Jumat, 08 April 2016

DUA SISI KEHIDUPAN

Acapkali aku mendengar bahwa hidup itu mewujud dalam dua sisi yakni; sisi rohani dan sisi jasmani. Tak jarang pula kedua sisi itu dipisahkan. Ketika sedang bergulat dengan persoalan jasmani maka sisi rohani di istirahatkan, dan ketika bergulat di sisi rohani maka persoalan jasmani di kesampingkan. Maka mulailah membagi, memilah waktu yang terbatas untuk kedua sisi tersebut. Seringkali yang terjadi, porsi untuk kehidupan jasmani jauh lebih besar daripada porsi untuk kehidupan rohani. Kesadaran akan Allah adalah sisi rohani. Maka ketika bergulat dengan pekerjaan, dengan persoalan-persoalan jasmani, Allah kekurangan ruang untuk berperan. Berkomunikasi dengan Allah, berdoa, senantiasa diartikan duduk diam sambil mendaraskan kalimat-kalimat doa. Tetapi dalam segala pekerjaan pun Allah tetap kita bawa dan ingat.

Kehidupan rohani dan jasmani senantiasa terpisah. Untuk kehidupan rohani aku mengandalkan iman, sebab dengan iman aku dimampukan untuk merasakan kasih Allah.

Disisi lain, dalam kehidupan jasmani aku mengandalkan akal dan pikiran. Dengan akal budi dan pikiran ini aku dimampukan untuk bisa mengungkapkan kasih Allah secara lebih baik, lebih signifikan dan relevan. Jadi jelaslah hubungan antara kehidupan rohani dan jasmani, antara iman dan akal. Tanpa iman tidak akan ada kasih Allah tidak terungkapkan. Semakin dalam iman, maka semakin besar pula kasih Allah yang bisa aku rasakan hingga muncul dorongan yang kuat untuk mengungkapkannya. Melalui akal pikiranlah ungkapan syukur itu kemudian menemukan saluran untuk mengalir secara baik.

Sebagai orang kristiani, andalan utama untuk bisa merasakan kasih Allah adalah Yesus Kristus. Dia adalah totalitas ungkapan kasih Allah bagi dunia, dan Dia adalah benar-benar roti hidup bagi kehidupan rohaniku. Dengan datang kepada-Nya maka aku tidak akan lapar lagi, dan dengan percaya kepada-Nya aku tidak akan haus lagi. Dalam Dia, hidup rohaniku menjadi penuh dan siap untuk mengalir keluar, memancar sebagai kesaksian. Medan kesaksianku adalah kehidupan ku sehari-hari, dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam komunitas gereja, dan di tempar kerja. Ketika kehidupan jasmani ku menjadi ungkapan kasih Allah, maka dalam hal ini tak ada lagi keterpisahan antara sisi rohani dan jasmani. Yang terjadi adalah, kehidupan rohaniku menjadi sumber inspirasi dan semangat yang mendorong dan mewarnai kehidupan jasmani. Maka dalam kehidupan jasmani ku, Dia pun adalah 'roti hidup' yang menjadi andalanku.

Selama ini aku berpegang bahwa Dia menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi adalah untuk menjadi kuat dan mampu menghadapi parsoalan-persoalan dunia. Maka menyerah adalah kata yang tabu untuk aku gunakan. Aku harus bisa dan aku harus mampu sebab itu Dia memberi aku akal dan budi. Maka akal pun demikian dominan dalam hidup ku. Dalam hidup keseharian ku iman belum kunjung untuk kudalami, kugeluti. Mendegar bacaan Alkitab, ku pikir itu bukan bidangku, bukan urusanku. Hal itu salah satu dari iman tetap dangkal dan tak menarik dibicarakan.

Peristiwa demi peristiwa yang terjadi hanya kulihat sebatas permukaan, sehingga yang tampak oleh ku hanyalah perkara benar dan salah, masuk akal atau tidak. Jika ada peristiwa yang masuk akal, aku menyebutnya sebagai kebetulan belaka. Itulah akibatnya aku tidak pernah melihat peran Allah di dalam setiap peristiwa yang aku alami.

Jika aku mengalami peristiwa yang menyenagkan, aku merasa bangga, dan itu terjadi karena kemampuanku semata. Jika ada kejadian dan peristiwa yang menggembirakan aku menyebutnya sebagai keberuntungan. Namun jika terjadi peristiwa yang menyedihkan, segara aku menutupi dengan kata kebetulan. Akibatnya aku tak menyadari bahwa Dia terlibat dalam, semua peristiwa itu. Aku kok jadi mengandalkan diriku sendiri. Hingga aku tersadar dengan peristiwa yang membuat aku tak berdaya. Tiba-tiba aku berteriak untuk melihat-Nya, mencoba untuk memahami-Nya, Dia adalah Allah yang maha Kuasa, Maha Besar, Maha Penyayang, Maha Kasih, Maha Pengampun, Maha Bijaksana, Maha segalanya. Dalam keadaan yang terpuruk itulah aku mencoba untuk mengandalkan Dia. Situasi kontras antara aku dan Dia, antara aku yang tak mampu dan Dia Maha Segalanya, membuat aku berpikir bahwa Dia akan menyelesaikanya untuk aku. Dia akan membereskan semuanya dan aku tidak berbuat apa-apa.Aku menjadi fatalistik. Dari sikap tidak mempedulikan diri-Nya, menjadi memanfaatkan Dia. "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi." Sabda itu mengusik ku untuk selalu datang kepada-Nya, untuk mendalami imanku. Perlahan tapi pasti, aku mampu melihat peran-Nya dalam setiap peristiwa yang ku alami. Aku melihat kasih-Nya dalam setiap kejadian yang ku alami. Baik peristiwa yang besar maupun kecil, ada Dia di sana, ada kasih-Nya di dalam semua peristiwa itu. Aku mulai benar-benar bersyukur karenanya.

Rasa syukur itu membesar semakin besar sangat besar dan memaksa aku untuk tidak berdiam diri tetapi mulai berani mengungkapkan syukur itu sebagai kesaksian. Medan kesaksian adalah kehidupanku sehari-hari. Hidupku berubah, cara pandangku berubah. Aku tidak lagi melihat bahwa bekerja itu semata-mata perkara jasmani, perkara yang profan. Aku mulai menjadikan hidup keseharianku sebagai doa, pekerjaanku menjadi doa dan kesaksian untuk mengungkapkan kasih-Nya secara nyata bukan dengan kata-kata. Dan Yesus Kristus, adalah sumber yang tak pernah habis untuk rasa kasih yang semakin menumbuhkan iman ku.








{Yustinus Setyanta}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar