah ”dimassa”dalam judul ”Gagal Merampok, Babak Belur Dimassa” (Radar Jogja, 31/3/07) dan ”Bobol Warung, Dimassa” (Bernas Jogja, 16/6/07) menurut kaidah berbahasa Indonesia jelas keliru. ”Massa” bukanlah kata kerja. Boleh jadi, istilah ini memang muncul dari masyarakat yang menjadi saksi (narasumber) di tempat kejadian, bisa juga datang dari narasumber lain yaitu aparat penegak hukum, atau ciptaan sang jurnalis.

Kelihatannya sangat sederhana, namun inilah salah satu cermin budaya sejumlah media. Bahasa sebagai unsur budaya dan menjadi faktor utama di media massa kurang mendapat perhatian dari pemilik atau pimpinan redaksi. Para redaktur tentu memiliki pengalaman kebahasaan yang lebih jauh, meski tidak berarti lebih baik (benar). Cara profesional untuk mengatasi problem ini adalah dengan memiliki editor bahasa. Tak punya dana untuk membayar editor bahasa? Cara lain adalah memberikan pelatihan-pelatihan bagi calon jurnalisnya, termasuk latihan berbahasa Indonesia dengan benar. Inilah sebenarnya salah satu misi yang harus dilakukan organisasi jurnalis. 




Pemilik dan Redaktur sebagai Agen Moral?

Ada kecenderungan umum media cetak lokal memberi porsi lumayan besar pada kepentingan pemilik dan pemodal sambil ”melupakan” pemberdayaan publik. Meski sudah memiliki kolom-kolom iklan, namun strategi ”berita iklan” masih dilakukan. Iklan-iklan ”seks” tidak selayaknya dimuat mengingat di antara khalayak umum di kota Yogyakarta adalah para pelajar tingkat dasar hingga menengah. Mereka seharusnya dapat memanfaatkan koran sebagai sumber belajar bila koran dikelola secara profesional, etis, berbudaya. Dalam pemberitaan kasus korupsi pengadaan buku di Kabupaten Sleman, posisi jurnalis terjepit di antara pemilik dan politisi lokal. Problem ini dapat diatasi bila pemilik media mengangkat sejumlah orang sebagai ombudsman. Demi profesionalisme dan kredibilitas media lokal, kehadiran ombudsman adalah keniscayaan.
Dalam menerapkan etika, orang yang membuat keputusan disebut agen moral. Namun dapatkah pemilik dan redaktur koran lokal menjadi agen moral? Bukankah pemilik lebih suka menikmati keperkasaannya sebab tak seorang pun, termasuk Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), dapat menyentuhnya? Kokohnya tonggak kemerdekaan pers yang termuat dalam UU Pers No 40 tahun 1999 dapat memancing tangan-tangan kekuasaan untuk melakukan revisi yang berujung pada lenyapnya kemerdekaan pers. Oleh karena itu penetapan KEJ justru merupakan titik awal dari kinerja panjang media secara profesional. KEJ juga selayaknya diikuti dengan berbagai upaya meningkatkan kualitas jurnalis seperti pemahaman metaetika, normative ethics maupun applied ethics. KEJ merupakan praktik self regulation, bila tidak ingin diintervensi kekuasaan.

Kunci memang ada pada kesungguhan pemilik media. Sekadar berbisnis atau menyelenggarakan media profesional. Profesionalisme media juga dibuktikan dengan dimilikinya editor bahasa, selain ombudsman. Kepedulian masyarakat terhadap berbagai pelanggaran media dapat mewujud dalam sosok ”Dewan Pers Daerah” yang juga independen. Dengan demikian peran agen moral bukan hanya dimainkan para jurnalis dan pengambil keputusan di media tetapi juga masyarakat terpelajar. Dalam demokrasi yang bergantung pada komunikasi massa, mereka memainkan peran penting.

{Yustinus setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar