Kamis, 13 Agustus 2015


ESEM

Pak Arif mendapat julukan Arif  Esem. Julukan yang pantas disematkan pada dirinya. Sebab hidupnya tak lepas dari senyum. Kata "esem" yang berasal dari bahasa jawa itu artinya "senyum". Julukan ini didapatnya sudah sejak masa muda dulu, ketika masih lajang. Dan ternyata, julukan ini pulalah yang membuat Painem sang kembang desa itu luruh hatinya, sehingga bersedia menjadi pendamping hidupnya. Lebih dari lima belas tahun menjadi Bu Arif  Esem, Painem pun semakin setuju pada julukan suaminya itu.

Sebagai anak yang dilahirkan dari orangtua yang kuat tradisi Jawanya, Arif  Esem selalu melaksanakan puasa dan matiraga dihari pasaran kelahirannya ('weton'). Matiraganya pun memilih yang yang cukup berat dan memang cukup nampak juga bagaimana dampak matiraga itu bagi kegiatan sehari-harinya. Tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya, apalagi jumpa dengan sesama, dengan Painem atau dengan anak-anaknya. Ketika Painem bertanya, dengan sederhana Arif Esem menjelaskan. "Gusti Sang Pemberi Hidup tersenyum menyaksikan aku bermatiraga dengan penuh syukur. Kalau Gustiku tersenyum, masa aku harus merengut kecut."

Dua orang teman Arif  Esem pernah datang ke rumah. Entah apa yang dibicarakan, suasana panas dan tegang. Dari kejauhan Painem melihat dua orang tamu itu begitu marah. Wajah mereka tampak garang. Sepintas kata-kata mereka pun menjadi keras. Ketika melihat wajah suaminya, Painem pun terheran-heran. Suaminya masih menghadapi mereka dengan senyum tipis. Dilain kesempatan, Painem menanyakan hal ini kepada suaminya. Tetap dengan cara sederhana sang suami menjawab: "Saat itu Gusti tersenyum. Ketika aku ikut tersenyum, Gusti menerangi akal budiku untuk melihat duduk masalahnya dengan baik dan benar. Kalau aku ikut marah-marah, jangan-jangan malah semakin tidak menemukan silusi yang ditawarkan oleh Gusti (Tuhan)".

Suatu ketika anak sulung mereka yangsedang mengawali masa remaja melakukan kenakalan. Painem merasa sudah sepantasnya menghajar anaknya itu, biar kapok. Tetapi sang suami mencegahnya dan siap menangani si anak. Sepintas lalu, Painem melihat bagaimana sang suami mengajak anak mereka berbicara dari hati ke hati.

Entah apa yang dibicarakan. Pada awalnya si anak kelihatan tegang. Beberapa kali nampak berbicara ngotot. Saat itu Painem merasa anaknya itu perlu dihajar. Emosinya meledak. Tapi dari kejauhan ia melihat bagaimana sang suami tetap menghadapi anak itu dengan senyum. Kadang senyum tipis, kadang senyum lebar.Dan tak dinyana. Anaknya menangis. Kemudian dipeluk oleh Pak Arif Esem. Dan paling sedikit sudah tiga tahun ini, anak itu tidak lagi melakukan kenakalan yang sama. Ketikap Painem bertanya, Pak Arif Esem menjawab dengan santai: "Bune anakitu butuh senyuman kita, bahwa ia juga sadar bahwa Gusti Penciptanya pun selalu mau tersenyum padanya, dan menghendaki supaya semua tingkahlakunya membuat Gusti Sang Pencipta dapat tersenyum gembira".

Tentu tidakhanya senyum manis. Sesekali Painem pun menjumpai sang suami tersenyum kecut bahkan tersenyum pait. Paitnya pun seperti buah pohon mahoni. Ketika sakit gigi, ketika kehabisan uang, ketika bermasalah dangan tetangga yang memang berwatak pembuat onar, juga.....Ketika Painem marah besar atau ngambek seabrek dan sengaja memancing pertengkaran dengan suaminya.

Toh setiap terjaga dinihari, ketika memandangi suami terlelap dalam semyum tipisnya. Painem ikut tersenyum lega. Ketika bangun kembali pada dipagi hari Painem pun merasa kesegaran, dan sambil tersenyum berseru: "Terima kasih, Gusti Sang Maha Kasih".



(Yustinus Setyanta)

MEMULIAKAN DALAM KEMANUSIAAN

  • Ketika hidup kuhayati sebagai panggilan, kadang aku dihadapkan pada persimpangan. Di persimpangan terebut aku bebas untuk memilih, apakah aku akan mengikuti keinginanku ataukah aku akan mengikuti kehendak-Nya. Dunia memanggilku untuk menjadi lebih terikat padanya, sementara kasih Allah mengundangku untuk datang dan tinggal di dalamnya Dunia mengajakku untuk hanya peduli pada diriku sendiri, sementara Allah menghendaki agar aku mencurahkan perhatianku pada sesama. Dunia menggandengku untuk sampai pada puncak-puncak keberhasilan dan kebaggan, sementara Allah menghendaki aku untuktulus dalam melayani orang lain dan menjadi rendah hati. Di persimpangan itu aku bebas untuk menentukan pilihan, apakah aku akan memiliakan diriku sendiri, ataukah aku akan memuliakan Allah?

    Jika saja aku membiarkan diriku larut dalam pemenuhan keinginan diri dan seluruh daya upaya aku gunakan untuk melaksanakan kehendakku sendiri, maka aku memuliakan diriku sendiri. Sebaliknya jika seluruh pikiranku, seluruh tanagaku aku curahkan untuk melaksanakan kehendak Allah, maka aku memuliakan Dia. Kenapa aku harus harus melihat kedua jalan tersebut sebagai sebuah perlawanan? Tidak bisakah kehendak Allah menyesuaikan dengan keinginanku? Jika sampai pada pemikiran tersebut, timbullah pemakluman-pemakluman. Ah, Tuhan pun menghendaki supaya aku sukses, supaya aku menjadi penguasa dan bisa mensejahterakan orang banyak. Lantas, apa salahnya mengikuti kehendak sendiri? Bukankah pada akhirnya nanti, aku bisa memuliakan Dia dengan lebih baik lagi?
  • Demikian mudah aku membungkus keinginan dan kehendakku sebagai hal yang dikehendaki oleh Allah. Aku mengamati diriku sendiri, ketika aku dengan demikian mudah tergoda untuk tidak menyadari kehadiran Allah. Aku tercengang ketika aku memandang Dia yang memanggul salib menuju puncak Kalvari, muncul pertanyaan; mengapa Dia tidak meletakkan salib-Nya dan memilih mengangkat pedang dan menjadi raja? Mengapa Ia tidak melawan dan membuat semua orang tercengang dengan mukjizat -mukjizat yang penuh kuasa? Mengapa Dia harus mengalami semua itu? Kembali aku berpaling pada diriku sendiri, mengapa aku tidak mengikuti Dia dan memanggul salibku?. Tenggelam dalam permenunganku Dia berkata "Mari datanglah kepada-Ku, belajarlah kepada-Ku..........." Oh.....sungguh aku harus belajar banyak. Belajar dari apa yang Dia lakukan, bahwa melaksanakan kehendak Allah adalah hal yang paling utama dalam hidupku. Menjadikan seluruh sikap dan perbuatanku sebagai ungkapan kasih-Nya adalah tujuanku. Maka apapun yang aku lakukan, aku perlu membuka diri, agar Dia hadir dan berbuat, Dia bersama dan melalui kemanusiaanku perduli dan memperhatikan orang lain. Aku berlatih untuk tidak membungkus keinginanku dengan kehendak-Nya tetapi melarutkan kehendak-Nya di dalam hidupku. Aku berlatih memuliakan-Nya dalam kemanusiaanku.





  • {Yustinus Setyanta}

Rabu, 12 Agustus 2015

.:: SANG ROTI HIDUP ::.

Tuan Rumah yang dermawan
Aku pengemis kelaparan
Mohon sejumput iba dan belas cinta
Demi kenyang atas lapar jiwa

Hanya sebutir remah roti 
Yang kupandangi sedari tadi 
Dalam getir lapar dahagaku 
Menahan rasa ingin batinku

Remah roti yang terjatuh 
Dari meja perjamuanMu 
Membuatku tunduk patuh 
Kala kupandang penuh rindu

Sri baginda Sang Roti Hidup penuh keagungan 
Tak Berani aku memohon 
Lebih dari sebutir remah roti 
Bagi mulut hati yang kecil ini

Remah roti kehidupan 
Sebutir yang penuh kekuatan
Daya pikat Ilahi yang terpancarkan 
Dalam sebuah kesederhanaan

Tuan Rumah yang dermawan 
Kau malah melangkah ke pintu depan 
Menyambutku seorang tawanan 
Masuk menjadi kawanan

Sang Roti Hidup sejati 
Mampukanlah kami 
Menjadi roti yang terpecah 
Anggur yang tercurah



(Yustinus Setyanta)

Selasa, 11 Agustus 2015

DAYA HIDUP

Ketika aku melihat tanaman tumbuh dan hidup, aku yakini bahwa didalam tersebut ada daya hidup. Ketika aku melihat binatang yang hidup akupun bahwa di dalam dirinya ada daya hidup. Demikian pula ketika aku melihat ke dalam diriku sendiri, ada daya hidup yang memungkinkan aku tetap hidup. Jika merenungkan apa yang membedakan aku dengan tanaman dan binatang. Sebagai manusia, aku mampu menyadari maka aku disebut makhluk yang berkesadaran. Ketika kesadaran itu menyentuh daya hidupkun maka aku melihat roh ada di dalam diriku. Yangada dalam di dalam tubuhku adalah roh dan bukan sekedar daya hidup.

Percaya bahwa setiap makhluk hidup memungkinkan mengalami hidup karena adanya daya hidup. Daya hidup tersebut diyakini berasal dari Allah Sang Sumber Hudup, Sang Pemelihara hidup. Ketika daya hidup tersebut disadari, maka kita menyebut kesadaran akan daya hidup tersebut sebagai roh.

Demikianlah, ketika tanaman mati, maka daya hidupnya pun habis. Ketika binatang mati, maka daya hidupnya pun habis.

Tetapi ketika aku mati, daya hidup yang aku sadari sebagai roh itu tidak akan habis karena telah terhubung dengan Allah Sang Sumber Hdup abadi. Ketika tubuh diam, dikubur, lalu hancur, kesadarn akan aku yang hidup tetap ada dan menggu tiba saatnya Dia memberikan aku tubuh yang baru lalu menggalami hidup baru bersama-Nya. Semua itu mungkin terjadi karena Allah telah datang menyelamatkan kesadaranku dan aku mempercayainya.





(Yustinus Setyanta)

PEMULIHAN

Pertandingan belum selesai. Masih harus terus dimainkan. Untunglah, tim medis sudah siap dengan semprotan mujarab. Semprot sana, semprot sini, otot paha segera pulih. Pemain itu pun bisa segera berlari kembali. Setelah pertandingan selesai, barulah ia merasakan betapa otot pahanya sakit sekali. Pemulihan sekejab lewat semprotan ajaib terbukti hanya bertahan sementara.

Saat manusia tak berdaya dan seolah terjerembab jatuh karena dosa,Tuhan tidak tinggal diam. Tidak diragukan lagi, sejak dahulu kala, Dia bisa turun tangan dengan kuasa luar biasa. Elia bahkan bisa mengunci langit karena kuasaTuhan ada dipihaknya. Ini dilakukan oleh Tuhan dengan satu tujuan penting, yakni agar hati bapa sungguh dipulihkan dan bisa berbalik kepada anak-anaknya. (bdk Sir 48:1-4,9-11) Hal ini sangat menentukan bagaimana perjalanan generasi-generasi berikutnya. Pemulihan hati menjadi kuncinya.

Memang sungguh menyedihkan. Orang-orang yang sebenarnya membutuhkan pemulihan rupanya justru berjalan semakin jauh. Mereka memperlakukan Yohanes Pembaptis seturut kehendak mereka sendiri. (bdk Mat 17:10-13). Hanya merekayang sungguh sadar bahwa dirinya perlu dipulihkan akan menyediakan hatinya untuk kembali disentuh Tuhan sendiri. Tuhan sungguh turun tangan. Dari kita diharapkan sebuah seruan jujur sepenuh hati. "Ya Allah, pulihkanlah kami. Buatlah wajah-Mu bersinar, maka selamatlah kami." (Mzm :80)







(Yustinus Setyanta)

Senin, 10 Agustus 2015

PENCERAHAN

Pola penyerangan di lapangan rupanya sudah terbaca oleh musuh. Wilayah tengah lapangan semakin terlihat rapuh. Demikian pula barisan pertahanan di depan gawang. Sesuatu harus segera diputuskan dan dilakukan. Pelatih yang mengenal pemain-pemainnya akan segera bisa menangkap gelagat itu. Maka pola permainan pun diubah. Pencerahan yang dialami oleh pelatih membawa hasil positif bagi timnya.

Titik yang menentukan terletak dalam memahami situasi yang ada. Manusia acapkali terjebak dalam pikirannya sendiri. Begitu yakinnya ia, jalan Tuhan pun bisa tidak digubris. (bdk Yes 48:17-19). Lebih parah lagi jalan Tuhan dianggap tidak bisa diandalkan.

Hanya jika manusia memperhatikan perintah Tuhan, ia akan mengalami damai sejahtera yang terus mengalir bagai sungai yang tak kunjung kering. (bdk Mzm 1).

Pencerahan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia akan menjadi terang penuntun. Kita belajar untuk berkata dengan penuh keyakinan, "Barangsiapa mengikuti Engkau, ya Tuhan, akan mempunyai terang hidup". Tanpa pencerahan, penilaian manusia selalu keliru dan berbahaya. Yohanes dianggap sebagai orang gila, dan Yesus dianggap tukang pesta. (bdk Mat 11:16-19).

Tanda pencerahan apapun tidak akan ditangkap ketika hati manusia memang telah tertutup dan pikiran manusia keras kepala.







(Yustinus Setyanta)