Penyair, Puisi, dan Berbagai Hambatannya.
Adakalanya puisi gagal menemukan bentuknya di hadapan publik pembaca. Terutama dengan keseriusan para penyair untuk merajut makna yang dianggap aneh, bertolak belakang atau mungkin tak dipahami oleh pembaca. Maka kita hanya dihadapkan pada sebuah asal-mula, yakni proses terbentuknya puisi itu sendiri. Sebagai sebuah nalar yang melingkar puisi menjadi niscaya mengambil bagian sebuah publik untuk intim. Sekaligus menyeluruh dengan tidak ingkar pada lingkungan sekitar.
Puisi merupakan percikan yang sederhana, rumit dan gampang. Pengalaman berkelahi dengan kata-kata itu yang makin membuahkan nurani dalam teks (sebuah puisi). Sebagaimana kelantara, kita pun memasuki puisi yang ditulis para penyair, menyibak setiap ruas, sudut jenis diksi, bertamasya dalam taman kata yang penuh, debar, aneh atau apalah? Sesekali ditemani benak lagi beku yang muncul tak berkesudahan. Tapi dikali lain kita bersua dengan kenyataan-kenyataan yang beku, meski tetap menyenangkan.
Puisi seakan membaurkan semua sisa-sisa kehidupan atau suatu kehidupan setiap manusia yang tertuang dalam tulisan dari yang paling hitam, putih, mungkin pula abu-abu yang dialami setiap manusia dalam kehidupannya. Tangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato, tentang sebuah konsep dunia ide, yang pernah ditulisnya. Jika dunia ide tak pernah habis akam terus ada.
- Jarak Aman
Para penulis, percaya setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak aman terhadap peristiwa. Dengan demikian ia bisa membaca lagi semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan berdiri sendiri (independen) dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut. Meskipun sebuah puisi acapkali berada pada posisi sekarat. Seperti ingin menjemput setiap keinginan atau kemauan dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Realitas itu sendiri terutama dalam sebuah karya-karya tulis, seni tulis, sembari memerlukan polesan-polesan. Sehingga membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada.
Persoalan yang banyak ditemui ialah kedalaman makna di mana sejumlah diksi gagal membangkitkan aura, sehingga acapkali ditemui bentuk puisi yang datar, tak lagi mengejutkan atau imajinasi yang terkesan biasa saja. Tentu ini persoalan mendasar bagi seorang penyair. Setiap penyair per-caya, sebuah makna kata memerlukan kerja yang serius, bermain-main atau tapak hari - jauh sebelum puisi itu dibentuk. Dan apa yang ditulis beberapa penyair tahun lampau nampaknya masih pantas dijadikan sebuah rujukan, jika kita tidak pernah tahu apa maksud si penyair dalam puisinya maka masukilah bagaimana keseharian seorang penyair.
Bagaimana ia mesti berkelahi dengan sejumlah kalimat, mencoret-coret sketsa, sebelum puisi itu dilempar dan menemui publiknya. Sebagai bentuk lingua yang lumayan tua, puisi memang harus menjaga komponennya. Dalam bahasa elektro; ibarat sejumalah mekanik-mekanik membutuhkan tenaga dari luar (arus) listrik untuk membangkitkannya. Dengan demikian, puisi akan bersimpuh kemudian menggeletar diantara aura bunyi lainnya. Sebab lingkar pikir manusia terkadang selalu membelenggu yang membuat kita menbatasi gerak. Sehingga imajinasi yang tertuang dalam sejumlah diksi berhenti setelah kita selesai membacanya. Puisi yang tetap berdencar sepanjang masa. Dimana seluruh rangkuman jejak tertinggal di sana kata-kata penuh pukau, memotret seluruh unsur depan sadar manuisa. Getarannya membangunkan semua ketertinggalan kita. Puisi tersebut dapat membuat kita terenyuh dan selalu terngiang.
Wah, kalau sudah begitu, saya kira puisi merupakan sebuah benda yang hebat memancarkan sejumlah aura, setiap keindahan di dalamnya terbungkus jadi satu sebuah tumpangan kalimat yang memaksa kita mengembara ke negeri-negeri yang tak "bernama" imajinasi mungkin sebuah formula ajaib untuk itu seorang penyair rajin-rajin mengasah kepekaanya, mengamati kehidupan, mendengarkan apa yang dirisaukan, menjaga gairah, menjemput seluruh kenagan yang pernah tertinggal di kepala (otak).
Puisi seakan membaurkan semua sisa-sisa kehidupan atau suatu kehidupan setiap manusia yang tertuang dalam tulisan dari yang paling hitam, putih, mungkin pula abu-abu yang dialami setiap manusia dalam kehidupannya. Tangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato, tentang sebuah konsep dunia ide, yang pernah ditulisnya. Jika dunia ide tak pernah habis akam terus ada.
- Jarak Aman
Para penulis, percaya setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak aman terhadap peristiwa. Dengan demikian ia bisa membaca lagi semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan berdiri sendiri (independen) dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut. Meskipun sebuah puisi acapkali berada pada posisi sekarat. Seperti ingin menjemput setiap keinginan atau kemauan dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Realitas itu sendiri terutama dalam sebuah karya-karya tulis, seni tulis, sembari memerlukan polesan-polesan. Sehingga membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada.
Setiap kali menghitung diksi yang dipakai dalam seni tulis. Penyair mencoba memilih, membelah, kemudian menginsafi diri sendiri. Sebuah puisi memang harus disusun dengan penuh kehati-hatian, sebuah kata yang gagal saja bukan tidak mungkin bisa merusak seluruh bangunan puisi itu secara utuh.
Melalui teks itu pulalah terjadi interaksi antara pembaca dan penulis. Sebuah pemaim syaraf, sebuah himpunan kalimat yang memerlukan proses pembaca-membaca. Sebut saja adalah usaha membongkar teks secara lebih jauh. Seperti lecutan gerak yang tampak melalui rangkaian kalimat, alinea, lembar-lembar pengetahuan disibak.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar