(Penggunaan Teknik Metafora Dalam Peribahasa Asli Indonesia).
Tidak, saya tidak bicara masalah kampanye pilkada ataupun melakukan provokasi. Saya mendapatkan pencerahan tentang penggunaan salah satu teknik dalam konseling khususnya play therapy dalam menggunakan metafora dari peribahasa asli kita. Hal ini tiba-tiba muncul di pemikiran saya karena pemberitaan belakangan ini. Saya tekankan dari awal bahwa ini adalah pencerahan yang saya dapat secara pribadi jadi besar kemungkinan pendapat saya ini tidak tepat, jadi bisa kita digunakan sebagai ajang diskusi dan kita sama-sama belajar hal baru. Saya belajar konseling sejak tahun 2002, belajar Satir Family Therapy tahun 2003, Hipnotherapy tahun 2010, dan Play Therapy tahun 2012 hingga sekarang. (Hmmmm.......kesannya kok saya ini sombong aloas pamer)
Saya setuju bahwa proses pembelajaran akan terus berlangsung sampai kita enggan menerima dan mencerna hal baru, bisa karena kita meninggal atau karena kita sangat bersikukuh dengan pendapat kita (ngga perlu nunggu mati). Salah satu teknik konseling yang saya pelajari adalah metafora. Banyak tokoh sejak jaman dahulu sampai para ahli di bidang psikologi mempelajari dan membahas tentang metafora, dari Virginia Satir bersama para tokoh pendiri NLP, Milton Erickson, hingga Joyce C Mills yang seminar serta workshopnya saya datangi saat Konferensi Play Therapy Asia di Bali bulan Oktober 2014 lalu.
Menurut Joyce Mills dalam bukunya Therapeutic Metaphors for Children and the Child Within, metaphors atau metafora adalah bentuk dari bahasa yang bersifat simbolik yang digunakan selama berabad-abad sebagai sebuah metode pengajaran di berbagai bidang mulai dari kitab-kitab suci, tulisan suci pada Kabbalah, Zen Buddhism, puisi, cerita rakyat, dan cerita dongeng. Intinya menurut saya ini adalah bentuk warisan ajaran kebijaksanaan dari para pendahulu. Selama seminar dan workshop tersebut, saya disuguhi metafora yang juga disajikan dalam bentuk yang agak panjang yaitu Therapeutic Story atau cerita yang memiliki muatan kesembuhan psikologis. Joyce Mills banyak berbagi tentang metafora asli Hawaii. Metafora dan therapeutic story dari Hawaii dan negara-negara lain bukan saja indah didengar namun juga langsung memberikan makna yang mendalam tentang kehidupan. Satu kalimat metafora dapat mewakili makna dari omelan atau nasihat yang diberikan berjam-jam. Namun saya terusik dengan satu hal. Apakah Indonesia punya kekayaan kebajikan asli dalam bentuk metafora dan therapeutic story?
Pikiran saya berputar keras, mencari-cari dan mengais-ngais ingatan tentang cerita rakyat atau dongeng semasa kecil, dari cerita kancil nyolong timun sampai malin kundang. OMG, kita punya ngga sih? Saya panik bukan kepalang. Apakah kita bukan bangsa yang bijaksana? Mugkin terlalu pesimis dan skeptis, saya berakhir dengan kepusingan dan kekecewaan. TAPIIIIIII... alhasil kebanyakan baca cerita tentang yah cacimakin,, dll saya menemukan kekayaan asli bangsa kita dalam bentuk metafora di peribahasa kita.
Peribahasa yang paling populer jika membahas (maaf) bacot orang lain adalah "Mulutmu Harimaumu". Ada hal yang unik disini, seperti halnya kesalahan klasik dan klise yang enggan bertanggung jawab secara mandiri atas pemikiran dan perasaan kita (ciri khas orang insecure), sehingga yang salah pasti orang lain seakan-akan kita yakin kalau kita yang ngebacot harusnya ngga jadi masalah buat orang lain oleh sebab itu peribahasa ini hanya pakai kata -MU, bukan kata-KU. Namun terlepas dari itu, HOREEEEEEEE, kita wajib berbanggalah bahwa ada bentuk metafora kebajikan dalam makna peribahasa asli Indonesia ini, yang intinya berhati-hati dan berpikirlah sebelum berbicara. Karena apa yang KAMU bicarakan bisa menyakiti orang lain (termasuk aku) dan bisa membawa petaka bagiMU (si aku kaga ikutan tanggung jawab, karena sibuk menghakimi dan tersakiti) ooooh ironis sekali warisan budaya yang menanamkan untuk menjadi korban dan menyalahkan orang lain.
Pertanyaan yang bagus berikutnya adalah kenapa yang dipilih adalah harimau? kenapa bukan "mulutmu meongmu"? secara otomatis otak kita membedakan harimau dan meong (kucing imut). Ya bedalah impresinya, harimau serem sedangkan meong unyuuuuu. Disinilah letaknya kekuatan simbol dari teknik metafora. Segala sesuatu yang dianggap serem, oleh ahli psikoanalisa Carl Jung dikatakan sebagai shadow atau bayangan yang artinya bagian sisi gelapnya kita sebagai manusia yang utuh. Hihihi melenceng dikit, artinya kalau kita merasa ngga punya sisi gelap maka kita bukan manusia yang utuh, iyalah isinya penyangkalan melulu /denial. Oke, balik lagi ke pokok bahasan. Dalam buku The Handbook of Sandplay Therapy ditulis oleh Barbara A. Turner, PhD yang bukunya tebel banget (bisa dijadiin ganjel pintu saat angin kencang) dan dijadikan "kitab" wajib bagi praktisi sandplay therapy, play therapy, dll. Didalamnya ditulis tentang shadow. Shadow menurut Barbara Turner mengadopsi dari teori Carl Jung, adalah bagian diri kita yang sebisa mungkin kita sembunyikan.
Shadow ini adalah akumulasi dari pengalaman pahit, kelemahan, kualitas primitif yang tidak diterima oleh masyarakat umum, maka kualitas ini kita tekan dan sebisa mungkin kita sembunyikan. Sebetulnya shadow ini ngga jahat kalau ngga kita sangkal, kita proses sehingga kita bisa paham fungsi dan tau bagaimana cara mengendalikannya. Itulah kenapa di dalam kegiatan training play therapy ada proses mengenal dan mengendalikan shadow kita sebagai individu sehingga bisa lepas dari kepentingan pribadi saat menangani konseli yang sedang berproses mengenal shadownya sendiri. Shadow ini juga seringkali keluar dalam penggunaan media sandtray selama sesi. Lucunya, saat proses ini berlangsung selama training, shadow saya ya bentuknya harimau yang menakutkan, tapi setelah diproses bentuknya meong yang unyuuuu mirip kucing saya yang namanya Ming-ming yang kadang judes tapi bisa imut juga. Jadi kesimpulannya, metafora peribahasa "Mulutmu Harimaumu" memberikan makna bahwa kita wajib mengingatkan diri sendiri dan orang lain (bukan sekedar untuk menyalahkan atau menghakimi) untuk bertanggung jawab dan memproses shadow/kualitas primitif kita. Bukan disangkal tapi diproses. Dan berbanggalah karna kita punya metafora asli Indonesia.
Salam ngga' nyambung. Karena hidup isinya mencari sambungan dari ribuan potongan yang ngga nyambung.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar