Rabu, 23 Maret 2016

FENOMENA SASTRA DIGITAL

Rasanya, di masa sekarang, dimana nasib sastra miris dan nyaris tenggelam, bahkan sastrawan sulit untuk dihormati. Orang-orang, yang merasa bukan penyair, kemudianmenyingkir. Menghindar, tidak minat, bahkan menjauhi sastra. Kajian-kajian sastra pun sepi regenerasi.

Tengoklah komunitas-komunitas sastra sekarang ini (wacana ini saya tulis), di Semarang misalnya, hanya ada sekitar lima sampai sepuluh orang yang aktif. Itu pun kadangkala di antaranya sering tidak hadir saat diskusi berkala digelar. Belun lagi, sastra seringkali dihadapkan pada situasi yang semakin tak berarti di dunia akademik Indonesia. Sastra seakan tak punya gaung dan taring yang tajam untuk unjuk gigi ke permukaan. Tak punya makna dan nilai sosial. Alhasil, sastra mudah disingkirkan. Akhirnya, karya sastra hanya dibicarakan antarsastrawan dan bila masuk sistem pendidikan cuma dijadikan subtema, sebagai pemanis pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Beberapa penyair yang getol menyuarakan tentang pentingnya menggalakkan sastra di ruang digital. Saat dimana keberadaan sastra cetak cenderung bergantung pada standar redaktur media dan tempat diterbitkan. Setidaknya, kehadiran sastra digelar menjadi alternatif penting dalam menyebarluaskan kecintaan terhadap sastra kepada orang-orang yang dulu tidak memiliki akses terhadapnya. Keterbatasan itu misalnya, karena tidak memiliki biyaya untuk membeli buku sastra atau berlangganan koran. Dengan demikian, kehadiran sastra dalam bentuknya yang digital membuat sastra semakin cair dan terbuka. Karya-karya sastra kian mudah diakses banyak orang dengan bentuknya yang kian beragam.

Twitter, facebook merupakan salah satu dari jaringan ruang sosial maya yang getol dimanfaatkan kegiatan sastra. Sebelumnya, kegiatan sastra juga memenuhi ruang teknologi komunikasi global, seperti; Blogspot, Wordpress, atau friendster. Ini pergeseran media sastra dari cetak ke ruang digital yang kian menguat di Indonesia beberapa tahun belakangan. Dengan jaringan yang kian mudah, cepat dan massal, dunia sastra leluasa dimasuki siapa saja.

Elitisme sastra--yang dulu seolah sakral dan hanya digenggam kalangan sastrawan saja--kini mencair. Setiap orang bisa ikut ambil bagian, asal rajin menulis dan mengirimnya. Semuanya berlangsung secara bebas, tanpa batas, demokratis, dengan bentuk dan tema beragam.





- Teks Cetak.

Para pelaku sastra yang terbiasa dengan teks cetak juga masuk ke ruang ini. Tak pelak fenomena sastra digital pun mendapati responsnya yang positif. Kemunculan sastra di ruang digital diharapkan mampu memperkenalkan dunia seni tulis kepada orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal sastra. Hal itu baik guna mendekatkan dan membuat masyarakat menghargai literatur, baik karya penulis lokal maupun asing.

Oleh sebab itu, dalam proses globalisasi seperti sekarang ini, janganlah sastra menjadi objek, tetapi sastra harus mengambil posisi sebagai subjek dalam perubahan itu. Sastra Indonesia harus menjadi kekuatan. Maka, tugas para sastrawanlah yang harus terus melahirkan karya-karya yang bermakna dengan penuh kejelian mengangkat tema dan isu lokalitas dalam imsjinasinya. Dengan demikian, sastra bisa dijadikan tempat melakukan pengembaraan intelektual dan sepiritual bagi nilai-nilai kebenaran. Salah satunya lewat sastra digital, diharapkan akan meningkatkan kebiasaan menulis di kalangana masyarakat yang sudah lama diperjuangkan lewat konvensional. Dan, orang-orang tidak perlu takut lagi menulis sastra, tanpa peduli mereka sastrawan atau bukan. Yang penting karya-karya itu direspons secara postif dan dimaknai.

Pada akhirnya posisi sastra selalu berubah seiring perkembangan zaman. Jikalau dulu, sastra dianggap karya yang adilihung atau tinggi, kini lebih merakyat. Kehadiran sastra digital mendorong demikratisasi di dalam dunia kesusastraan. Kedudukan pe-nulis tidak hanya di monopoli para penyair atau elit sastrawan, tetapi juga mencakup orang bisa atau dalam kata lain orang bukan dari kalangan sastrawan.

Jadi sangat mungkin kedepan bakal muncul bentuk-bentuk ekspresi baru, unik, bahkan ekstrem, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informsi. Setelah selama ini hanya didominai dua hal: karya sastra yang berupa tulisan dan ilustrasi dengan puisi, sajak tipografi dan kalimat-kalimat yang disusun sebagai gambar. (=_=) yts.









(Yustinus Setyanta - Jogja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar