Selasa, 19 Januari 2016

HIDUP SEBAGAI DOA

By Rm J. Sudrijanta, SJ

Dalam semua tradisi agama, orang melakukan praktek doa. Dalam kondisi apapun orang berdoa, entah sehat atau sakit, konflik atau damai, gagal atau sukses, gembira atau sedih. Doa bisa dilakukan secara pribadi atau bersama. Doa bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Sesungguhnya apa yang disebut dengan doa, mengapa dan bagaimana orang musti berdoa?

Efektifitas Doa Doa tidak lain adalah sebuah komunikasi antara pendoa dengan Allah. Tidak ada yang bisa memberi jaminan bahwa apa yang didoakan pasti terkabul. Namun demikian ada beberapa factor yang membuat doa itu efektif.

Pertama, doa sangat ditentukan pada tingkat kedalamannya. Orang berdoa itu seperti orang berkomunikasi melalui telepon. Saat orang ingin berkontak langsung dengan orang lain dari jarak tertentu melalui telepon, saat itu pula kontak itu terjadi. Kontak dalam doa tidak membutuhkan satelit, rentang waktu dan ruang. Maka menempatkan Tuhan jauh di luar diri pendoa menjadikan doa kurang efektif. Kenyataannya, Tuhan begitu dekat dengan diri pendoa bahkan tak terpisahkan darinya. Tuhan dan pendoa tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka berdoa kepada Tuhan yang begitu dekat ini akan membuat doa menjadi lebih dalam.

Kedua, seperti halnya telepon membutuhkan energi listrik atau baterai supaya mesin telepon bisa dipakai, doa juga membutuhkan energi. Kekuatan energi doa tidak lain adalah iman, harapan dan kasih.

Pusat dari iman, harapan dan kasih adalah Tuhan sendiri. Berdoa dengan iman berarti berdoa dengan berpusat bukan pada diri sendiri tapi pada Tuhan. Kalau orang bisa menyadari kapan cinta diri, kehendak diri, kepentingan diri berhenti dan kapan cinta Allah, kehendak Allah, kepentingan Allah mulai menguasai dirinya, orang tahu secara actual apa artinya berdoa dengan iman.

Seorang ibu bercerita bahwa ia sudah lama menderita kanker payudara stadium empat. Berbagai cara penyembuhan sudah dicoba dan sudah banyak biaya sudah dikeluarkan. Doa juga tidak kurang dilakukan. Namun penyembuhan itu tak kunjung datang.

Suatu saat ia sampai pada suatu titik dimana rasa depresinya telah lewat. Dalam doa-doanya, ia lebih banyak diam dan berserah. Ia mengalami bahwa kesehatan tidak lebih bernilai daripada sakit. Tanpa tahu darimana datangnya, ia suatu saat merasakan dorongan batin untuk berdoa: �Tuhan Yesus Kristus, trimakasih Engkau telah menyembuhkan aku. Trimakasih.� Doa itu terus didaraskan berulang-ulang. Setelah sadar, rasa sakitnya tidak muncul lagi. Beberapa hari kemudian ia datang kepada dokter pribadinya dan dokter pribadinya heran bagaimana bisa kanker ibu ini bisa hilang 100%.

Ibu itu berdoa dengan penuh iman. Pada awalnya ia berdoa berpusat pada dirinya. Kemudian doanya maju lebih matang dengan berpusat pada Tuhan. Ia memahami kebenaran iman. Siapa mencari dirinya, akan kehilangan dirinya. Barangsiapa meniadakan dirinya, akan menemukan dirinya. (Bdk Mat 10:39)

Mengapa Orang Berdoa? Doa itu bagaikan darah yang menghidupi seluruh tubuh. Doa tidak bisa dipisahkan dari gerak kehidupan umat manusia. Sadar atau tidak, manusia punya hasrat untuk menyentuh Realitas Terakhir. Dari sanalah ia berasal; di sanalah akar dan pusat hidupnya; ke sana juga ia akan kembali. Itulah mengapa manusia berdoa.

Orang punya berbagai kebutuhan untuk melangsungkan kehidupannya. Ia membutuhkan kesehatan, keberhasilan, relasi yang baik, rasa aman dan terlindungi, dst. Melalui doa, orang berharap mendapatkan apa yang dibutuhkan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Kadang orang berdoa untuk memohon sesuatu dan permohonannya dikabulkan dengan segera. Ada yang harus menunggu lama baru dikabulkan. Ada juga yang tidak dikabulkan meskipun orang sudah berdoa tak kunjung putus.

Doa bukan hanya ditujukan supaya orang mendapatkan sesuatu yang particular untuk survival hidup. Lebih jauh lagi, doa merupakan perjumpaan dengan Realitas Terakhir itu sendiri. Realitas ini dalam tradisi Teisme disebut Allah atau Tuhan.

Doa tak kunjung putus Yesus menasehati para muridNya untuk berdoa tak jemu-jemu atau berdoa tak kunjung putus (Lukas 18:1). Doa atau komunikasi dengan yang Absolut tidak hanya bisa dilakukan beberapa menit atau jam tetapi terus-menerus.

Dalam tradisi berbagai tradisi, ada begitu banyak rumus doa. Orang bisa mendoakan atau mendaraskan doa-doa ini terus menerus di tengah kesibukan harian.

Ada juga banyak doa pendarasan yang diambil dari teks Kitab Suci. Misalnya, kaum Kristiani suka mendaraskan kata-kata ini: �Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang hidup, kasihanilah kami yang berdosa ini.� Rumusan ini bisa disingkat dengan �Yesus� sehingga disebut �doa Yesus�. Setiap kali kita bernafas, kita bisa mendoakan doa Yesus ini. Kalau sehari kita bernapas ribuan kali, maka doa Yesus bisa kita doakan ribuan kali. Doa ini begitu sederhana, bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Orang yang sudah lebih maju dalam doa, bisa merasa terganggu dengan kata sehingga ia lebih merasa cocok untuk berdoa dalam keheningan. Itulah yang disebut doa hening. Doa hening adalah doa yang diam dengan batin yang sungguh-sungguh hening. Segala bentuk aktivitas pikiran tidak terpakai. Dalam keheningan itu, orang menyadari dan merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya dan segala sesuatu. Doa hening juga bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Perjumpaan dengan Tuhan atau Yang Tak Dikenal Doa yang mendalam dan tak kunjung putus membawa pendoa semakin bersatu dengan Tuhan. Kesatuan dengan Tuhan inilah barangkali tujuan dari perjalanan hidup kaum monoteis.

Pengalaman kesatuan diri dengan Tuhan itu bisa dicapai saat manusia masih hidup. Orang tidak perlu menunggu nanti kalau sudah meninggal. Bukan hanya kisah santo-santa membuktikan kebenaran ini tetapi juga banyak pendoa di antara orang-orang biasa di sekitar kita yang masih hidup.

Sebagian orang juga mengalami apa yang disebut dengan pasca-kesatuan mistik. Dalam pengalaman kesatuan mistik aku dan Tuhan, si aku atau diri masih ada. Diri ini bersatu dengan Allahnya seperti sekeping mata uang. Di sisi yang satu ada diri, di sisi yang lain ada Allahnya. Dalam pasca-kesatuan mistik, diri dan Allah sepenuhnya berakhir. Orang mengalami sesuatu di luar waktu, Kebenaran, Realita yang Tak Dikenal atau sesuatu yang tidak perlu diberi nama. Doa hening menghantar pendoa memasuki pengalaman pasca-kesatuan mistik ini.

Bagi para pendoa seperti itu, doa bukan hanya tindakan berkomunikasi dengan Tuhan pada ruang dan waktu tertentu, tetapi seluruh hidupnya menjadi doa itu sendiri. Mereka mengalami secara actual bahwa segala sesuatu ada dalam Allah atau mereka hidup dalam kepenuhan kebenaran.*

By : Rm J. Sudrijanta, SJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar