Pada 2007 dan 2008, majalah Fortune menganugerahi Google urutan pertama dalam daftar 'Best Companies to Work for'. Anugerah yang sama kembali disabet perurusahaan tersebut pada 2012. Berdiri pada 1998, Google yang mengawali perannya sebagai jasa mesin pencari di internet, merambah banyak bidang lain, termasuk menjual sistem operasi Android dan telepon genggam Nexus, menyediakan jasa infrastruktur broadband untuk perkantoran, periklanan dan pemasaran, sistem pembayaran, musik, hiburan, permainan, dan masih banyak lagi.
Menarik untuk diketahui, kebijakan-kebijakan unik yang berlaku di Google berkontribusi pada predikat perusahaan terbaik untuk tempat kerja itu. Salah satu 'Innovation Time off', yakni setiap pegawainya diizinkan untuk menggunakan 20% waktu kerjanya untuk mengerjakan kegiatan yang mereka minati. Jika kita mengira memberi waktu lepas dari pekerjaan utama mereka bisa menurunkan produktivitas, itu salah. Nyatanya kebijakan itu justru berbuah manis, Gmail, Google News, Orkut, dan AdSense hanyalah segelintir dari hasil inovasi di saat time off.
Misi Google jelas, yakni mengorganisasikan pesan di seluruh dunia dan membuatnya bisa diakses secara universal, lagi manfaat. Misi itu kemudian diwarnai falsafah perusahaan yang meyakini bahwa kita bisa menghasilkan uang tanpa melakukan kejahatan, kita bisa serius tanpa setelan jasa, serta pekerjaan mestinya menantang dan setiap tantangan mesti menyenangkan. Karyawannya ditantang berinovasi dengan cara menyenangkan. Lalu patagonia yang menerapkan semangat outdoor itu memiliki misi menciptakan produk terbaik tanpa menciptakan kerusakan yang tidak perlu. Mereka juga gunakan bisnis untuk menginspirasi dan mengimplementasikan solusi persoalan lingkungan.
Patagonia merupakan pendiri www.onepercentfortheplanet.org suatu inisiatif untuk menyisihkan 1% dari pendapatan kotornya alias 10% dari keuntungan bersihnya untuk kegiatan yang menjaga atau memperbaiki lingkungan. Tidak sedikit jumlah keuntungan yang mereka sisihkan, nyatanya mereka mampu menyumbang sekitar US$46 juta melalui inisiatif tersebut. Menariknya perusahaan itu tidak merugi. Mengambil beberapa contoh sukses tersebut. Ada elemen yang lebih penting katimbang kompetisi, yang mempengaruhi performa perusahaan. Elemen tersebut adalah passion alias gairah dalam bekerja.
- Daya Ungkit Gairah
Kinerja tanpa gairah itu tidak bermakna, tetapi di sisi lain gairah tanpa karya jelas tidak menghasilkan apa-apa. Namun celakanya, jika banyak perusahaan di Tanah Air tidak memahami pentingnya gairah itu. Buktinya dalam sistem perekrutan, biasanya yang dilihat latar pendidikan seseorang bukan apakah bidang yang diminati atau membuat nrang tersebut bergairah, sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan.
"Hal ini biasanya mereka mencari orang yang lulusan S-1," gelar pendidikan tidak selalu dibarengi gairah kerja yang dibutuhkan perusahaan. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa kalau mencari kinerja maksimal, maka dalam proses perekrutan, perusahaan mestinya mencari benih gairah itu dari para pelamar yang datang. "Organisasi (perusahaan) itu lahan, sedangkan benih (karyawan dengan gairah khusus) itu harus ditumbuhkan.
Gairah ini terpisah yakmi gairah dalam konteks perusahaan (pekerjaan) dan gairah konteks personal. Ada lho.....? Orang yang belum menemukan gairah hidupnya, lantas mengambil jalur pendidikan dan profesi yang hanya semata demi mencari uang dan memenuhi kebutuhan perut. Ketika bekerja hanya demi uang, bayank orang yang tampak serupa ikan mati bahkan di dalam kolam yang dipenuhi rahamat Tuhan. Kebutaan soal gairah itu bisa menimpa siapa saja, tua ataupun muda.
(Yustinus Setyanta)
Kinerja tanpa gairah itu tidak bermakna, tetapi di sisi lain gairah tanpa karya jelas tidak menghasilkan apa-apa. Namun celakanya, jika banyak perusahaan di Tanah Air tidak memahami pentingnya gairah itu. Buktinya dalam sistem perekrutan, biasanya yang dilihat latar pendidikan seseorang bukan apakah bidang yang diminati atau membuat nrang tersebut bergairah, sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan.
"Hal ini biasanya mereka mencari orang yang lulusan S-1," gelar pendidikan tidak selalu dibarengi gairah kerja yang dibutuhkan perusahaan. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa kalau mencari kinerja maksimal, maka dalam proses perekrutan, perusahaan mestinya mencari benih gairah itu dari para pelamar yang datang. "Organisasi (perusahaan) itu lahan, sedangkan benih (karyawan dengan gairah khusus) itu harus ditumbuhkan.
Gairah ini terpisah yakmi gairah dalam konteks perusahaan (pekerjaan) dan gairah konteks personal. Ada lho.....? Orang yang belum menemukan gairah hidupnya, lantas mengambil jalur pendidikan dan profesi yang hanya semata demi mencari uang dan memenuhi kebutuhan perut. Ketika bekerja hanya demi uang, bayank orang yang tampak serupa ikan mati bahkan di dalam kolam yang dipenuhi rahamat Tuhan. Kebutaan soal gairah itu bisa menimpa siapa saja, tua ataupun muda.
Betapa menyenangkan, berinvestasi pada pekerjaan yang kita cintai, baik itu menjadi karyawan, duduk di jajaran manajemen dan petinggi perusahan, ataupun pekerjaan halal apa saja yang kita geluti. Passion mesti dipahami bukan sebagai ambisi, angan-angan, atau impian. Passion itu sudah tertanam dalam diri sebagai pemberian Sang Pencipta pada setiap manusia sejak nyawa ditiupkan. Ia merupakan produk hati, bukan pikiran. Karenanya, gairah itu muncul kesadaran bukannya pemikiran. Atau singkatnya buakan soal urusan psikologis. Kita menyakini apa yang kita cintai, dalam hal ini pekerjaan kita dan nilai-nilai yang diterapkan dalam prosesnya. Melibatkan kinerja perusahan-perusahaan hebat, "Kecintaan yang membuat kita lebih tahan banting, lebih sabar, lebih berani, lebih gigih, dan lebih peduli." Kita juga punya konsep pemikiran yang tidak lazim dengan tidak pernah terlalu terpaku pada tren industri tertentu sebagai acuan tempat berkarya. Di sisi lain, kita juga tidak sekedar bekerja melainkan asyik berkarya. "Passion dalam bekerja memang tidak langsung memberikan penghasilan yang besar, tapi meminta hasil yang besar sedari awal itu ibarat orang baru yang melamar kerja, tetapi berharap langsung jadi CEO. Semua berproses!.
"Di sini kita bekerja bukan sekedar mencari makan. Bukan semata urusan perut. Kita bekerja bukan seperti ayam notol di sana-sini sepanjang hari tiada henti. Kita manusia, bekerja untuk menanggapi cita-cita yang dilandasi oleh nilai-nilai yang kita pegangi kukuh-kukuh, yang kita percayai. Kita bekerja untuk memberi makna bagi hidup yang singkat ini. Apabila hidup hanya diisi dengan bekerja untuk mencari makan, palah kita ini; kita tak ubahnya seperti ayam."
Apa Anda sudah bekerja dengan memanusiakan diri atau menjadi tidak berbeda dengan ayam? Binatang?.
Apa Anda sudah bekerja dengan memanusiakan diri atau menjadi tidak berbeda dengan ayam? Binatang?.
(Yustinus Setyanta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar