Di dalamnya tentu termasuk transmisi nilai, keahlian, hingga ritus-ritus adat dan seni yang hidup di satu lokal di mana pendidikan diselenggarakan. Hal terakhir ini penting, karena dengan itu, integritas karakter yang dituju pendidikan memiliki landasan ideal, eksistensial bahkan primordialnya; hal-hal yang tak dapat dilucuti dari keberadaan manusia Indonesia. Dalam model ini, adalah wajib seorang siswa tidak hanya mendapatkan pengajaran yang berdampak pada kemampuan kognitifnya saja. Namun ia harus juga merasakan pengalaman bagaimana proses produksi sebuah karya seni, hidup dalam sebuah sanggar atau komunitas budaya, atau menjalani ritus-ritus artistik atau spiritual, dan semua lokal.
Maka tidak terelakkan, kembalinya kata “kebudayaan” dalam kementerian pendidikan saat ini, tidak lagi dapat menggunakan dasar filosofis dan ideologis yang digunakan di masa Soeharto (pra-reformasi) bahkan di masa pra-Orde Baru. Tuntutan dan tantangan mutakhir yang berkembang membuat semua format lama itu usang dan kurang memadai. Kebudayaan bukan lagi dipahami sebagai cabang-cabang kesenian, apalagi melesakkan jam pelajaran tambahan, apalagi sekadar aksi-aksi karitatif yang menyesatkan seniman dan dinamika proses di dalamnya.
Kebudayaan adalah sebuah infrastruktur di mana semua proses dinamis yang dibutuhkan bagi kebudayaan menghasilkan produk-produk terbaiknya, termasuk di dalamnya pendidikan. Dan sesungguhnya ia juga imanen atau ada dalam pengertian yang sama di sektor-sektor govermental lainnya. Karena kita tahu, dimensi itulah, landasan kultural itulah yang kini absen dalam peri hidup kita sebagai manusia, bangsa dan negara.*** ys
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar