Senin, 19 Desember 2016

MATEMATIKA DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN



Pemikiran adalah sebuah hasil dari kegiatan berpikir manusia. Pemikiran adalah hal yang tidak dapat dianggap sepele. Sepanjang sejarah, pemikiran manusia telah mempengaruhi dunia dalam berbagai segi kehidupan, seperti agama, politik, budaya, dan ilmu pengetahuan. Pemikiran manusia juga adalah suatu peninggalan satu-satunya dari seseorang yang membuatnya abadi.

Lihatlah para ilmuwan seperti Newton, Einstein, Schrodinger, dll. Hasil dari kegiatan berpikir mereka sangat mempegaruhi pandangan umat manusia terhadap alam. Selain itu, dalam bidang filsafat terdapat Plato, Arostoteles, Ibnu Rusyd, yang filsafatnya sangat mempengaruhi pemikiran manusia di dunia.

Ada lagi Karl Marx yang buah pikirannya hingga mempengaruhi suatu negara sebesar Soviet dan China. Dalam bidang keagamaan, banyak Nabi dan Rasul datang membawa risalah, yang mana risalah ini diperoleh dari Tuhan, namun tentu melalui proses berpikir.

Sudah barang tentu, pemikiran adalah suatu hal yang paling penting bagi perkembangan manusia dalam rangka menjadi manusia seutuhnya. Manusia lahir di bumi ini dibekali akal yang dapat digunakan untuk menimbang dan bepikir.




Akal mengolah segala informasi yang ia terima melalui indera, entah itu penglihatan, pendengaran, penciuman, dll. Dari informasi ini, akal akan memprosesnya menjadi suatu pengetahuan baru, atau yang biasa disebut dengan knowledge. Tentu pengetahuan tidaklah bersifat statis, melainkan dinamis.

Hal ini dapat terjadi karena pengetahuan adalah hasil kegiatan berpikir akal, dan akal sendiri bersifat terus tumbuh dan dinamis. Akal yang digunakan untuk berpikir, akan terus tumbuh selama ia digunakan untuk berpikir dan merenung.

Setiap ada informasi dan pengetahuan yang masuk, maka akal akan memprosesnya, mempertanyakanannya, mengkritisinya, mensisntesiskannya dengan pengetahuan yang sebelumnya telah ia peroleh, sehingga lahirlah pengetahuan yang baru dan lebih progresif.

Nantinya pengetahuan yang baru ini akan menjadi landasan untuk mengkritisi pengetahuan yang baru masuk lagi, dan akan disintesiskannya, dan akhirnya akan menghasilkan pengetahuan yang baru lagi, dan seterusnya.

Terlihat bahwa proses pembentukan pemikiran manusia adalah bersifat progresif. Ia menyerap, mengolah, dan mensintesis sari pengetahuan dan pemikiran dari luar, lalu membentuk semuanya menjadi pemikiran yang semakin maju, layaknya tumbuhan.

Maka manusia jika ingin pemikirannya semakin maju, harus selalu membuka pikiran untuk memikirkan segala hal yang masuk kepadanya. Proses masuknya pemikiran dan pegetahuan ini memiliki banyak jalan, seperti dengan membaca karya-karya pemikir besar terdahulu, banyak berdialog dengan topik yang mendalam, banyak merenung, dll. 



Jika dilihat, proses tumbuhnya pemikiran sedikit berbeda dengan matematika, yaitu dengan jalan deduksi, atau menurunkan kesimpulan dari kesimpulan sebelumnya yang telah dianggap benar. Matematika adalah suatu bahasa yang logis, di mana ia terdiri dari simbol-simbol, dan berguna dalam mengkomunikasikan sesuatu sehingga ia bersifat objektif dan tidak kabur. Matematika tumbuh dari aksioma dasar.

Aksioma adalah suatu premis awal yang menjadi landasan bagi penarikan kesimpulan-kesimpulan selanjutnya, yang mana nantinya kesimpulan-kesimpulan tersebut menjadi premis baru untuk perkembangan penarikan deduksi lebih lanjut. Maka dalam ranah matematika, ia secara teoritik tidak membutuhkan pemikiran dan pengetahuan dari luar.

Secara teoritik, matematika dapat membangun dirinya sendiri. Seperti dapat kita lihat sekarang, matematika yang sudah berkembang sedemikian jauhnya hingga terlalu abstrak untuk dipikirkan, seperti aljabar abstrak, topologi, teori grup, dll, memiliki landasan aksioma yang sangat simpel dan sederhana, sebagaimana operasi dasar matematika, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dll.

Dalam bidang geometri, aksioma dasarnya seperti jarak terdekat dari dua titik adalah garis lurus yang menghubungkan keduanya.Namun perlu disadari, bahwa ternyata aksioma dasar matematika adalah juga berasal dari fakta realitas.

Aksioma di atas, seperti pada bilangan dan geometri, adalah semata-mata abstraksi dari kejadian sehari-hari. Maka dari kejadian sehari-hari yang terjadi ini, muncullah aksioma dasar yang menjadi akar dari matematika dewasa ini.

Namun, walaupun secara teoritik matematika mampu tumbuh dengan sendirinya tanpa “rangsangan” dari luar dengan jalan menurunkan premis-premis secara deduktif, kenyataanya ia akan mandeg dalam bertumbuh, dan membutuhkan rangsangan dari luar.

Rangsangan ini biasanya berupa gejala-gejala fisik, sehingga para pemikir akan memikirkan mengapa hal tersebut dapat terjadi, seperti Newton yang menciptakan kalkulus. Para pemikir mencari hubungan yang tepat antar fakta, sehingga terungkaplah keterkaitannya, sehingga mereka membutuhkan matematika sebagai tool.

Dari gejala fisik ini, seringkali para pemikir mendapat semacam pancingan, ke mana jalan deduksi matematika harus diarahkan, sehingga dapat menjelaskan fenomena fisik tersebut.

Seringkali dalam perjalanan pemecahan fenomena fisika tersebut, lahirlah berbagai cabang matematika baru, yang mana semakin membuka jalan bagi penurunan deduktif premis-premis sebelumnya. Matematika kemudian menjadi tumbuh semakin pesat, lebih pesat dari ilmu-ilmu alam seperti fisika, kimia, astronomi, dll.

Seringkali, saat seorang ilmuwan menemui kendala dalam memecahkan masalahnya, ia terbantu dengan metode matematika yang saat itu ternyata sudah tersedia, sehingga ia tinggal menggunakannya.

Namun, kadang kala ilmuwan mendapati bahwa matematika saat itu belum memadai untuk memecahkan suatu masalah, sehingga ia akan ikut mengembangkan matematika dalam rangka memecahkan masalahnya, sehingga terbantulah pertumbuhan matematika dengan adanya masalah fisis tersebut.

Seiring waktu bergulir, matematika berlari semakin cepat, jauh meninggalkan ilmu-ilmu yang lain. Ia berlari menjadi semakin liar dan tak tentu arah. Ia menjadi semakin abstrak sama sekali tak ada korelasi dengan dunia fisis. Ia trus asyik dengan sendirinya tumbuh semakin abstrak.

Namun, ternyata dalam keabstrakannya, banyak sekali ilmu-ilmu yang terbantu, seperti konsep bilangan imajiner, yang ternyata banyak sekali kegunaanya dalam bidang fisika, biologi, ekonomi, dll.

Matematika memiliki pola pertumbuhan yang unik: Mulanya ia tumbuh dari realitas, kemudian ia tumbuh dengan sendirinya sampai akhirnya ia menemui kebuntuan. Kemudian masalah fisik datang sebagai perangsang, dan ia semakin tumbuh cepat tak terkendali dan semakin abstrak. Si perangsang jauh tertinggal.

Namun saat si perangsang juga menemui kebuntuan, ia tertolong dengan si Matematika yang telah tumbuh menjadi sesuatu yang abstrak, dan dengan keabstrakannya tersebut ternyata dapat diimplementasikan ke masalah fisis. Ternyata sifat dari pertumbuhan matematika adalah timbal balik yang saling menguntungkan antara matematika yang bersifat abstrak dengan dunia fisik seperti astronomi, fisika, kimia, biologi, ekonomi, dll.






Kembali ke pembahasan pemikiran. Setelah menelaah sifat dari pertumbuhan matematika yang merupakan timbal balik, apakah tumbuhnya pemikiran juga bersifat timbal balik?

Dalam pembahasan pada paragraf-paragraf awal, pemikiran tumbuh layaknya tumbuhan saja, ia hanya menyerap, tapi tidak melakukan feedback. Namun nyatanya tidak. Pemikiran juga tumbuh mirip dengan matematika, yaitu bermekanisme timbal balik.

Pertumbuhan pemikiran membutuhkan rangsangan luar berupa pengetahuan dan masalah untuk diolah dengan akal, sehingga menghasilkan pemikiran baru. Dan pada saat itu, dalam realitas, seringkali terjadi masalah yang mana membutuhkan pemecahan yang tepat.

Seringkali pemecahan yang tepat tersebut sudah selesai melalui pemikiran yang maju tersebut. Kemudian saat muncul masalah yang sangat sulit, kadang pula pemikiran saat itu belum dapat memecahkannya, sehingga memacu pemikiran untuk tumbuh, dan seterusnya.

Maka tumbuhnya pemikiran dan matematika adalah dua hal yang identik. Matematika dan pemikiran adalah suatu abstraksi dari masalah real, dan masalah real butuh solusi dari matematika dan pemikiran. \

Maka orang yang melalukan proses timbal balik ini, akan semakin maju pemikirannya. Di satu sisi ia harus merenung untuk memikirkan dan mensintesis segala hal untuk menjadi pemikiran yang baru, dan di sisi yang lain ia harus keluar untuk menghadapi problem realitas dengan pemikiran barunya tersebut.[yst]








(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar