Ada dua sisi kehidupan yang sering dibedakan, yakni yang rohani dan jasmani, yang profan dan sacral, yang spiritual dan duniawi. Dalam dua hal tersebut seringkali pula menggolonkan pada perbuatan. Misal; berdoa itu kegiatan spiritual sementara bekerja itu kegiatan duniawi. Membaca Kitab Suci itu bersifat rohani sementara makan dan minum mengisi perut itu bersifat jasmani. Mengikuti ibadat keagamaan itu bersifat sacral sementara jalan-jalan refresing itu profan, dsb. Demikian pun dengan waktu yang kita miliki. Kita membuat alokasi waktu untuk kedua hal tersebut. Ada waktu untuk hal-hal rohani, ada waktu untuk hal-hal jasmani atau duniawi. Ada saat untuk perkara sacral ada saat untuk perkara yang profan. Kita bisa membayangkan, kita berdiri di satu dunia rohani lalu melompat ke dunia jasmani. Lalu melompat lagi.....begitu seterusnya hingga suatu saat merasa lelah, jenuh dan hanya diam di atas salah satu sisi. Atau bisa di bayangkan bahwa kita berdiri dengan masing-masing kaki yang menginjak dunia yang berbeda. Kaki kiri berdiri di atas dunia profan tetapi kaki kanan berdiri di atas dunia sacral. Ketika kedua perkara itu tidak terlalu jauh jaraknya masih bisa kita berdiri tegak, namun apabila jarak antara keduanya semakin jauh makan bisa jadi kita mengalami kesulitan untuk tetap berdiri dengak tegak, tegap.
Sebagai orang kristiani tentu gambaran di atas tidak terjadi pada diri Yesus. Seluruh perkara di dalam hidup Yesus menjadi perkara sacral, rohani atau spiritual. Apapun peristiwa yang terjadi diletakkan di atas dasar relasiNya dengan Allah, bahkan sampai ikatan keluarga pun diangkatNya dalam kemuliaan relasi tersebut. Yesus tidak melihat kedua perkara tersebut sebagai dua bidang yang sejajar, melainkan yang sorgawi mendasari yang duniawi, yang rohani mendasari yang jasmani. Hubungan antar manusia diletakkan di atas dasar hubunganNya dengan Bapa.
Perjalanan rohani tidak membuat kita menjadi aneh, terpisah atau memisahkan diri dari orang lain. Perjalaman rohani juga tidak membuat kita memutuskan hubungan keluarga dan masuk dalan kesendirian karena menganggap bahwa apa yang kita lakukan merupakan laku yang bersifat pribadi. Perjalanan rohani sebagai sarana untuk menempatkan segala perkara di atas dasar rohani. Kita bukan lagi bekerja hanya melulu untuk mencari uang, tetapi melaksanakan kehendak Tuhan. Kita bukan lagi makan karena lapar atau karena dorongan selera, tetapi untuk menjaga tubuh kita yang merupakan anugerah Allah. Demikian pun dalam hubungan keluarga, dengan orang lain. Karena perjalanan rohani tidak harus mengucilkan diri sendiri dari komunitas atau masyarakat. Tidak harus seperti pertapa yang menyendiri di atas gunung, atau mengurung diri dalam ruangan. Perjalanan rohani bisa di lalu dengan wajar, di tengah aktivitas hidup kita sehari-hari. Terus memperkokoh bangunan kesadaran akan Allah bukan hanya dilakukan dengan duduk bersemedi selama berjam-jam, tetapi bisa dikakukan setiap saat di tengah kesibukan. Namun perjalanan rohani juga bukan sebuah perjalanan yang bisa dikakukan sambil lalu sebagai kegiatan sampingan. Tentunya ketekunan dan totalitas juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Motivasi utama untuk melakukan perjalanan rohani karena merindukan Allah. Kerinduan akan Allah dibangun melalui penyadaran diri, pengenalan akan realitas diri sebagai manusia yang lemah dan berada dalam kegelapan. Maka pertobatan adalah langkah pembuka untuk memulai sebuah perjalan rohani memberikan dasar kerendahan hati dan perasaan ringan siap melanjutkan lagkah berikutnya, beban-beban yang membuat tidak percaya diri, merasa tidak layak, merasa demikian kotor, akan berkurang. Tetapi bukan berarti setelah pertobatan lalu kita menjadi demikian suci dan lebih suci dari orang lain. Karena pertobatan yang kita lakukan selama ini merupakan sebagai upaya memupuk kerinduan akan Allah. Daya dorong dalam sebuah perjalanan rohani adalah kerinduan kepada Allah. Memupuk kerinduan tergantung pada dua faktor yakni rasa cinta dan keterjarakan. Cinta tetapi tidak menyadari adanya keterjarakan tak akan membuahkan kerinduan, demikian pula keterjarakan tanpa cinta tidak akan membuahkan kerinduan. Allah lebih dahulu mencintai kita, kesadaran itu mesti menumbuhkan keinginan untuk menggapainya. Cinta yang kita pupuk adalah cinta yang menggapai anugerah cinta-Nya yang mengalir melalui keseharian kita. Sementara menyadari kelemahan, kekurangan serta ketidak sempurnaan kita akan memunculkan realita keterjarakan kita dengan-Nya. Dengan memadukan keduanya maka akan tumbuh kerinduan akan Allah di dalam hati kita. Kerinduan itulah yang menyulut api semangat untuk mellakukan perjalanan rohani.
Sebagai orang kristiani tentu gambaran di atas tidak terjadi pada diri Yesus. Seluruh perkara di dalam hidup Yesus menjadi perkara sacral, rohani atau spiritual. Apapun peristiwa yang terjadi diletakkan di atas dasar relasiNya dengan Allah, bahkan sampai ikatan keluarga pun diangkatNya dalam kemuliaan relasi tersebut. Yesus tidak melihat kedua perkara tersebut sebagai dua bidang yang sejajar, melainkan yang sorgawi mendasari yang duniawi, yang rohani mendasari yang jasmani. Hubungan antar manusia diletakkan di atas dasar hubunganNya dengan Bapa.
Perjalanan rohani tidak membuat kita menjadi aneh, terpisah atau memisahkan diri dari orang lain. Perjalaman rohani juga tidak membuat kita memutuskan hubungan keluarga dan masuk dalan kesendirian karena menganggap bahwa apa yang kita lakukan merupakan laku yang bersifat pribadi. Perjalanan rohani sebagai sarana untuk menempatkan segala perkara di atas dasar rohani. Kita bukan lagi bekerja hanya melulu untuk mencari uang, tetapi melaksanakan kehendak Tuhan. Kita bukan lagi makan karena lapar atau karena dorongan selera, tetapi untuk menjaga tubuh kita yang merupakan anugerah Allah. Demikian pun dalam hubungan keluarga, dengan orang lain. Karena perjalanan rohani tidak harus mengucilkan diri sendiri dari komunitas atau masyarakat. Tidak harus seperti pertapa yang menyendiri di atas gunung, atau mengurung diri dalam ruangan. Perjalanan rohani bisa di lalu dengan wajar, di tengah aktivitas hidup kita sehari-hari. Terus memperkokoh bangunan kesadaran akan Allah bukan hanya dilakukan dengan duduk bersemedi selama berjam-jam, tetapi bisa dikakukan setiap saat di tengah kesibukan. Namun perjalanan rohani juga bukan sebuah perjalanan yang bisa dikakukan sambil lalu sebagai kegiatan sampingan. Tentunya ketekunan dan totalitas juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Motivasi utama untuk melakukan perjalanan rohani karena merindukan Allah. Kerinduan akan Allah dibangun melalui penyadaran diri, pengenalan akan realitas diri sebagai manusia yang lemah dan berada dalam kegelapan. Maka pertobatan adalah langkah pembuka untuk memulai sebuah perjalan rohani memberikan dasar kerendahan hati dan perasaan ringan siap melanjutkan lagkah berikutnya, beban-beban yang membuat tidak percaya diri, merasa tidak layak, merasa demikian kotor, akan berkurang. Tetapi bukan berarti setelah pertobatan lalu kita menjadi demikian suci dan lebih suci dari orang lain. Karena pertobatan yang kita lakukan selama ini merupakan sebagai upaya memupuk kerinduan akan Allah. Daya dorong dalam sebuah perjalanan rohani adalah kerinduan kepada Allah. Memupuk kerinduan tergantung pada dua faktor yakni rasa cinta dan keterjarakan. Cinta tetapi tidak menyadari adanya keterjarakan tak akan membuahkan kerinduan, demikian pula keterjarakan tanpa cinta tidak akan membuahkan kerinduan. Allah lebih dahulu mencintai kita, kesadaran itu mesti menumbuhkan keinginan untuk menggapainya. Cinta yang kita pupuk adalah cinta yang menggapai anugerah cinta-Nya yang mengalir melalui keseharian kita. Sementara menyadari kelemahan, kekurangan serta ketidak sempurnaan kita akan memunculkan realita keterjarakan kita dengan-Nya. Dengan memadukan keduanya maka akan tumbuh kerinduan akan Allah di dalam hati kita. Kerinduan itulah yang menyulut api semangat untuk mellakukan perjalanan rohani.
Perjalanan Rohani, dimulai dari pengenalan diri. Pengenalan diri meliputi penyadaran akan sikap-sikap yang selama ini mewarnai setiap perbuatan dan keputusan yang di lakukan. Dengan menyadari setiap sikap dan mencoba untuk bertanya mengapa aku bersikap demikian?, menumbuhkan kebiasaan untuk merenungkan setiap perkara. Dimulai dari sikap karena sikap merupakan pendorong utama dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Sikap bisa terwujud dalam perbuatan, tetapi bisa pula tetap tersimpan dalam hati dan pikiran. Maka menyadari sikap merupakan bentuk refleksi atas apa yang mendorong berbuat. Memupuk kesadaran merupakan upaya untuk melihat ke dalam diri. Lebih jauh lagi, sikap adalah buah dari penilaian dan pengolahan atas semua nilai dan segala sesuatu yang di terima melalui indera baik menggunakan logika atau nalar maupun perasaan. Namun dalam perjalanan rohani tidak berhenti sampai disini. Dalam setiap peristiwa yang di alami lalu kita olah, kita bisa bertanya bagaimana peran Allah. Dalam setiap pengalaman atau peristiwa biasanya kita kemudian memilah, manakah pengalaman yang penting dan pengalaman mana yang tidak penting. Untuk memilah, mengambil dasar atau alat pemilah. Alat itu disa berupa kepentingan, kegunaan atau manfaat. Untuk pengalaman yang dirasa bermanfaat bagi kita akan kita catat, sementara untuk pengalaman yang tidak berguana akan kita lupakan. Untuk pengalaman yang penting dan yang akan mempegaruhi kehidupan kita selanjutnya kita catat, sementara pengalaman yang tidak penting segera pula kita lupakan. Dalam sebuah perjalalan rohani, alat pemilah itu kita ganti. Bukan soal penting atau tidak penting, bukan pula soal manfaatnya, melainkan soal kedariran Allah. Bisakah merasakan kehadiran Allah di setiap peristiwa baik itu peristiwa besar maupun yang kecil.
Perjalanan rohani adalah perjalanan yang merupakan tanggapan kita atas panggilan Tuhan. Sebagaimana yang terjadi pada para rasul, dalam perjalanan rohani kita pun diajak beserta-Nya dan tidak dibiarkan melakukan perjalanan itu sendiri. Maka senantiasa belajar untuk melihat dan merasakan penyertaan-Nya dalam hidup kita merupakan hal yang pokok dalam sebuah perjalanan rohani. Persoalannya adalah bagaimana kita bisa melihat Dia hadir dan berperan dalam kehidupan kita. Ada orang yang karena olah spiritualnya merasa bahwa dirinya melihat Tuhan dan Tuhan senantiasa menyertai dirinya sehingga ia bisa bercakap-cakap, selalu bisa berkonsultasi dsb. Hal tersebut tentunya bersifat sangat pribadi dan jika diungkapkan kepada orang lain belum tentu semua orang akan meyakini kebenarnnya. Kemungkinan dalam perjalanan rohani kita pun akan mengalami hal demikian pula. Dalam hal ini yang bisa menjadi pegangan kita adalah sikap Maria, dimana beliau sering menyimpan segala perkara di dalam hati dan merenungkannya. Demikian pun sekiranya kita mengalami, melihat, atau merasakan kehadiran Tuhan sementara orang lain di dekat kita tidak mengalaminya. Kita tidak perlu tergesa-gesa mengungkapkan apa yang terjadi tersebut kepada orang lain sebagai sebuah kesaksian. Kita bisa menyimpan perkara itu dan merenungkannya dalam hati. Yang menjadi kesaksian ialah perubahan sikap kita nantinya akan muncul dengan sendirinya dari diri kita sebagai buah dari permenungan tersebut. Dengan langkah tersebut, kita akan terhindar dari kemungkinan pengagungan diri atau menganggap diri sendiri melebihi orang lain.
Menemukan atau mendengarkan panggilan Allah, adalah bagian dari perjalanan rohani. Ketika perjalanan rohani dipahami sebagai langkah menuju hidup lebih dekat dengan Allah, dengan sendirinya membangun sebuah pemahaman mengenai arti kehadirannya di dunia. Panggilan bagi setiap pelaku perjalanan rohani pada dasarnya sama, yakni menjadi ungkapan kasih Allah. Menjadi apapun dengan jabatan dan pekerjaan apapun, yang menjadi ukuran adalah sejauh mana kasih Allah itu bisa kita ungkapkan kepada sesama dan dunia
( Diriku sebagai orang kristiani telah diberi teladan oleh Yesus Kristus).
{Yustinus Setyanta}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar