Rabu, 16 Desember 2015

UNGKAPAN

Bahasa ungkapan acap kali berjarak dengan yang diungkapkan. Walau bersifat khusus, ungkapan sering saja mengaburkan arti. Susah dirunut dari kata pembentuknya. Sebut saja, ada sebuah ungkapan begini "jauh panggang dari api". Bagi yang sudah mengetahui sebelumnya, tentu saja tidak kerumitan memahami kesulitan itu. Namun, bagaimana bagi yang belum atau bagi yang tidak memahami sama sekali? Tentu saja membingungkan dan menyulitkan. Siapa sangka bila artinya bahwa "kenyataan jauh dari  yang diharapkan".

Di sisi lain, ungkapan seperti itu menjadi diksi tambahan yang menarik bila disisipkan dalam tulisan. Selain unik, ungkapan itu lebih mengena dan tentu saja mewakili konsep yang hendak disampaikan. Bila diuraikan secara makna, jauh panggang dari api menganalogikan bara api (baca: pemanggangan) berbeda tempat atau letak dengan objek yang dipanggang (sebut saja ikan). Kondisi itu tentu tidak akan menghasilkan ikan bakar yang enak atau aroma sedap yang menyergap lantas menyantap dengan lahap. Bahkan, secara akal sehat tidak akan terjadi pembakaran. Kiasan itulah yang dilinerkan dengan kekecewaan atas harapan yang seharusnya bisa diwujudkan.

Ungkapan seperti itu masih relevan karena memang untuk dikaitkan dan dipahami. Namun, bagaimana dengan ungkapan 'Pintu Belakang' dan 'Berkantong Tebal'? Lantaran faktor perubahan, baik perubahan karena faktor alam maupun teknologi, kedua ungkapan itu memiliki referen yang sudah tidak relevan dengan arti. Ungkapan pintu belakang dikiaskan untuk perbuatan atau tindakan tidak terpuji karena yang dilakukan tidak sesuai aturan (tidak sah).

Yang menjadi soal, referensi kata 'pintu belakang' tidak banyak berkorelasi dengan bangunan yang disebut rumah. Yang kita tahu, banyak rumah (utamanya di kota besar) tidak memiliki pintu belakang karena tesusun secara berlonggok (cluster). Yang ada justru pintu samping (bila yang menginginkan dua pintu keluar-masuk). Ini semata rumah-rumah di kompleks saling membelakangi, satu sama lain menghadap ke jalan raya. Lebih tepatnya karena keterbatasan lahan, rumah sulit memiliki pintu belakang, apalagi taman yang memadai. Barangkali ungkapan 'Pintu Belakang' dianalogikan dengan hal-hal yang tidak elegan, curang, dan pecundang karena,sejatinya lebih terhormat melalui pintu utama, yakni pintu depan, sehingga sah, legal, dan terhormat.

Begitu pula dengan ungkapan 'Berkantong Tebal'. Dahulunya, ungkapan ini bertujuan mencirikan orang yang memiliki harta (baca: uang) yang banyak. Ketebalan kantong di dalam saku celana belakang (bagi pria) memjadi tanda bahwa orang itu kaya (banyak uang). Akan tetapi, setelah kemajuan teknologi, yakni ada peralihan ke ATM (anjungan tunai mandiri alias automatic teller machine) atau kartu kredit, identitas pria berkantong tebal tidak menjadi relevan. Dengan satu kartu yang pipih, tipis, bermiliar uang bisa ditampung. Mudah dan gampang, di mana pun bisa dilakukan transaksi. Tidak ada kesan tebal sama sekali, kan?. (Meski patut dipertanyakan atau dinyatakan berapa jumlah uang yang ada di dalam norek pada larik barisan kartu-kartu ATM yang menghiasi dompet, hehe....)

Dari uraian di atas, kenyataanya bahasa ungkapan yang bersifat khusus dan unik pun harus terdepak, tersingkirkan dengan kemajuan teknologi dan perubahan geografis. 
Tidak dapat dan bisa bertahan karena ketidakrelevanan!















(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar