Bagi Allah tidak ada yang mustahil. Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin. Kalimat ini sering menjadi kalimat penghiburan, kalimat penumbuh harapan yang sudah kian menipis. Kenyataan dalam hidup kita sehari-hari, sering kita berhadapan dengan kemustahilan. Kok disebut mustahil? Sebab secara logika atau nalar, dengan perhitungan teori kemungkinan atau probabilitas, sudah tidak mungkin lagi. Pada kondisi semacam ini, mustahil adalah kata yang sering menjadi penutup atau pemutus harapan.
Dalam Kitab Suci, Luk 1:26-38 Elisabeth juga mengalami kondisi demikian. Maria pun juga menghadapi kondisi yang demikian pula. Mereka berdua berhadapan dengan kemustahilan, dan malah di mata manusia lain pun benar-benar mustahil. Namun apa yang terjadi pada diri Elisabeth telah mematahkan kemustahilan itu. Kejadian itu menjadi peneguh bagi Maria untuk meyakini runtuhnya kemustahilan karena peran Allah. Bagi mereka yang mengalami atau orang-orang yang dekat dengan mereka barangkali tidak masalah, tetapi bagaimana terhadap orang lain? Tidaklah semudah membalikkan telapak tangan meyakinkan orang lain soal mustahil bisa berubah menjadi tidak mustahil. Itulah kenyataan yang dihadapi oleh Elisabeth dan terutama Maria.
Maria bukanlah Maria pilihan Allah jika ia menyerahkan pada kemustahilan. Maria menerima perkara yang mustahil itu terjadi sebagai ketidakmustahilan dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Ungkapan bahwa ia adalah hamba Tuhan menunjukkan kesediaannya untuk dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh Allah. Maka terjadilah karya keselamatan Allah pada manusia melalui diri Maria. Dengan jawaban itu Maria mengambil peran sentral dalam kehidupan iman kita sebagai orang kristiani. Sebuah kenyataan yang tidak bisa kita ingkari, namun justru harus di syukuri sebab Allah menghadirkan sosok teladan iman bagi kita.
Ketika menghadapi perkara yang mustahil akan terjadi, maka harapan tidaklah habis. Kita masih bisa menumbuhkan kembali harapan dengan bersikap sebagaimana sikap iman Maria, yakni berserah diri kepada Tuhan. Dengan sikap demikianlah akan lebih mampu menghadapi kemungkinan apapun yang akan terjadi. Apakah kemustahilan itu akan berujung dengan "tidak terjadi" ataukah akan berakhir dengan "terjadi", semua dapat di sikapi dengan penyerahan diri. Kalaupun yang mustahil itu tidak terjadi, kita bisa menerimanya sebagai kehendak Allah. Kalaupun yang mustahil itu ternyata terjadi, kita bisa mensyukurinya sebagai kehendak Allah pula. Sikap iman itu memungkinkan kita bisa menerima kenyataan apapun yang terjadi sebagai kehendak Allah.
{Yustinus Setyanta}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar