Bagi manusia, tiada kenyataan di luar makna. Kenyataan alam semesta sebagai keseluruhan dan serpihan kenyataan sebagai unsur penyusun dan perekat bangunan alam adalah potensi makna. Realitas dunia menyata di luar kita hanya ketika makna mewujud di dalam pikiran kita. Kalau ada kenyataan di luar makna, kita—per definisi—tak mungkin mengetahuinya. Pun kemampuan pemaknaan manusiawi kita bercacat. Itulah keterbatasan kita.
Akan tetapi, kita selalu berusaha. Sejauh kita berhasil memperluas batas-batas luar kemampuan pemaknaan kita, sejauh itu pulalah horizon realitas kita menjauh dan mengaya. Itulah pengetahuan kita.
Andai kata alam semesta pengetahuan adalah hamparan makna, kata-kata yang kita ciptakan adalah batu hampar makna. Kalimat, paragraf, bab, dan buku adalah mosaik dan supermosaiknya, lebih kompleks dan luas daripada perjumlahan makna-makna yang terkandung di dalam tiap-tiap batu hampar itu. Makin banyak batu hampar makna kita ciptakan dan kuasai, serta makin banyak mosaik dan supermosaiknya kita bentuk dan kenali, makin berdayalah kita atas langit dan bumi, serta makin bijak dan berhikmat kita bisa menjadi.
Karena makna adalah kenyataan yang terdistorsi kekerdilan otak kita, kemajuan terbesar pengetahuan datang bukan dari hal-hal yang sepenuhnya baru, melainkan dari penyingkiran distorsi-distorsi yang menghalangi pikiran kita melihat hal-hal lama dengan cara dan makna baru. Itulah sebab para bijak sejak zaman dahulu bersiteguh bahwa yang terpenting di dalam proses pemikiran dan pencarian ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan adalah pertanyaan yang tepat.
Ilmuwan paling tenar Albert Einstein mengatakan, ”mengajukan pertanyaan baru, kemungkinan baru, menilik masalah lama dari sudut baru, membutuhkan imajinasi kreatif dan menandai kemajuan nyata dalam sains”. Filsuf agung Voltaire menyatakan, ”Nilailah orang dari pertanyaannya lebih daripada dari jawabannya.” Orang cerdas pandai menjawab. Orang cerdas dan bijak pandai bertanya. Bertanya adalah mempertanyakan makna. Mempertanyakan makna berarti menyempitkan lingkup makna. Selama berabad- abad sejak kelahiran filsafat Gerika, perkembangan bahasa-bahasa Eropa—induk sains dan teknologi kontemporer—ditandai bukan hanya oleh kata-kata yang mengacu pada realitas yang sama sekali baru, melainkan juga, bahkan terutama, oleh kata- kata yang menyajikan makna baru untuk lingkup yang lebih sempit—yakni, berpresisi tinggi—dari realitas-realitas lama.
Orang zaman kuno mungkin sudah merasa cukup mengenal satu kata otak. Sekarang ada ratusan, kalau bukan ribuan, kata unik yang berkaitan dengan bagian dan fungsi otak—dari serebrum sampai cerebellum, dari neurosis sampai neuron—masing-masing memaknai bagian-bagian kecilnya, tapi sekaligus menyampaikan informasi yang jauh lebih luas daripada kata otak saja. Hal yang sama terjadi di segala bidang dan urusan. Demikianlah perkembangan dan kemajuan pemikiran dan kehidupan menjalani proses kembar—perluasan horizon makna realitas universal dan penyempitan lingkup makna kata-kata individual.
Perkembangan yang sama sedang terjadi pada bahasa Indonesia. Penyempitan lingkup makna terjadi apabila kita tidak puas hanya mengetahui isi makna suatu kata, melainkan apabila kita berusaha keras menentukan dengan sejelas-jelasnya apa-apa saja yang di dalam kata itu tidak termuat. Yakni, apabila kita menentukan batas-batas makna secara ketat, cermat, kuat, dan tepat. Menguasai makna suatu kata adalah mengenali di mana makna itu berakhir, di mana pagarnya senggat. Akan tetapi, karena bahasa kita adalah bahasa hidup, pagar ini pun, seiring kemajuan pengetahuan dan keliaran angan-angan, tidak mati beku di tempat. Batas-batas makna berpindah-pindah setiap saat. Tiada hukum yang mengikat. Ia menari-nari, bergerak ke sana berluncur ke sini, nirhormat kepada adat. Mengikuti dan bahkan menciptakan tarian batas-batas makna kata, dengan demikian, adalah seni presisi yang bergairah, normatif dan elastik, preskriptif dan plastik, dogmatik dan adaptif, baku dan puitis, bersyarat dan bernikmat.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar