Senin, 31 Agustus 2015

::. CUMBU MALAM .::

Malam larut dalam pelukan
Suasana hening dalam cumbu malam
Tak ada lagi bunyi-bunyian
Yang ada hanyalah surga malam

Malam yang begitu sunyi
Hanya binatang malam yang setia menemani
Hati riuh, gemuruh tak terkendali
Tak ada suara yang ada hanyalah bisikan hati

       Suara berbisik merdu di telinga
       Senyuman manis menghias rasa
       Mulut hanya diam tak berbahasa
       Bahasa cinta yang mampu berkata

       Malam larut dalam pelukan
       Suasana hening dalam cumbu malam
       Tak ada lagi bunyi-bunyian
       Yang ada hanyalah surga malam

       Malam yang begitu sunyi
       Hanya binatang malam yang setia menemani
       Hati riuh tak terkendali
       Tak ada suara yang ada hanyalah bisikan hati

Suara berbisik merdu di telinga
Senyuman manis menghias rasa
Mulut hanya diam tak berbahasa
Bahasa cinta yang mampu berkata

“Selamat malam cinta…..”




(Yustinus Setyanta)

Minggu, 30 Agustus 2015

ANTENA TELEVISI

     

     Jika kita pergi kedaerah pedesaan, maka akan tampak bambu-bambu yang menjulang tinggi untuk menaikan antena televisi agar menangkap siaran dengan baik. Kita yang hidup di kota tidak perlu memasang antena TV terlalu tinggi sudah bisa menangkap siaran TV dengan baik.

     Mestinya aku pun bisa menangkap sabda Tuhan dengan baik tanpa harus menaikan 'antena' terlalu tinggi, selama aku mau men-cocog-kan sabda-Nya dengan hidupku sehari-hari.







(Yustinus Setyanta)

Jumat, 28 Agustus 2015


MENEROBOS GELAP

Gelap adalah tidak ada cahaya; tidak terang benar (malam): atau belum jelas. Gelap juga merupakam bahasa istilah dalam hidup. Arti sederhana istilah 'gelap' adalah kenyataan dimana tidak tahu kemana arah yang baik dan benar. Karena yang baik itu tak selalu benar. Itulah istilah kagelapan dengan pemahaman yang sederhana, suasana yang sangat berbeda dengan terang, meski sedikit remang-remang, tetapi setidaknya suasana itu sudah berubah. Ada kepastian, ada arah yang bisa di  lihat, ada keberanian untuk melangkah yang mulai timbul. Memang tidak mudah semudah membalikan talapak tangan untuk mulai melangkah menuju kapada terang yang ada di kejauhan sana. Dalam kegelapan harus hati-hati, bahkan merangkak. Tak jarang tersandung, terpeleset bahkan bisa jatuh ke dalam lobang yang lebih gelap. Dalam kegelapan, jarak pandang pun demikian terbatas dan ada banyak hal yang mungkin mempengaruhi hati dan pikiran sehingga tanpa disadari kadang justru mengikuti kemauan dari sendiri sehingga terjerumus ke dalam lubang tersebut yang pada kenyataan hidup lebih menyenagkan, lebih nyaman. Namun Dia adalah mercusuar yang senantiasa memancarkan terang dan bisa di lihat dari kejauhan. Keteguhan hati dan kesetiaan untuk mengarahkan pandangan dan tanpa henti berjalan kearah-Nya yang membawa pada keselamatan. Di sisi lain pun menyadari  akan keterbatasan sehingga aku membutuhkan pertolongan-Nya. Menyadari keterbatasan dan kekurangan adalah sikap tobat yang merupakan pintu bagi hadirnya pertolongan dan bimbingan Roh Kudus.

Sungguh aku menyadari bahwa kuasa kegelapan itu menggodaku dan malah membuat aku nyaman namun aku pun berusaha untuk melawannya. Demikian keras aku berusaha menentang dan melawannya, namun ia tak pernah berhenti mempengaruhu, menggangu, menggoda bahkan akan menjerumuskan aku. Sampai kemudian aku merasa lelah dan tak berdaya. Kekuatanku untuk melawan dan mengghindar habis sudah. Tangan-tangan dari kuasa kegelapan itu terasa demikian kuat mencengkram dan menarikku untuk kembali menjauh dari Allah. Ketika semua itu aku perhatikan satu persatu. Ketika semua itu aku renungkan kembali. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri dengan kekuatanku untuk melawan kuasa kegelapan. Bahkan aku merasa, melawan dengan sekuat tenaga adalah tindakan yang keliru. Ketika aku melangkah menuju terang ke arah terang maka dengan sendirinya aku tidak lagi mengalami kegelapan. Demikian sebaliknya jika aku menjauhi terang maka dengan serndirinya aku memasuki kegelapan. Inilah bahasa sederhana yang aku pahami, bahwa untuk mencapai keselamatan aku harus bergerak mendatangi terang dan bukan menjauhinya, Dia adalah Terang itu, Dia adalah Terang yang sesungguhnya. Maka bagaimana aku mengarahkan hidupku senantiasa kepada-Nya, itulah yang harus aku lakukan.

Aku hanya duduk dan diam........kubiarkan kesadaran akan relasiku dengan Allah sebagai penolong, penuntun, pembimbing yang senantiasa menjagaku muncul. Kesadaran itu terus kuperhatikan dan kubiarkan tumbuh subur. Ketika ada keinginan lain muncul, aku hanya menyadarinya. Ya.....aku hanya memperhatikan dan menyadarinya, bukan mengikutinya. Perlahan keinginan dan pikiran yang menyimpangkan aku dari Allah itu tersingkir. Ketika ia kembali datang, kembali pula aku memperhatikan dan menyadarinya, bukan mengikuti dan menganalisanya. Kembali pula mereka lenyap.....Dalam keheningan itulah, aku mengingat satu ayat yang pernah Dia sabdakan. Ayat itu kusadari, dan terus kusadari. Setiap kata terus kuhayati dan kurasakan suasana yang dibangun oleh sebuah kalimat yang pernah Dia sabdakan. Dalam,keheningan itulah, aku melihat apa yang kurang dari diriku dan apa yang mesti kuperbuat sesuai dengan apa yang Dia kehendaki untuk kulakukan.

Setelah itu aku bangun, dan beranjak dari keheninganku. Aku bergerak tidak lagi diam, sebab aku harus melakukan apa yang harus aku lakukan. Dalam keterbatasanku dan kekuranganku, keserahkan diriku kepada-Nya. Tanpa harus menunggu, ternyata Dia memungkinkan semua itu terjadi. Dia mengirimkan orang lain untuk berarti dalam kehidupanku,nketika aku berbuat hal yang berarti bagi kehidupan ini. Allah senantiasa membimbing dan menuntunku melalui peran orang lain dalam kehidupanku. Ketika aku kembali duduk dalam keheningan, maka meski perlahan meluncurlah dari dalam hati melalui bibirku, "Terima kasih Tuhan.....atas penyertaan-Mu".



















(Yustinus Setyanta)

Kamis, 27 Agustus 2015

KENYATAAN

Jika sebuah kenyataan berusaha untuk dihindari, maka ia akan mengejar dan terus mengejar sampai kita mau menerima dan mengakuinya. Jika kenyataan hendak kita bunuh, maka ia akan menjadi hantu yang senantiasa menakuti kita. Tetapi jika kenyataan itu kita terima dengan apa adanya, ia akan tersenyum gembira dan membawa saudara-saudaranya yang lain untuk dapat kita akui pula.

Hanya karena kenyataan itu buruk rupa kadang kita menolaknya. 
Hanya karena kenyataan itu telanjang bulat lalu kita malu dan sibuk mencarikan pakaian untuknya. 
Hanya karena kenyataan itu kadang menyakitkan, kita lalu ketakutan. 
Hanya karena kenyataan itu menyebalkan, lalu kita berusaha mengacuhkan.

Kita hanya mau menerima kenyataan yang indah, yang elok, yang mengasikkan bahkan menyenangkan. Sementara kenyataan itu salalu datang kepada kita sebagai apa adanya.
Kadang berpikir bahwa kenyataan itu telah direkayasa. Padahal yang demikian sudah bukan lagi kenyataan, melainkan kepalsuan.
Demikian pula kadang kita berpikir untuk menampilkan kenyataan supaya lebih baik dilihat orang dan lebih menarik perhatian, padahal ketika kita melakukannya sebenarnya kita sedang mengemas harapan dan bukan sebuah kenyataan.

Kenyataan tidak bisa diubah oleh siapapun, sebab setiap perubahan yang terjadi pada dirinya tidak lagi bernama kenyataan. Maka menerima kenyataan dan mengajaknya berdendang dan menari. Mendendangkan lagu kasih dan menarikan tarian kehendak-Nya. Biarkanlah ia tetap menjadi kenyataan, toh.....ia tidak akan menghancurkan diri kita, tetapi justru akan membangun, menguatkan kita.









{Yustinus Setyanta}

Rabu, 26 Agustus 2015

::. LIRIK DUA BARIS .::

Mustinya kumasuki teduh rumahmu 
Sebelum malam menutup semua pintu

Dada penuh amuk ombak 
Tak juga kutulis selarik sajak

Aku mematung merenungimu, membiarkan 
Runcing rintik gerimis menembus badan

Kata-kata berebut lidah meminta diucapkan 
Tak juga sebaris lagu kunyanyikan
 (Yustinus Setyanta)

::. SEBUAH SAJAK MENYAPAMU .::











Aku tak mengantamu ke tempat-tempat yang kautuju 
Aku mengantarmu ke setiap titik dari mimpimu 
Kuturuni jalanan, tak peduli halus atau kasar 
Kupahami riuh jantungmu yang berdebar

Jangan takut pada jalan berkelok 
Aku pun mengerti untuk tak jatuh rongsok 
Jangan menangis berkepanjan 
Bukankah bagimu semua telah kuseimbangkan

Jangan tinggalkan aku terlalu lama 
Aku rindu dan kucatat semua saat-saat bersama 
Sebab kaulindungi diriku dari bebal dan abai 
Kulindingi pula dirimu dari hujan dan badai

Biarlah kutampung di punggungk terik mentari 
Setiap hari, ia membuatku lebih berarti 
Kuhayati setiap gerak dan laju 
Diam dan termangu bukan tadirku 
Bergegaslah ke pangkuanku 
Bersama kita tembus ruang dan waktu.


(Yustinus Setyanta)