Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan manusia sebelumnya hanyalah namanya.y Apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada akhirnya akan berubah dan lenyap dari muka bumi ini. Apa yang diperoleh akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup kita akan hilang ditelan angin, terkecuali hal-hal yang sifatnya tidak fana yang akan tetap ada.
Memahami kenyataan di dalam perubahan berarti juga memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fisika yang bekerja, ketika kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fisika yang menggerakkan meteor di ruang angkasa nan jauh di sana. Perbedaan hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran manusia yang terbatas.
Kotoran bagi satu makhluk adalah makanan bagi makhluk lain. Apa yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keterhubungan adalah bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci dan tidak suci, karena semua saling membutuhkan satu sama lain. Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan apa adanya, just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata "kenyataan" juga sesungguhnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut "kenyataan". Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan sering kali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan. Salah satu konsep yang paling banyak digunakan manusia adalah konsep "awal dan akhir". Di dalam alam, tidak ada awal dan akhir. Segalanya berubah, bergerak. Apa yang kita sebut sebagai 'awal' dan 'akhir' juga merupakan sebuah perubahan yang tak istimewa.
Jika tidak ada awal dan akhir, maka tidak ada hidup dan mati. Hidup dan mati hanyalah sebuah perubahan. Pikiran kitalah yang mencapnya sebagai suatu yangpenting. Alam semesta ini sejatinya tidak pernah hidup dan tidak pernah mati. Ia hanya ada dan terus ada. "Awal" dan "akhir", "hidup" dan "mati", itu adalah konsep-konsep di dalam pikiran manusia. Kita lalu melekat pada konsep-konsep itu. Kegembiraan kita menjadi tergantung padanya. Jika sesuatu hidup dimulai kita senang. Sebaliknya, jika sesuatu berakhir atau mati, kita lalu sedih atau berduka. Ini hanyalah ilusi dari pikiran kita, lantas bisa saja merambat ke batin.
Ketika orang mati, tubuhnya menjadi bangkai di tanah. Rumput dan tanaman tumbuh subur di tanah yang berisi bangkai yang telah menjadi humus atau pupuk alami. Sapi lalu memakan rumput itu, lalu manusia memotong mati untuk lauk pauk di meja makannya. Inilah lingkaran kehidupan yang tak mengenal awal dan akhir, mati dan hidup.
Dalam arti ini, dapat juga dikatakan, bahwa seluruh alam ini adalah satu kasatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan tidak hanya itu, semua adalah satu. Butiran pasir di pantai dan bintang raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari adalah satu dan sama. Bukankah argumen ini didukung oleh penemuan terbaru dalam fisika. Komponen terkecil alam semesta adalah satu dan sama. Antara semut dan gajah tidak ada perbedaan, ketika kita melihat komponen terkecilnya atau terbesarnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita. Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta. Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.
Sayangnya, masih ada orang yang tak paham akan hal ini. Ia menganggap, apa yang ia punya akan tetap abadi. Ia lalu melekat pada harta, ambisi, dan nama besar. Ia juga mengira, dirinya abadi dan tetap. Tak heran, ia hidup dalam penderitaan. Ia juga hidup dalam delusi, dengan mengira, kematian adalah akhir. Lalu marah, takut serta sangat sedih, ketika orang yang disayangi meninggal. Bahkan juga berusaha untuk awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Malahan juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata. Padahal, itu pun juga sesungguhnya akan berakhir. Jika orang yang hidup dalam delusi berarti hidup dalam penderitaan. Yang melekat dan memegang erat hal-hal fana yang sejatinya terus berubah. Mengira bahwa pikiran dan konsep-konsep adalah kenyataan. Bahkan takut pada kematian dan usia tua.
Orang yang menderita cenderung membuat orang lain menderita. Penderitaan kolektif akan mendorong konflik antar kelompok. Perang antar negara juga bisa terjadi, karena penderitaan batin yang amat besar dari kedua belah pihak yang perang. Perdamaian dunia tidak akan pernah tercapai, jika orang,masih terjebak didalam delusinya masing-masing.
Maka kita mencoba melepas segala harapan kosong dan pikiran-pikiran delusional yang menutupi mata kita dari dunia apa adanya. Melepas konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup mengalir mengikuti perubahaan alam semesta.
{Yustinus Setyanta}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar