Mengapa Yesus memberitakan Kerajaan Surga? Firman yang disampaikan oleh Nabi Yesaya, menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut : Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah sebagai Sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain: bangsa yang diam dalam kegelapan telah melihat Terang yang besar (Yes 60:1-6). Dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut telah terbit Terang. Yesus adalah Terang itu sendiri dan Kerajaan Surga yang diwartakanNya adalah situasi hidup dalam naungan Terang itu. Kegelapan yang identik dengan ketidaktahuan arah dan jalan yang dituju, mendapat kepastian dan pengertian yang benar dalam diri Yesus. Situasi yang dinaungi maut dimana hidup dihantui kekhwatiran dan ketakutan, mendapat kebeberanian, kelegaan, dan ketenangan dalam diri Yesus yang hadir sebagai Terang yang sesungguhnya (bdk Mat 4:12-17, 23-25).
Kita menengok ke dalam hidup kita dengan melihat Galilea bukan sebagai wilayah tetapi sebagai ruang hidup kita sendiri. Galilea adalah hati dan pikiran kita. Adakah disana kita sebagai orang kristiani melihat peran Yesus sebagai Terang yang sesungguhnya.
REFLEKSI:
Tahukan aku, jika sejengkal waktu di depanku, aku tak tahu apa yang akan kualami? Tahukah aku, jika kapan tumbuhnya satu centi rambut ku pun tak pernah bisa kuamati? Tahukan aku, jika detak jantungku, aliran darahku, debar hatiku, aku tidak tahu mengapa semua itu terjadi? Tahukan aku, jika kemana hilangnya ingatan-ingatanku tak pernah kuketahui? Tahukan aku jika peristiwa demi peristiwa, persoalan demi persoalan datang silih berganti tanpa aku mengerti mengapa datang dan tak dapat aku selami? Tahukah aku tetang diriku sendiri? Tahukan aku tentang hidupku?
Aku seperti si buta yang meraba dan melangkah dalam kegelapan. Dalam kegelapan aku melangkah begitu saja. Dalam kegelapan aku hidup dengan naluri, yang dituntun keinginan surupa tongkat yang mengetuk-ngetu untuk memastikan bahwa tempat berpijak selangkah di depan cukup aman. Maka ketika Yesaya menyebutku orang Galilea yang hidup dalam kegelapan, aku katakan padanya: "Benar. Sesungguhnya demikianlah aku. Kuhidup dalam kegelapan yang nyata, karena demikian banyak perkara dalam hidupku yang tidak aku tahu". Amankah aku, jika kekhawatiran menghantuiku saat menatap hari-hari yang ada di depanku? Tenangkah aku, ketika kusadari saat berakhirnya hidupku yang tak tahu kapan akan terjadi, aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku? Manakah aku saat ketakutan senantiasa memelukku; ketakutan tidak dihargai, tidak dihormati, dihina, tidak dipedulikan, dan disingkirkan menjadi udara yang senantiasa kuhirup? Maka ketika Yesaya, menyebutku sebagai si Galilea yang hidup dalam naungan maut, aku hanya bisa diam yang hidup dalam naungan maut, aku hanya bisa diam dan mengangguk membenarkan.
Aku Si Galilea, kuhidup dalam kegelapan dan kuhidup dalam naungan maut. Lalu aku si Galilea dalam kegelapan, aku melihat Terang itu datang, Terang yang besar menghampiri diriku. Dengan suara yang agung Dia berseru, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!"
Sambil menunduk, tanpa keberanian untuk menatap, di hadapanNya aku mengaku; "Ya Tuhan, buruklah keadaanku. Gelaplah hidupku, lumpuhlah jiwaku. Hatiku dipenuhi dengan penyakit gila hormat dan terbelenggu oleh kecemasan. Tiada pantaslah aku di hadapanMu. Bersabdalah saja Tuhan, maka aku akan sembuh". Amin
Aku seperti si buta yang meraba dan melangkah dalam kegelapan. Dalam kegelapan aku melangkah begitu saja. Dalam kegelapan aku hidup dengan naluri, yang dituntun keinginan surupa tongkat yang mengetuk-ngetu untuk memastikan bahwa tempat berpijak selangkah di depan cukup aman. Maka ketika Yesaya menyebutku orang Galilea yang hidup dalam kegelapan, aku katakan padanya: "Benar. Sesungguhnya demikianlah aku. Kuhidup dalam kegelapan yang nyata, karena demikian banyak perkara dalam hidupku yang tidak aku tahu". Amankah aku, jika kekhawatiran menghantuiku saat menatap hari-hari yang ada di depanku? Tenangkah aku, ketika kusadari saat berakhirnya hidupku yang tak tahu kapan akan terjadi, aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku? Manakah aku saat ketakutan senantiasa memelukku; ketakutan tidak dihargai, tidak dihormati, dihina, tidak dipedulikan, dan disingkirkan menjadi udara yang senantiasa kuhirup? Maka ketika Yesaya, menyebutku sebagai si Galilea yang hidup dalam naungan maut, aku hanya bisa diam yang hidup dalam naungan maut, aku hanya bisa diam dan mengangguk membenarkan.
Aku Si Galilea, kuhidup dalam kegelapan dan kuhidup dalam naungan maut. Lalu aku si Galilea dalam kegelapan, aku melihat Terang itu datang, Terang yang besar menghampiri diriku. Dengan suara yang agung Dia berseru, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!"
Sambil menunduk, tanpa keberanian untuk menatap, di hadapanNya aku mengaku; "Ya Tuhan, buruklah keadaanku. Gelaplah hidupku, lumpuhlah jiwaku. Hatiku dipenuhi dengan penyakit gila hormat dan terbelenggu oleh kecemasan. Tiada pantaslah aku di hadapanMu. Bersabdalah saja Tuhan, maka aku akan sembuh". Amin
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar