Sabtu, 02 Januari 2016

KATA JIKA

Pengaruh ragam cakap atau tuturan terhadap ragam tulisan memang tidak bisa dielakan. Dalam penulisan berita pun, wartawan juga sering keliru menyusun kalimat karena strukturnya rancu akibat ragam cakapan menyelinap di sela rangkaian kata yang dibuat, tidak menutup kemungkinan saya juga demikian. (Tulisan yang dimaksud bukan 'celotehan' yang mengambil dalam bentuk tulisan).

Salah satu yang cukup mengganggu pembaca ialah penggunaan kata hubung 'Jika' yang tidak pada tempatnya. Jika ialah kata hubung untuk menandai syarat. Dengan demikian, dalam sebuah kalimat majemuk bersyarat, kata hubung jika pada anak kalimat akan menandai syarat dari induk kalimatnya.
Seperti pada kalimat berikut ini 'Kebijakan menguatkan daya beli akan percuma jika laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tidak terjaga'. Strukturnya pun bisa dibalik menjadi 'jika laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tidak terjaga, kebijakan menguatkan daya beli akan percuma'. Pada kalimat tersebut jelas bahwa syarat “kebijakan menguatkan daya beli akan percuma” ialah “kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tidak terjaga”.

Contoh yang laindari kalimat ini: “Jika rupiah terus terpuruk, Bank Indonesia akan mengintervensi pasar valas” atau “Bank Indonesia akan mengintervensi pasar valas jika rupiah terus terpuruk”.

Namun, sering kali saya menemukan kalimat seperti “Presiden mengatakan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat saat ini”. Lalu apa yang bisa dijelaskan dengan penggunaan kata hubung 'jika' di kalimat tersebut? Konjungsi jika pada kalimat itu tidak menunjukkan syarat untuk induk kalimat karena tidak termasuk kalimat majemuk.

Disadari atau tidak oleh penulisnya, dengan membuat kalimat seperti itu, dia telah menyelewengkan fungsi kata hubung jika. Dalam konteks itu, kata jika “dialihfungsikan” menjadi kata hubung untuk menyatakan isi atau uraian bagian kalimat yang di depan, yakni kata bahwa.

Hasilnya, rangkaian kata itu tentu tak elok untuk dibaca. Akan terasa berbeda ketika kalimat itu diubah menjadi “Presiden mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat saat ini”.

Contoh lain kalimat menyimpang yang terkait dengan kata hubung jika, yang acap kita temukan: “Jika sebelumnya berada di kisaran 14.200, kini rupiah semakin terpuruk menjadi 14.320 per dolar AS”.

Apa fungsi kata hubung jika pada kalimat tersebut? Fungsi kata itu dipertukarkan dengan adverbia atau kata keterangan yang menyatakan waktu, yakni kata setelah. Kalimat itu tentu harus dikembalikan ke “jalur yang benar”. Kata hubung jika mesti dieliminasi dan diganti dengan kata setelah (“Setelahsebelumnya berada di kisaran 14.200, kini rupiah semakin terpuruk menjadi 14.320 per dolar AS”).

Ketika strukturnya dibalik pun, (“Kini rupiah semakin terpuruk menjadi 14.320 per dolar AS setelahsebelumnya berada di kisaran 14.200″) kalimat tetap enak dibaca dan jelas gagasan yang dikandungnya karena memang memiliki anak dan induk kalimat. Bandingkan dengan kalimat sebelumnya, ketika strukturnya dibalik (“Kini rupiah semakin terpuruk menjadi 14.320 per dolar AS jika sebelumnya berada di kisaran 14.200″), terasa ada yang janggal saat membacanya.

Memang, ketika menemukan kalimat rancu yang terkait dengan penggunaan kata hubung jika, kadang kita terlena, lalu alam bawah sadar kita membenarkan dan membiarkan kalimat itu berseliweran di ruang-ruang awam, dan akhirnya seolah-olah menjadi sebuah “kebenaran”. Tentu, kita harus segera “terjaga” agar “kalimat cacat” itu tidak mencemari ruang berbahasa, terutama di media massa cetak dan daring. Peran para jurnalis dan editor bahasa dipertaruhkan di sini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar