Minggu, 02 Oktober 2016

RINAI, Ai



Ai, masihkah kau menyukai rinai hujan? 
Rinai yang barangkali kau tunggu beberapa waktu dalam musim yang lain. 
Rinai yang meneduhkanmu, yang karena kau suka kemudian rela menunggunya.
Rinai yang menyejukanmu, Ai

Hujan juga yang katamu lebih romantis bak manis wajah kekasihmu. 
Dan di antara rinai yang mengurai percikan air dari langit, bait dan sajak yang lahir pun ikut mengurai waktu yang lama. 
Hujan dan memori kadang menjadi sama, Ai. 
Sama-sama tipis mengulas dan menggilas ingatan tentang masa lalu.
Itu karena rinainya yang kadang-kadang mencumbui imaginasimu dengan ingatan tentang hal yang lalu.

Entah itu sebatas gerimis atau bukan, hujan tetaplah hujan, Ai. 
Hujan dan gerimis tetaplah prasa yang itu, dia bukan ombak dengan basah miliknya yang khas. 
Ombak yang sering aku persepsikan dan persepsikan di sampingmu sebagai bentuk ketulusan gerak pada sesuatu yang diam. 
Yang dengan sapaan tulusnya dan tanpa perlu jawab pasir, dia mengurai basah setiap kali pesisir mengering. Ombak juga yang kataku menarik saat jingga senja dan surya yang menutup. 
Ah itu aku saja, bukan kau dengan rinai hujanmu itu, Ai.




Dan soal rasa, masihkan sekarang rasamu tentang hujan itu sama? 
Masihkah rinai miliknya memberimu rasa yang sama? 
Meski waktu dan dekapannya tak lagi sama, masihkah itu kau persepsikan dengan sama?
Sama, saat-saat bersama.

Ai, akankah kau menyukai pengurai ingatan sekalipun itu bukan dengan rinai hujan? 
Karena Ai, hujan itu terkadang tidak menarik jika kau nikmati dengan rima yang berbeda. 
Dengan tergesa dan tanpa ingatan yang tergilas kenangan, hujan hanya air yang mengguyur dan membasahi. Atau kalau kau membencinya, dia hanya datang untuk mengurai senja yang semburat jingga menjadi pekat.

Ai, akankah kau bilang yang lain saat rinaimu reda, dan saat itu kau risau pada basah hujan yang mulai mengering, atau tetap dengan kerelaanmu menunggu dengan katamu yang ini: ”Kau tinggal lebih lama, di sini bersamaku mengurai sejuk. Tentu itu karena aku masih butuh kecup, dekap, dan cumbumu yang basah.”  
Begitukah juga kah dengan hatimu, Ai. Sesejuk, Ai







(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar