Rabu, 09 Desember 2015

DAPUR DAN PANGGUNG PUBLIK

Kata "Dapur" mempinyai arahan dua makna; dapur sebagai ruang tempat memasak makanan dan dapur sebagai penggalian atau inspirasi penciptaan karya kreatifi seni. Dapur dalam konteks seni yakni dapur menjadi ruang vital dari bangunan kebudayaan dan peradaban. Kehadirannya menandai suatu tonggak penting perkembangan evolusi kesadaran di mana manusia mulai memikirkan pentingnya mengolah terlebih dahulu apa yang dimakannya di ruang yang disediakan secara khusus pula. Dalam fungsinya yang paling primer, dapur menegaskan kenyataannya sebagai ruang olah, ruang kreativitas yang tak terbantahkan. 

Produk dapur berupa sajian aneka jenis masakan menjelaskan interaksi kebudayaan, cita rasa, kesadaran, imaji, keterampilan, dunia batin, dan tingkatan peradaban suatu masyarakat. Semakin kaya dan beragamnya masakan suatu komunitas masyarakat menjelaskan kemampuan kreatif eksperimen, dan eksplorasinya di dalam memanfaatkan sumber makanan yang disediakan oleh alam lingkungan.

Dalam konteks perhelatan seni, dapur menjadi tempat segala mentah dicincang, diramu, diracil, diberi bumbu dan penyedap, digodok, dimasak dan disajikan sehingga bernilai lebih, memiliki cita rasa lebih, dan dengannya dapat lebih dinikmati. Kayaan mitologi, sejarah , tradisi, dan pertunjukan budaya, realitas sosial-politik, ekonomi, praktik buruk dan baik kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bahan mentahnya diperlukan sedemikian rupa oleh seniman sehingga publik dapat menikmati realitas nilai dan kesadaran yang ada di baliknya.

Perhelatan-perhelatan panggung publik, dengan menyimpan daftar panjang kreativitas dari rahim kebudayaan kita. Kreativitas yang dimungkinkan oleh kehadiran yang lain pula, yang asing, unik dan berbeda. Dengan demikian dapur dalam konteks perhelatan seni, tak dapat dielak bahwa dapur dibangun oleh pertemuan manusia dari pelbagai latar budaya yang saling memengaruhi. Kehadiran yang satu menjelaskan yang lain. Membangun koeksistensi bersama dalam ketergantungan produktif. Asam laut bertemu manis gunung, gelora laut bersua keheningan dan aroma lembah.Pada dapur dan apa yang dimakan, kita mengenal wujud lahiriah dan wajah batin suatu masyarakat, termasuk kepiawian dan kelenturannya berbagai selera, berjabat hati dan rasa dengan yang lain.

Dapur dalam konteks kebudayaan tidak lagi merupakan ruang fisik yangstatis. Ia menjadi ruang dinamis yang mesti senantiasa diciptakan oleh silaturahim dan pertemuan-pertemuan dimana kreativitas dirawat dan digairahkan dalam semangat seni rakyat agar kemudian manjadi bagian dari perlengkapan organisasi sosial (masyarakat). Maka kehadiran event-event publik diharapkan menjadi dapur yang memasok nutrisi terbaik bagi kebutuhan dan kesehatan masyarakat yang menopangnya.

- Proses Pertumbuhan.
Melalui proses dan pertumbuhan dari tahun ke tahun serta pergaulan yang intens dengan event-event serupa, kegiatan punlik apalagi yang bernama kesenian secara tidak disadari menebar bagai aroma sedap masakan. Menarik semua orang menghampirinya. Menyediakan dirinya sebagai dapur yang menyatukan segala perbedaan. Mempertautkan para pelakunya melalui gerak, musik, irama, kisah, nyanyian sebagai pengalaman bersama, pengalaman penyatuan. Seni lantas menjadi bagian dari pengalaman kolektif di mana masyarakat dapat menjadikannya sebagai sarana untuk memasuki ruang dan irama yang lain, yang berbeda dengan keseharian sehingga kita kembali menjalani aktivitas sehari-harinya, mereka sudah di penuhi dengan tenaga, spirit, dengan irama baru dan segar. Tekanan hidup, capek-lelah, tantangan, dan kesulitan dirayakan lewat ekspresi seni bersama. Ketegangan dilepaskan, rasa kesal, marah, dan semacamnya dibebaskan. Sukacita dan rasa syukur dibangkitkan.

Di panggung publik, jarak antara pelaku seni dan penonton didekatkan, dibuat berhimpit, agar penontondiberi ruang manjadi pelaku, setidaknya secara fisik dan emosional. Dengan semakin intens terlibat di dalam nyanyian atau tarian misalnya, orang menekan dominasi kontrol pikiran atas tubuh dan gerak, lalu menjahit irama dan gerak personalnya dengan gerakan dan gerakan orang lain. Jadilah tubuh, irama dan gerak bersama. Dengannya orang mengikat dirinya dengan orang lain dan bersama-sama menari dalam tarian/nyanyian alam. Menuju pada keselarasan bersama. Di sana luka-luka sosial disembuhkan.Rasa sakit dibebaskan. Benci dan dendam didamaikan dengan tenaga dan energi sukacita kebersamaan.

Semangat panggung publik hiburan dapat mengembalikan seni kepada dapur kulturalnya. Seni yang lahir dari tantangan alam, tumbuh dalam jahitan sejarah, merekam dinamika dan pergulatan kongkret-aktual serta mengakomodasi sukacita dan kegembiraan masyarakatnya. Ia lahir dari masyarakat dan menjadi tempat masyarakat melihat wajah dan kebutuhan-kebutuhannya. Menjadi saluran bagi segala kegundahan dan alat perjuangan kepentingan-kepentingan masyarakat.

Kekuatan seni pertunjukan sebagai tontonan langsung, apalagi di ruang publik terbuka, memacu pelaku pentas ataupun khalayak penikmat untuk saling menyesuaikan. Dan ketika keduanya, walau tidak selalu saja terjadi, berada di satu frekunsi batin dan kesadaran yang sama, ia akan menarik semakin banyak orang untuk masuk pada medan gelombang yang sama. Teramplifikasi daya jiwa/ruhnya sehingga menjadi kekuatan pengubah yang disadari ataupun tidak memberi pengaruh yang luar biasa bagi semua orang yang terlibat termasuk pada lingkungan sekitarnya.

Sampai disini diharapkan event-event publik, pertunjukan seni dapat menjadi dapur tempat dipersiapkannya segala nutrisi mental dan jiwa demi mengantisipasi merebaknya penyakit gizi buruk yang melanda batin dan kemanusiaan kita. Ia menyediakan dirinya sebagai dapur rehabilitasi atau bengkel bagi segala jenis kerusakan batin yang membahayakan bangunan hidup bersama dalam skala terbatas ataupun luas (global).

Hal ini penting manakala industri hiburan kian gencar menggiring kiblat masyarakat kita pada budaya "kedangkalan"dan "logika kompetisi: "saya menang, saya unggul, saya hidup dengan cara mengeliminasi atau menyingkirkan orang lain". Lambat laun hidup kita diarahkan pada bagaimana mengalahkan, mengagresi, memotong haluan dari ruang gerak orang lain. Empati, saling rasa, saling tanggung dengan sendiri akan terdepak. Ruang batin dan kepakaan kemanusiaan tergerus dan sistem predator mulai tumbuh menghancurkan bengunan kebersamaan kita.

Seni di ruang publik bukan sekedar hadir, melainkan melalui keterserapan pada pergulatan konkret-aktual masyarakat, ia tampil sebagai otak dan hati masyarakat. Ia bicara dalam bahasa publik, dalam komunikasi yang hangat, sederhana. Namun, karena tumbuh dalam detak nadi masyarakat, ia menyentuh hati, pikiran, dan kesadaran mereka. Inilah ideal seni yang dimatangkan dalam dapur kultural dan dipersiapkan untuk lahir di ruang publik. Tentunya menagih kerja keras, kesungguhan dan kreativitas sang seniman sebagai juru mask untuk menyajikan aneka hidangan yang lebih renyah, gurih, dan kaya nutrisi. ***
(Esai)




(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar