Minggu, 11 Januari 2015

KETERBATASAN

     Manusia hidup dalam keterbatasan, terbatas ruang, pikiran dan waktu. Oleh karena itulah sepanjang zaman manusia berusaha untuk mengatasi keterbatasan. Munculnya kendaraan yang semakin hari semakin cepat dan semakin jauh daya jangkaunya merupakan sarana untuk mengatasi ruang dan waktu. Perkembangan pengetahuan dan semua system pengajaran merupakan upaya mengatasi keterbatasan pemikiran. Ramalan-ramalan atau prediksi juga bentuk upaya mengatasi keterbatasan waktu. Juga sarana komunikasi, semua itu untuk meretas keterjarakan dan waktu. Maka bisa disimpulkan bahwa manusia cenderung berusaha menggapai ketidakterbatasan.

     Kita meyakini bahwa satu-satunya yang ada dalam ruang ketidakterbatasan itu adalah Allah. Serta sebagai orang kristiani bahwa Yesus Kristus yang berasal dari ketakterbatasan itu datang dan menjadi manusia, memasuki keterbatasan menjadi manusia seutuhnya. Menyadari kemanusiaan-Nya, Yesus pun mengikuti tradisi dan pengalaman duniawi. Untuk itu Dia datang kepada Yohanes, dan dipermandikan. Inilah sikap yang berkenan bagi Allah. Maka terkuaklah langit dan terdengarlah suara, "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu Aku berkenan" (Mrk 1:11).

     Yesus Kristus yang berasal dari Allah yang Maha Tinggi menjadi manusia dan hidup di antara manusia. Secara langsung Dia membimbing manusia untuk sampai pada kemanusiaan yang sepenuhnya. Manusia yang mengasihi Allah dan sesama, inilah manusia seutuhnya seturut ajaran Dia. Manusia yang tidak lari dari manusia lain, yang tidak memanfaatkan manusia lain demi kepentingan diri, melainkan yang mengasihi dan mau berkorban untuk manusia lain. Manusia yang tidak berusaha menjadi Allah, tidak bersembunyi dari Allah, tidak menganggap Allah itu khayalan atau sesuatu belaka. Namun manusia yang benar-benar mengasih Allah dengan sepenuh hati dan menjadikan Allah Sang Sumber Hidup sebagai gantungan hidupnya.

     Jika Yesus bersedia menjadi manusia sepenuhnya, maka hal itu merupakan undangan bagi kita untuk juga menjadi manusia sepenuhnya manusia. Manusia yang sadar bahwa dirinya selalu berkaitan dengan manusia lain, berada di antara manusia lain. Dengan kesadaran itu maka muncullah sikap menghargai, menghormati keberadaan manusia lain. Dari kesediaan untuk menghargai dan menghormati inilah akan timbul sikap mengasihi sesama secara wajar. 

REFLKESI DIRI:
     Ya Tuhan, ada banyak keterbatasan dalam diriku, karena apalah dayaku, tak mampu aku membeli sedetik waktu untuk menambah umurku. Banyak kelemahan dalam diriku, karena tak mampu aku membawa segenggam harta duniaku ketika jiwa ini meninggalkan raga. Betapa terbatasnya aku, ketika kusadari bahwa hidup ini demikian tergantung pada hidup orang lain. Betapa terbatanya aku ketika.............?

     Bebaskan aku, ketika aku demikian terikat oleh keinginan-keinginan, harapan, nafsuku sendiri. Merdekakah aku ketika rutinitas demikian membelenggu dan mematikan gairahku? Oh, betapa aku seperti tawanan dalam sel pengap berjeruji besi nan kuat. Betapa aku menjadi tawanan dunia dan diperbudak oleh arus keadaan. Tanpa daya aku terombang-ambing, tanpa kuasa aku terus digiring.

     Aku melihat, bahwa aku tidak melihat pula aku menyadari bahwa kesadaranku sering aku tinggalkan pergi begitu saja. Tiada pula aku sanggup melihat isi hati orang yang ada di dekatku. Tiada aku melihat akhir dari hidupku. Pengelihatanku hanyalah sejengkal yang terapung di atas ingatan yang timbul dan tenggelam. Di luar semua itu, tak melihatnya aku. Hanya gulita yang menganga. Terlebih perkara-Mu, yang menghidupkan dan menghidupi aku, gelaplah seluruh penglihatan.

     Ketika jaman terus bergulir pun aku berdiri di lintasannya. Jaman itu terus bergerak melitas dan menindas, lalu aku melekat. Gerak putarannya menjadi gerak putaran hidupku. Dan saat aku mencoba melepaskan diri, serentak tangan-tangan kuat merenggutku kembali. Lantas aku menjadi bidak yang mudah digerakkan kemana pun oleh tangan tak tampak, sekedar agar permainan jaman terus berjalan. Lalu datanglah Dia. Tangan-Nya menjamahku, di rangkulnya aku, digandengnya aku untuk berjalan bersama-Nya, namun kadang aku memberontak melepaskan gandengan Tangan-Mu. Tetapi tak hentinya Tangan-Mu memegang erat tanganku, Dia pun menatap ketidakberdayaanku, keterbatasan-keterbatasanku bahkan Dia memperhatikan hidupku yang berada dalam tindasan jaman. Sinar mata-Nya menyusup di antara jeruji sel dimana aku tertawan oleh hidupku sendiri.

     Selesai membaca Dia mengajarku, memberiku teladan. Bagaimana membuka hati dan menyerahkan diri agar Roh-Nya dapat membimbingku keluar dan aku dapat menghirup udara kemerdekaan, Dia hadir sebagai manusia agar aku dapat melihat apa yang tidak aku lihat. Dia datang sebagai terang agar aku sadar bahwa hidup bukan semata-mata ruang gulita sepekat seribu malam. Serta Dia memberi tawaran padaku, untuk menjadi ungkapan kasih-Nya.

     Betul banyak keterbatasan dalam diriku. Namun sebelum aku agar orang lain memahami akan keterbatasanku ada baiknya aku pun memahami keterbatasan orang lain, memakluminya untuk dapat menghormati, mengharagai orang lain. Banyak kelemahan yang membuat aku diam dan tidak peduli. Banyak keterbatasan yang membuat aku diam dan tidak mau berbuat sesuatu.
Ya Tuhan. Bersabdalah kepadaku, maka aku akan berjalan......
Bersabdalah padaku, maka aku akan melangkah.








{Yustinus Setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar