Rabu, 10 Februari 2016

SIAPA (APAKAH) LANSIA

Sutau ketika saya membaca tempat duduk di sebuah gedung serbaguna yang berbunyi "khusus buat lansia" Siapakah lanjut usia itu? Apakah Lansia itu? Dari urutan katanya, kita bisa menerka bahwa lanjut usia ialah usia. Artinya frasa itu menggunakan urutan menerangkan-diterangkan (MD). Kita bisa paham mengapa urutan itu yang dipilih, bukan urutan yang lebih umum di dalam bahasa Indonesia: diterangkan-menerangkan (DM). Kalau ditulis dengan menggunakan kaidah DM, frasa tersebut menjadi "usia lanjut". Singkatannya jelas kurang enak: "sialan". Namun, jika benar begitu, berarti ruangan tersebut menyediakan tempat duduk prioritas buat usia. Padahal, bukan begitu maksudnya, bukan?.

Lansia bukanlah orang atau manusia, melainkan usia. Acuan frasa lanjut usia bukanlah orang, malainkan satu fase di dalam kehidupan manusia. Padahal, tempat duduk prioritas jelas buat manusia. Semua golongan lain yang bisa mengunakan tempat duduk prioritas manusia: ibu hamil, perempuan yang membawa anak balita, dan penyandang cacat secara fisik. Kata lansia jelas tidak bisa digunakan untuk menunjuk golongan orang tertentu. Apakah lanjut usia berarti orang berusia lanjut? Kalau begitu logika bahasanya, orang berumah besar akan cukup di labeli 'besar rumah' dan orang berjabatan tinggi sebut saja tinggi jabatan, tanpa kata orang atau manusia di dapannya. Padahal, jika itu dilakukan, berarti inti frasa yang merupakan elemen pokok di dalam kelompok kata tersebut malah sama sekali tak hadir dan tak definitif.

Kekeliruan logika di dalam penggunaan kata lansia untuk menunjuk satu golongan mirip dengan kurang tepatnya pada penggunaan kata "balita". Lupa bahwa balita bukanlah manusia, melainkan sebuah fase usia pada manusia. Jika "anak balita" baru manusia

Sebetulnya panggunaan kata lansia sedikit mengherankan karena selama ini mengenal kata lain yang lebih tepat: "Manula". Akronim manula akan lebih pas jika diletakkan di dalam satu kelompok bersama ibu hamil, ibu dengan anak balita, dan penyandang cacat secara fisik. Jadi, menyediakan tempat duduk untuk manula akan terasa lebih logis jika dibandingkan dengan menyediakannya untuk lansia. Penulis pernah menemukan sebuah tulisan di internet yang menyatakan istilah manula terasa merendahkan. Lantas, apakah itu pangkal tidak digunakannya kata manula? Jika iya, sangat disayangkan. Persoalan tidak enak ialah masalah rasa bahasa yang dipicu konotasi belaka. Lagi pula, manula dan lansia menghadirkan konotasi yang tidak jauh berbeda. Kalau konotasinya sama-sama tak terasa enak, mengapa tak memilih yang benar?

Mudah-mudahan kata lansia di di ruangan atau gerbon-gerbong kereta api maupun di tempat umum lainnya bukan dipicu ketaktahuan dan ketidaksadaran kita bahwa lansia bukanlah manusia.

.






(Yustinus Setyanta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar