Namun, selama aku memandang segala sesuatu sebagai kebetulan, maka peristiwa lain pun akan menjadi kebetulan belaka. Hidupku bergerak dari kebetulan ke kebetulan yang lain, dan tidak merasakan bahwa ada peran Allah, ada kasih Allah dalam setiap peristiwa tersebut. Maka dengan menolak kebetulan aku bisa melihat dan merasakan kasih-Nya, dan hanya dengan merasakan kasih-Nya aku bisa bersyukur. Maka hidupku pun bukan lagi bergerak, bergulir dari satu kebetulan menuju ke kebetulan lain, melainkan mengalir dari satu rasa syukur menuju pada rasa syukur yang lain. Dengan demikian aku bisa menjadikan Dia sebagai andalan utama kehidupanku.
Yahhh........dengan kesadaran atau menyadari bahwa karena kasih-Nya aku dibimbing-Nya. Dituntun, dibimbing untuk dapat merasakan kasih demi kasih dalam setiap peristiwa yang terjadi pada diriku. Dibimbingnya aku untuk bisa bersyukur atas karunia demi karunia yang Dia berikan kapadaku. Dari hal yang kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Aku mencatat: Bahwa di dalam sebuah penderitaan ada kesempatan emas bagiku untuk mendengarkan sabda-Nya, merasakan kasih-Nya. Dalam sebuah kegembiraan ada kesempatan emas bagiku untuk berbicara dengan-Nya, untuk mengungkapkan rasa syukur kapada-Nya. Lambat laun rasa syukur itu menumpuk dan tak mampu lagi kutahan-tahan, tak mampu lagi kutampung. Tanpa kusadari rasa syukur itu meluap dan aku berani***** berani mengungkapkanya sebagai kesaksian. Kesaksian bahwa Dia telah mengubah hidupku, bahwa Dia adalah kasih yang terungkap dalam hidupku. Itulah mukjizat*** itulah keajaiban hidupku. Dia mengubah, Dia mengusikku melalui perkara kecil, Dia terus membimbing*** membimbing ke arah yang baik dan benar.
{Yustinus Setyanta}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar