Minggu, 13 September 2015

PENDIDIKAN MASYARAKAT NON SEKOLAH

Pada awal dekade 1970-an pendidikan dikejutkan oleh statemen Ivan Illich dengan gagasan deschooing society (masyarakat tanpa sekolah). Dengan nada pruvokatif Illich mengatakan bahwa jika tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang secara wajar maka dengan sendirinya institusi-institusi pendidikan formal tidak akan lagi di perlukan.
Illich mengandaikan, pendidikan adalah kegiatan bertujuan untuk membebaskan manusia. Lebih jauh dengan bahasa lain, pendidikan bukanlah semata persoalan sekolah yang hanya mengeluarkan ijazah. Gagasan Illich mengingatkan kita pada gagasan sekolah pembebadan milik Paolo Freir. Di indonesia sesungguhnya hal serupa juga pernah disuarakan oleh YB Mangunwijaya dengan sekolah mangunannya di Yogyakarta.

Semua tokoh diatas pada dasarnya sepakat bahwa pendidikan bukanlah soal urusan legal-formal, kurikulim, tatap muka bahkan institusional saja. Namun, lebih dari itu pendidikan adalah 'taman' di mana peserta didik dididik dengan sepenuh hati tanpa ada rasa paksaan untuk memahami kehidupan. Ini sebagai bekal kelak ia hidup di masa yang tentu tak sama dengan keadaan saat ini. Freidrich Nietzsche penah berkata secara lugas : "education is what you learn form school, from home, and more importantly between school and home". Pendidikan bukanlah sebatas urusan sekolah, atau juga bukan selalu urusan rumah. Lebih dari itu pendidikan adalah urusan lokus 'antara' rumah dan sekolah.

Gagasan yang dikembangkan Nietzsche sesungguhnya sama parsis dengan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara : bahwa pendidikan adalah taman. Pendidikan berfungsi untuk menemani tumbuh kembang seorang peserta didik atau siswa dengan penuh riang gembira tanpa tekanan dan paksaan.Gagasan ini juga bermakna, pendidikan sesungguhnya bisa mengakomodir siapa pun tanpa ada sekat-sekat sosial. Rumusan yang ditswarkan Ki Hadjar Dewantara ini sesungguhnya berguna bagi kita, khususnya dalam dunia pendidika, terutama pemerintah, untukmengambil langkah yang adil dalam memperlakukan seluruh elemen yang terlibat dalam pendidikan di Negara ini. Seharusnya, perlakukan pemerintah kepada lembaga pendidikan swasta dan negeri harusnya sama. Demikian juga dengan tenaga pendidiknya. Mereka harusnya diperlakukan sama oleh Negara.
- Pemahaman Dangkal

Lalu tatkala ada pertanyaan retoris apakah pendidikan adalah validasi secarik kertas 'mahal' yang kemudian disebut dengan ijazah? atau apakah pendidikan juga hanya fomulasi rumit yang bercermin dalam IPK mahasiswa? ataukah pendidikan adalah sederet gelar kesarjanaan dengan sekian varian yang kian hari rasanya tak mampu otak kita untuk sekedar mengingat bahkan menghafalkan kepanjangannya? Tentu jawabannya tak bisa normatif hitam di atas putih.

Pertanyaan di atas bagi sebagian kita malah bukanlah merupakan pertanyaan. Lebih dari itu ia merupakan gugatan filosofis terhadap dunia pendidikan kita. Betapa kita hanya selalu mengurusi sekolah tanpa pernah mau untuk hanya sekedar menegok 'pendidikan' dalam artian yang lebih luas yang ada di luar sekolah.
Padahal, jam sekolah adalah jam di mana seorang anak diajari seorang guru lebih tepatnya tutor, tentang berbagai macam teori. Belajar teori berarti memberi asupan ranah kognitif dengan tanpa sama sekali memedulikan aspek-aspek diluarnya, seperti ranah afektif maupun ranah psikomotorik.

- Manusia Teoretis

Imbasnya, karena kedua ranah itu tidak tersentuh maka produk yang dihasilkan yakni manusia-manusia luasan sekolah ini, meminjam istilah Debra Masek (2007), penuh teori tapi miskin aksi dan nurani. Hal inilah yang disadari atau tidak, turut andil bagian memupuk pertumbuhan kejahatan dan juga kriminalitas yang kerap kita jumpai. Jika di ibaratkan mesin penggilingan padi, maka penggilingan ini tak berhasil mengupas kulit padi tersebut. Kulit padi adalah karakter kotor yang harus dilepaskan sebelum padi itu menjadi beras untuk kemudian disuguhkan sebagai hidangan di meja makan. Begitu juga dengan siswa, dengan berbagai 'kenakalannya' semestinya sekolah bertugas untuk mengupas aneka keburukan karakter tersebut. Sehingga pendidikan yang menjadi taman bagi siapa saja tanpa ada sekat-sekat sosial yang menghalanginya. ***










(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar