Senin, 09 Maret 2015

METAMORFOSIS NOVEL MENJADI FILM

Tayangnya film Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh, yang diangkat dari novel karya Dee dengan judul yang sama baru-baru ini, ternyata mendapat sambutan yang meriah dari penggemar film tanah air. Padahal novel tersebut terbit untuk pertama kalinya sejak tahu 2001. Fenomena perayaan metamorfosis karya sastra ke layar lebar ini nyaris sama seperti ketika film Sang Penari yang diadaptasi dari novel Trilogi Ronggong Dukuh paruk karya A Toheri tayang pertama kali di bioskop.


- Rumah Produksi
   
    Memang, mengadaptasi novel ke layar lebar kini sudah menjadi semacam tren bagi rumah produksi. Tidak jarang, para penontonnya lebih banyak dari jumlah novel atau buku yang terjual. Ini tentu mengejutkan dan menggembirakan, tetapi juga membuat kita bertanya-tanya. Apakah para penonton film yang diangkat dari novel sudah membaca novelnya terlebih dahulu? Bisa jadi, kegemaran masyarakat Indonesia menonton film yang diangkat dari sebuah novel bukan disebabkan karena mereka ingin melihat versi audio-visual dari apa yang sudah mereka baca, tetapi disebabkan karena mereka sama sekali belum membaca novelnya dan lebih tertarik untuk menonton filmnya, karena masih melek huruf katimbang melek baca. Menonton film jauh lebih disukai masyarakat kita ketimbang membaca; itu merupakan asumsi yang masuk akal meskipun terdengar pahit.

    Bagi para novelis, diangkatnya karya mereka menjadi sebuah film tentu merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan. Sebab, selain buah amalnya akan semakin banyak tersiar novel yang dibeli rumah produksi film juga dapat menghasilkan pundi-pundi yang jumlahnya jauh lebih besar dari royalti yang diterima penulis dari penerbit.

    Tetapi, memang ada beberapa novelis yang tidak rela dan menolak karya-karyanya difilmkan. Sebutlah Paulo Coelho. Konon novelnya yang fenomenal berjudul Alkemis sudah banyak yang berminat untuk mengangkatnya ke layar lebar, tetapi toh coelho menolak. Coelho tidak ingin imajinasi pembaca menjadi sempit gara-gara novelnya ditafsirkan dalam bentuk film.

    Nah, untuk novelis Indonsia, adakah yang berani menolak jika karya mereka diangkat menjadi film? Ada!. Tetapi kebanyakan, novelis Indonesia berlomba karyanya dapat diadaptasi ke layar lebar. Se-orang novelis yang karya-karyanya banyak diangkat menjadi film, yakni Asma Nadia mengakuinya secara terang-terangan. Dalam sebuah wawancara di sebuah surat kabar.

- Mengekang Imajinasi

    Tidak salah mengidamkan karya kita diangkat ke layar lebar. Tetapi menulis novel jelas berbeda dengan menulis script. Menulis dengan maksud ditujukan agar karya tersebut dilirik rumah produksi sama halnya mengekang imajinasi penulis itu sendiri. Persoalnya apakah sebuah novel menarik atau tidak bagi rumah produksi tentu ada banyak faktor yang melatarbelakangi. Bukan semata karena novel tersebut mudah dan cocok di angkat ke media audio-visual, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan pasar.

    Film memiliki hukum pasar tersendiri yang meskipun bisa dikaitkan dengan pasar perbukuan tetapi tidak bisa disamakan. Tidak semua novel bagus cocok untuk difilmkan. Tetapi secara umum hampir semua novel yang laris selalu dilirik rumah produksi.

    Apa yang kemudian terjadi? Jika peminat film cenderung cepat meningkat seiring dengan tambahnya jumlah manusia dan film-film bagus (khususnya yang diangkat dari novel), peminat buku (baca: novel) mengalami penambahan yang sangat lambat, dalam konteks yang mudah dipahami; pertumbuhan nonton dan baca tidak seimbang. Maka, semestinya film dan buku menjalin hubungan saling menguntungkan. Rumah Produksi yang mengangkat film dari novel perlu juga memperjuangkan untuk menjaring para pembaca baru, bukan sebaliknya, secara tidak sadar atau terang-terangan meninabobokan minat baca masyarakat kita.


{Yustinus Setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar