Rabu, 12 Agustus 2020

KENORMALAN BARU DARI SISI LOGIKA

Pada clotehan melalui tulisan saya ini  lebih mendekati kata kenormalan baru dari aspek logika dan realitas kekinian yang hidup di tengah-tengah kita. 



Secara sadar patut kita akui bahwa pandemi covid-19 ini telah mengubah banyak hal. Mulai kebiasaan sehari-hari hingga aturan dan perundangan yang menyertai.Sebagai bukti, mulai 18 Maret 2020 hingga hari ini, setiap hari, terutama saat keluar rumah, kita diwajibkan menggunakan masker. Begitu pun saat beribadah di masjid, misalnya, kita mesti mengatur jarak.Kondisi yang berbeda dari sebelumnya itu dilabeli sebagai kenormalan baru. 

Logika tentu saja bisa kita tebak bahwa saat ini kebiasaankebiasaan di atas, baik yang terkait dengan masker maupun dengan pengaturan jarak, dilabeli kenormalan baru. Artinya pula, kondisi kehidupan di saat covid-19 ini, walau tidak sama dengan keadaan sebelumnya, tetaplah anggap normal.

Nah, penyematan kata baru yang mengiringinya menegasikan bahwa kenormalan saat ini semu dan jauh dengan kenormalan yang dulu saat sebelum covid-19.Secara logika pula, kata kenormalan baru merupakan euforia dan sekaligus eufemisme. Disebut euforia karena kondisi kebebasan semu ini lebih dapat diterima masyarakat bila dibandingkan dengan pembatasan: harus tinggal di rumah atau karantina mandiri. 

Ketika kebebasan ‘bergerak’ diberikan, kata kenormalan baru pun muncul seiring sejalan.Begitu pun secara eufemisme, kata kenormalan baru menunjukkan pelembutan makna, yang mengesankan bahwa situasi saat ini sudah normal, hanya harus ada syarat yang mesti diterima, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, yakni protokol kesehatan.Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kenormalan saat ini sesungguhnya tanpa kenormalan.

Jelas saja dapat dibuktikan, sebagai umat beragama kita tentunya juga  banyak beribadah di rumah ibadah. Tapi saat ini kita dibatasi dengan ketentuan.
Mestinya kita merapat barisan dalam peribadatan, malah saat ini kita dijauhkan.

Mestinya siswa atau pelajar mendapat edukasi dengan datang ke sekolah, tetapi keinginan belajar itu harus dipupus dalam-dalam karena lebih baik di rumah. Belum lagi kita mesti sering bersilaturahim, tetapi sekarang mesti dikurangi.Ini artinya lagi, kenormalan saat ini merupakan budaya, sikap, atau norma yang baru dan berbeda dengan yang sebelumnya. Alih-alih ingin saya ungkapkan bahwa normalnya hanya segini, loh. Bisa juga disampaikan dalam bahasa yang berbeda bahwa kenormalan saat ini ialah kenormalan yang mentok.

Ringkasnya dapat dipahami bahwa kita berada dalam kenormalan yang tidak normal. 

Saat ini kenormalan baru dipenuhi kenegasian dari kenormalan yang sesungguhnya. Selagi covid-19 masih mewabah, selama itu pula kenormalan tidak ada.Terakhir. Kita bisa merasakan kenormalan lagi bila semuanya sebangun dan sepola dengan kondisi sebelumnya. 

Namun, bila itu belum terjadi, kenormalan itu sejatinya tidak akan pernah kita rasakan lagi.Lenyap dan pergi di antara ganasnya bakteri. Artinya pula, kenormalan baru merupakan standar baru karena kita tidak atau belum menemukan kenormalan yang sejati..









(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar