Rabu, 21 Januari 2015

TARIAN KEHIDUPAN

     Seorang gadis menari dengan gerakan yang sangat luwes. Kadang tampak demikian lambat namun kadang dia bergerak dinamis. Raut wajahnya menyinarkan penghayatan yang penuh terhadap tarian yang sedang dia bawakan. Telinganya terus memperhatikan irama musik yang mengiringimya. Kesadaran seluruhnya tertuju pada jiwa dari tarian itu, serta yang melihatnya menari dapat menagkap roh dari pertunjukannya. Setia orang, disadari atau tidak, dia sedang menarikan tarian kehidupan. Maka dari tarian itu bisa dilihat dan dinilai sejauh mana mutu dari pertunjukannya. Mutu itu menyangkut tarian yang dia bawakan, sekaligus juga menyangkut cara dia menarikan. Mutu itu dipengaruhi oleh musik pengiringnya tetapi sekaligus juga suasana yang dibangun. Akhirnya mutu itu juga menyangkut kesan, pesan yamg ditangkap, sekaligus kegembiraan, kepuasan baik yang menikmati tarian maupun yang menarikan. Semua terangkai dalam sebuah harmoni, harmoni kehidupan.

     Sejak kapan manusia menarikan tarian kehidupan? Sejak aku mengenal "aku", sejak saya mengenal relasi dengan sesuatu yang di luar "saya". Sejak aku tumbuh dari upaya untuk mempertahankan kebutuhan hidup, respon terhadap ketidaknyamanan, dan bereaksi terhadap keinginan. Allah sumber kehidupan membekali manusia dengan naluri untuk mempertahankan hidup, akal dan pikiran untuk mengembangkan hidup, dan roh yang terus menerus mendorong gerak kehidupan. Semua itu membuat kita mampu menarikan tarian kehidupan. Semua itu adalah anugerah Allah untuk kehidupan. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup, perlu makan. Makan untuk mempertahankan hidup. Di dalam memcari makan, ada rasa untuk memiliki, ada proses untuk belajar dan berkembang, ada kehati-hatian untuk menentukan. Semua dikakukan agar hidup tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan. Ketika secara tidak sadar manusia mulai dikendalikan oleh naluri yang lepas kendali, maka hidupnya untuk makam, makan untuk kenikmatan, harta ditumpuk untuk kecemasan akan makanan di masa depan. Nanti makan di mana, besok makan apa, dimana. Lusa siapa yang dimakan, bulan depan makan siapa. Tarian kehidupan menjadi liar, seluruh ruang panggung coba dikuasai, melompat ke sana melompat ke mari, bergerak ke sana berguling kesini. Yang berani mendekat diusir. Karena ketakutan akan kehabisan ruang untuk menari. Semua berawal dari ketakutan, keragu-raguan, ketidakyakinan bahwa besok masih menari.

     Dengan perasaan, akal dan pikiran manusia mengenal dirinya sebagai manusia. Dengan interaksi dengan manusia lain, dia semakin mengenal kemanusiaannya. Jiwanya tumbuh, jiwanya berkembang. Dia semakin menjadi manusia karena manusia lain, semua proses akan menjadikan dirinya menjadi manusiawi. Maka proses itupun akan membangun kesadaran untuk memanusiakan manusia lain. Banyak momen-momen penting, hal-hal kecil yang berperan dalam membangun dirinya menjadi semakin manusiawi. Namun ketika manusia secara tidak sadar dikendalikan oleh naluri yang lepas kendali, maka hidupnya akan diwarnai oleh persaingan dan perjuangan untuk memperoleh kepuasan, mempertahakan kenyamanan, membentengi diri dengan rasa aman. Hal itu membuat kesadaran manusiawinya semakin luntur. Ketika keadaan itu semakin luntur, dan orang melihat orang lain dalam kriteria bisa dimanfaatkan atau tidak, menguntungkan atau tidak, membayangkan atau tidak. Ketika manusia lebih mengarahkan dirinya pada kepentingan pengakuan akan kemanusiaannya dan tidak mau mengakui kemanusiaan orang lain, maka dia akan berjuang untuk memanfaatkan orang lain, mempengaruhi orang lain, dan menguasai orang lain, agar ekshstensinya tetap terjaga. Jiwa terjebak dalam egoisme sempit. Ketidaksadaran itu akan membuap seseorang tega mengorbankan kemanusiaan orang lain, menginjak dan membunuh kemanusiaan orang lain, meperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Jiwa manusia tumbuh dibekali bakat untuk berinteraksi dengan manusia lain. Sekecil apapun bakat itu adalah anugerah yang harus dikembangkan untuk membangun dunia manusia yang semakin manusiawai. Perlu kesabaran untuk merenungkan hal-hal yang kecil dan sepele ketika berinteraksi dengan orang lain, dan perlu kesadaran yang terjaga bahwa manusia lain adalah anugerah Allah bagi dirinya. Maka manusia hanya akan berkembang ketika ada keinginan dalam dirinya untuk mengembangkan manusia lain, dan buka sekedar memanfaatkan untuk kepentingan diri semata. Karena ketika manusia selalu berorientasi pada dirinya sendiri, akan muncul puas diri, rasa bosan. Ketika kegagalan demi kegagalan menghimpit, yang kemudian muncul adalah keragu-raguan, dan rasa tidak percaya diri.

     Misteri yang melingkupi kematian, ketidakpastian akan kedatangannya, gambaran kabur akan peristiwa sesudahnya, menjadikan kematian sebagai hal yang mengerikan. Agama menjawab keresahan itu dengan memberikan kepastian dan gambaran-gambaran akan apa yang akan dialami manusia setelah raganya mati. Namun agama tetap tidak bisa menjelaskan kapan, di mana dan bagaimana maut akan datang. Realitas yang dihadapi manusia, adalah hidupnya di dunia tidaklah abadi. Hukum alam menginkatnya dalam kurun waktu yang terbatas. Konsekwensi dari perubahan yang terjadi ketika manusia dilahirkan sebagai bayi lalu tumbuh berkembang menjadi anak-anak dan terus menjadi manusia dewasa, perubahan itu terus berlanjut hingga sampai pada titik terlemah. Ketika lahir dia tidak bisa apa-apa maka setelah melalui siklus yang harus dilalui, dia juga akan sampai pada keadaan tidak bisa apa-apa. Hidup hanya sebentar bila dibandingkan dengan kurun waktu keberadaan dunia. Namun dari hidup yang hanya sebentar itu, peran apa yang sudah di mainkan? Untuk menjawab itu, perlu bertanya kepada diri kita sendiri apa tujuan hidupku? Soal tujuan hidup, mungkin dengan sedikit merenungkannya kita dapat menemukan atau merumuskan apa tujuan hidup kita. Oh, tujuan hidupku....demikian? Oh, jika aku demikian....? Banyak macam jawaban yang bisa kita sampaikan, namun ketika kita meyakini bahwa kita hidup karena ada yang memberi hidup, ketika kita percaya bahwa hidup adalah anugerah Allah, bolehlah kita juga bertanya, lantas apa tujuan Allah memberikan aku hidup? Allah menciptakan segala sesuatu tentu dengan sebuah tujuan, dan bukan tanpa alasan. Allah menjadikan tumbuhan hidup, menjadikan binatang hidup, dan menjadikan manusia hidup, tentu ada maksud dan tujuannya. Karena manusia dikaruniai akal budi, maka pantaslah jika manusia bertanya tentang itu semua. Allah adalah kasih, dan kasih itu diungkapkannya pada kehidupan. Allah mengasihi kehidupan adalah keyakinan kita pada realitas yang ada di hadapan kita dan ada di dalam diri kita. Karena kasihNya maka Allah menciptakan penyangga kehidupan. Tumbuhan yang diciptakan Allah untuk menyangga kehidupan. Dari tumbuhan kehidupan dimungkinkan, oksigen dihasilkan, makanan disediakan, kesejukan dihadirkan. Namun kehidupan butuh keseimbangan, jika tumbuhan sebagai penyangga kehidupan terus dibiarkan, lalu untuk apa? Maka Allah menciptakan binatang. Binatang membentuk keseimbangan kehidupan. Antara tumbuhan dengan binatang membentuk keseimbangan kehidupan. Antara tumbuhan dengan binatang antara binatang pemakan tumbuhan dengan binatang pemakan lain yang memakan binatang. Terjadilah rantai makanan dan terbentuklah sebuah ekosistem. Kehidupan berjalan dan terus berjalan, namun kadang berhenti. Maka Allah menciptakan manusia sebagai pengatur keseimbangan. Manusia yang diberi tugas untuk mengatur keseimbangan, dikaruniai akal dan pikirian agar mereka bisa mengembangkan dan menjaga kehidupan agar terus dalam keseimbangan. Manusia menjadi anugerah Allah, menjadi penyataan kasih Allah pada kehidupan.

     Pada awalnya Allah menciptakan secara langsumg, tetapi Allah tidak berhenti setelah semuanya tercipta. Allah masih terus mencipta melalui dan bersama manusia. Ketika manusia dengan naluri dan akal/pikirannya terjebak ketidaksadaran, maka manusia tidak lagi membangun dan mengatur keseimbangan namun justru merusak keseimbangan tersebut. Dan manusia pun tenggelam dalam kematian karena merusak kehidupan. Situasi tersebut dijawab Allah yang penuh kasih dengan menyelamatkan manusia. Pada awalnya Allah menyelamatkan manusia secara langsung, namun apakah setelah itu Dia berhenti menyelamatkan? Tidak! Allah terus menyelamatkan bersama dan melalui manusia yang telah Dia selamatkan. Maka itulah panggilan hidup manusia; terus menjadi ungkapan kasih Allah yang menyelamatkan dan mengasihi kehidupan. Tujuan Allah yang menyelamatkan manusia untuk bersama-sama dengan Dia dan menjadi sarana bagi Dia dalam mengungkapkan kasihNya pada kehidupan. Untuk mengatur keseimbangan kehidupan. Ketika manusia mampu merefleksikan tujuan hidupnya dengan tujuan Allah, maka dia bisa menatap hidup dengan mantap dan tanpa keraguan-raguan. Begitupun dia akan menghadapi kematian tanpa rasa takut dan kecemasan.. Perubahan terjadi, namun kurun waktu yang telah dia lalui, telah membuat perubahan yang berarti bagi kehidupan. Manusia menjadi ungkapan kasih Allah, dia hidup dalam suasana kasih Allah maka ketika waktu tiba dia akan siap untuk bersatu dengan Sang Sumber Kasih, Sumber Kehidupannya. Manusia berhasil menarikan tarian kehidupannya dengan baik.

    
Gadis penari, setelah melewati kurun waktu puluhan tahun, berubah menjadi nenek. Suatu pagi di halaman rumahnya dia berdiri. Perlahan dia menggerakkan tangan, menggeser kaki dan meliukan tubuhnya yang renta dengan pelan, nenek itu menari, dia menari tanpa iringan musik, tanpa ada penonton yang menikmati. Dia menari untuk dirinya sendiri. Musiknya adalah tiupan angin yang berhembus membelai rambut, wajah, dan mengibarkan selendangnya. Nenek itu membangun harmoni melalui tubuhnya dengan alam di sekitarnya. Matanya terpejam, bibirnya menyunggingkan selendangnya. Nenek tua itu membangun harmoni melalui gerakan tubuhnya dengan alam di sekitarnya. Matanya tepejam, bibirnya menyunggingkan senyum, raut wajahnya menyiratkan kedamaian hati, kebebasan batin, dan kegembiraan hidup yang sesuangguhnya. Dia menarikan tarian kehidupan yang telah dipelajarinya sepanjang kurun waktu kehidupan. Dia menarikan tarian hidup yang semakin matang karena di setiap gerakan dan di setiap penggal harmoni itu, peran Allah mengambil tempat yang utama dalam hidupnya. Nenek penari itu rambutnya telah putih semua. Kulit tubuhnya telah dipenuhi oleh keriput, gerakannya pun tidak seluwes dahulu ketika dia masih muda. Pakaian dan selendang yang dia kenakan bukan dari kain yang baru, tetapi kain lama yang telah kusam dan sedikit koyak. Nenek penari itu tidak pernah menolak rambutnya yang menjadi putih. Ia juga tidak menolak keriput yang menghiasi kulitnya, dan diapun tidak menolak tulang-tulangnya yang semakin rapuh, ototnya yang semakin kaku. Dia tidak menolak pakaian yang kusam, dia tidak menolak apa yang ada pada dirinya. Sungguh pun untuk tariannya, dia memikirkan gerakan yang terbaik, dan mengharapkan bisa menampilkan yang terbaik, tapi dia tidak pernah menolak apa yang ada pada dirinya. Dari segala yang ada pada dirinyalah dia mencoba untuk menarikan tarian kehidupan yang terbaik. Dia bukan seorang perfeksionis yang hidupnya penuh penolakan karena penilaian dan keinginan untuk mendapatkan yang terbaik.

     Tarian kehidupan adalah tarian yang mengatur keseimbangan, keserasian, harmoni dari kehidupan. Tarian kehidupan bukan sebuah tarian yang berlangsung dalam kurun waktu singkat, tetapi tarian yang terus ditarikan sepanjang kehidupan si penari. Tarian kehidupan juga bukan tarian yang sudah selesai penciptaannya ketika ditarikan, tetapi tarian yang menciptakan bersamaan dengan ketika tarian itu ditarikan. Tarian kehidupan menuntut kehati-hatian dan ketekunan, agar harmoni itu terus dan terus dapat diwujudkan, karena tarian kehidupan adalah ungkapan kasih dari Sang Sumber Kehidupan. Nenek penari itu berhenti sejenak. Dia belum selesai menari tetapi hanya sejenak mengistirahatkan gerakannya. Sebentar waktu diambilnya untuk diam. Dengan wajah memerah dan peluh yang menetes keringatnya, dia mendongak dan berbisik pelan. Dia demikian yakin bahwa dengan bisikan yang begitu pelan dan lembut itu, suaranya tetap sampai ke tujuan : "Tuhan, bagaimana dengan tarianku? Adakah sesuatu yang kurang dari gerakanku? Adakah aku telah dengan benar menangkap kehenda-Mu? Dengan segala keterbatasanku, aku telah melakukan dan mengungkapkannya, semua itu kulakukan sebagai wujud syukurku kepada-Mu karena Engkau berkenan menggerakkan diriku." setelah mengambil nafas panjang, nenek penari itu melanjutkan tariannya. Seorang laki-kaki keluar dari sumah dan berjalan menuju halaman di mana nenek penari itu terus menari. Laki-kaki yang juga sudah tua itu suami dari nenek penari. Dia berdiri sejenak, mengamati tarian kehidupan yang sedari tadi ditarikan oleh istrinya. Perlahan laki-laki tua itu meletakkan tongkatnya di tanah dan dia pun lalu menggerakkan tubuhnya untuk menari. Dia pun menarikan tarian kehidupan. Naun dengan gerakan berbeda dengan gerakan tarian istrinya. Perjalanan hidupnya telah membentuk gerakan-gerakan yang khas, gerakan yang tumbuh dari harmoni kehidupan yang dia hayati. Berdua mereka menari di halaman rumah, ketika pagi sudah beranjak siang. Mereka tetap menari dengan penuh perasaan, penghayatan, dan dengan penuh kegembiraan. Hidup adalah panggilan, panggilan untuk meneruskan kasih Allah. Mengungkapkan dan mewujudkan kasih itu bagi kehidupan. Mereka memikulnya dan membentuknya menjadi tarian kehidupan yang khas dengan gayanya masing-masing. Kedua tarian kehidupan yang berbeda proses penciptaannya itu, membentuk lagi harmoni baru, keseimbangan baru, yang memberi warna kedamaian, kebahagian dan keindahan yang menakjubkan di halaman rumah tua mereka, rumah yang juga sudah mereka serahkan untuk kehidupan. Berdua mereka menarikan tarian dengan penuh semangat. Kedua penari itu, menyadari benar bahwa disetiap gerakan mereka bukan hanya dibangun dari kesempurnaan, tetapi juga dari ketidaksempurnaan, dari kesalahan, dari kegagalan, dan dari kejatuhan. Namun mereka juga menyadari bahwa ketidaksempurnaan itu berarti batas untuk menghentikan tarian mereka. Kegagalan, kesalahan, kejatuhan, bukanlah akhir dari sebuah tarian kehidupan. Pengampunan dan kesediaan untuk memperbaiki adalah daya yang mendorong tarian itu untuk terus dilanjutkan. Belajar dari kesalahan, mereka berdua saling mengisi, saling memperbaiki. Mereka menyadari bahwa kehidupan mereka tidaklah sempurna, namun justru dari ketidaksempurnaan itulah segala ikatan tidak menjadi ikatan yang kekal. Kesempurnaan Allah adalah ikatan yang sesungguhnya, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak dapat menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan orang lain. Ketidaksempurnaan itupun mereka bagikan karena dari dari ketidaksempurnaan orang lain pula mereka memperoleh gerakan-gerakan indah yang memperkaya tarian kehidupan mereka. Kasih Allah mengalir bukan karena manusia itu sudah menjadi sempurna sebagaimana Allah sendiri. Kasih itu mengalir karena ketidaksempurnaan gerak tarian mereka, maka tak ada alasan bagi mereka untuk tidak bersyukur.

     Berdua mereka masih terus menari. Mereka tahu persis kapan harus terus bergerak dan kapan berhenti sejenak. Kapan mereka diam untuk bersyukur kepada pemberi kehidupan dan kapan mulai mengungkapkan syukur bagi kehidupan. Berdua mereka terus mendengarkan irama tiupan angin yang berbisik di seluruh tubuh mereka. Irama itu mengendap di dalam hati dan lalu menggerakkan keseadaran mereka untuk bergerak. Meraka berbicara dengan gerak, dan tindakan. Kebijaksanaan mengalir dan terus mengalir serupa peluh yang mengalir di tubuh mereka. Kepada Sang Pemberi Hidup mereka bertanya, dan kepada kehidupan mereka menyampaikan jawabam. Mereka menari dan terus menari, tetapi tahu kapan harus bergerak dan bagaimana bergerak, kapan harus berbicara dan gerakan dan tindakan dan kapan harus diam. Itulah tarian kehidupan yang terus mereka tarikan entah sampai kapan. Kebijaksanaan mereka bukan dibangun dalam sekejap. Keindahan mereka bukan hasil sihir atau sulap. Semua tumbuh dan berkembamg dari interaksi mereka dengan kehidupan itu sendiri. Ketika kehidupan menilai mereka, hal itu tidak membuat mereka berhenti menari. Mereka sepenuhnya memahami bahwa ketika orang lain menilai, maka sepenuhnya orang itupun sedang menarikan tarian kehidupannya.

     Siang yang semula tampak cerah, mulai tertutup awan mendung. Mereka masih menari ketika gerimis turun. Gerimis itu semakin lebat dan menjadi hujan di siang hari. Ada pilihan bagi mereka, untuk terus menari di halaman atau berhenti dan masuk ke dalam rumah. Serempak mereka bergerak dengan gerakan yang nyaris sama. Kaki-kaki tua mereka membawa tubuh bergeser mendekati pintu rumah, tetapi masih tetap dalam gerak tarian pula. Mereka telah memilih, memilih untuk tidak berhenti, tetapi juga tidak menari di tengah hujan lebat. Mereka bersikap memilih dan bukan tidak memilih. Mereka memilih untuk terus menarikan tarian kehidupan, sebuah pilihan yang mereka sadari sebagai panggilan hidup. Tetapi merekapun menyadari bahwa hujan dan basah akan merusak keseimbangan mereka, maka mereka bergeser ke teras rumah. Di teras rumah itu mereka masih tetap menari dengan irama yang kini berbeda. Musik yang dihasilkan oleh jatuhnya air dan tiupan angin serta bau tanah basah itu membentuk harmoni baru yang mereka sesuaikan dengan gerak tarian mereka. Mereka tidak berhenti menarikan tarian kehidupan, karena tarian itu adalah panggilan. Dalam keadaan kritis tidak bersikap netral, melainkan berani mengambil sikap yang jelas dan tegas, dan tidak bersikap oportunis, 'asal selamat/menguntungkan'. Senja mulai jauuh, hujan masih tetap jatuh. Sebentar kemudian malam tiba, kegelapan hadir di rumah tua mereka. Mereka berhenti sejenak dari tarian mereka, menyalan lampu dan duduk di ruang tengah. Ada waktu kini untuk diam dalam keheningan, waktu untuk saling memandang dan bercerita tentang tarian kehidupan mereka. Di dalam keheningan itu mereka teriteraksi bahwa tarian kehidupan ke dalam bidang yang tidak lagi terlihat oleh mata, namun jelas dalam suasana terang batin.

     Di tengah hujan kilat menyambar, sebentar kemudian bunyi guntur menggelegar memekakkan telinga. Terlintas dalam ingatan mereka ketika masih kecil dahulu, bunyi guntur itu amat menakutkan, kegelapan itu mengerikan, dan mereka hanya bisa diam menutup telinga dan memejamkan mata, diam tidak beranjak dari tempat mereka berada. Juga terlitas dalam ingatan mereka ketika kehidupan menhadirkan bayangan menakutkan, ketika kewajiban-kewajiban mengurung mereka dalam keterpaksaan. Saat itu merekapun hanya diam. Mereka tidak segera mengambil keputusan untuk menjadi penari kehidupan. Baru ketika ketakutan mereka menepi dan dapat mereka atasi mereka menatap diri mereka sendiri dan berkata, "Aku siap menjadi penari kehidupan. Selam pikiran dan hati belum tenang, ada rasa ketakutan/keterpaksaan bukan saatnya mengambil keputusan penting.". Keputusan mereka untuk membawakan tarian kehidupan bukanlah keputusan yang aman-aman saja, yang menghadirkan mereka dari sergapan kesedihan. Bukan pula payung yang membentengi mereka dari hujan tangis. Keputusan mereka untuk menjadi penari kehidupan, adalah piliian untuk menjawab panggilan untuk meneruskan dan mengungkapkan kasih Sang Sumber Kehidupan. Kesadaran itulah yang mereka yakini akan membuat mereka selalu berada dalam penyertaanNya. Mereka yakin bahwa Dia menghendaki yang terbaik bagi mereka, karena Dia adalah Pengasih dan Penyayang Kehidupan. Mereka menatap hidup dan bergerak dalam kegembiraan, sekalipun ketika kesedihan datang, sekalipun ketika badi menerjang. Mereka hidup dalam keyakinan bahwa mereka menari bersama Sang Pemilik Kehidupan. "Kebahagiaan hidup tidak berarti hidup tanpa air mata, melainkan hidup dengan kepercayaan bahwa kasih Allah dalam keadaan apapun juga - juga bila airmata sedang bercucuran setia menyertai dirinya, bahwa Allah selalu menghendaki yang terbaik bagi dirinya.

     Malam semakin larut, tiba saatmya lampu dian dimatikan dan mereka diam dalam kegelapan yang pernah mereka takutkan. Namun ketika lampu dian itu pada, ketika kegelapan membungkus, dari tubuh kedua orang tua yang duduk saling berhadapan itu keluaran cahya yang menerangi seluruh ruamgan. Cahaya yang keluar dari hati mereka, memancarkan kehangatan dan menghapus kegelapan. Kini mereka berdua duduk mendaraskan doa pujian. Mereka kembali menarikan tarian kehidupan dengan gerak bibir dan hati. Ketulusan, kasih yang terungkap menjadi persembahan atas kasih yang mereka terima. Terang mereka mengundang, kehangatan yang terpancar memanggil siapapun untuk datang dan ikut menari bersama mereka. Siapapun, siapapun...bagi siapapun yang datang, mereka berdua akan menyambut dan menghadirkan secangkir ketulusan dan kegembiraan untuk menarikan tarian kehidupan. Malam itu, dari bibir mereka terdengar lantungan lagu "Berserah Diri". Aku yang datang dan ikut menari bersama mereka tidak mampu berkata-kata lagi. Aku hanya mampu menggerakkan tanganku untuk menuliskan kalimat demi kalimat yang masih kuingat.

 "Singkirkan beban hidup masa silam, kekecewaan dan noda yang suram. Singkirkan beban hidup masa depan, cemas gelisah dan kekhawatiran, percuma megelisahkan yang belum pasti. Terimalah beban hidup masa kini, dengan iman dan kasih dalam hati, jadikan korban persembahan diri, melimpah berkat dan rahmat Illahi. (Syair dalam lagu 'Berserah Diri').

( Sekian Oase : Sebuah kisah yang terinspirasi oleh buku kecil yang di tulis Mgr. Prajasuta MSF. berjudul "Mutu Hidup")


(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar