Sabtu, 02 Mei 2015

::. HURUF .::


Wahai huruf-huruf
keluar di ujung
          Bolpoin
          Seregu
          Serombongan

O, berbondong-bondongan
Beriring-iringan
Mendarat gembira
Memakai parasut tinta
Sana-sini jebarat-jebret
Akhirnya jadi sederet
Bawa kursi malas
Keadaanya lebih dari berbagai hal yang bias.

Huruf-huruf menyergapku
Rupa menenbar pesona
Huruf itu membuka mataku
Hanya sedikit celah tersisa

Aku menatap huruf-huruf
Yang muncul cemerlang
Mendesakkan tatapan pada huruf-huruf
Hal tak penting terasa genting

Tulisan menyita perhatian
Seakan punya kadar cengkraman
Lebih daripada
Atau sekedar saja



          (: Yustinus Setyanta)



.:: EKSTASE ::.

Mengecup cahaya
Sampai nyala...
   Mendekap sinar
   Hingga berbinar... 



(Yustinus Setyanta)





BEDA KECEPATAN

Sebush pedati tentu tidak lebih cepat dari sebuah mobil ketika melaju di jalan raya. Tetapi jika dalam sebuah perjalanan, sang pengendara mobil dan pengendara pedati diminta untuk bercerita mengenai apa yang mereka lihat di sepanjang perjalanan, tentu cerita si pengendara pedati lebih banyak daripada si pengendara mobil.

Hidup bagaikan sebuah perjalanan. Ketika kita terlampau cepat menjalaninya, ada banyak hal yang tidak mampu kita ceritakan.






(Yustinus Setyanta)

INGATAN

Ingatan....yah......., kita punya segudang ingatan. Dari semuanya itu, ada yang masih bisa kita lihat dan perhatikan kembali, namun ada yang sudah demikian kusam sehingga tidak lagi bisa kita perhatikan. Ada yang terdiam di bawah tumpukan segunung ingatan-ingatan lkain, tetapi ada yang selalu saja nongol di atas dan menyita perhatian kita. Yah....., kadang kala kita merasa lelah dan terduduk diam melihat semua itu............

Pada saat kiata diam ituklah, Roh Kudus mengambil selembar lalu membersihkannya dari debu, bahkan kadang menulis ulang.....supaya kita dapat belajar bahwa di dalam setiap lembar itu ada nama-Nya yang tertulis.













(Yustinus Setyanta)

Jumat, 01 Mei 2015

::. ISYARAT ANGIN .::

Ada isyarat angin yang menyentuh diri
seperti suara yang membahana..
Yang kuatkan jiwa hingga
ke lembah-lembah hati...



(Yustinus Setyanta)





::. KISAH .::

Aku tak lupa dongeng-dongeng yang ia sampaikan...
Yang menyisahkan lembaran-lembaran...
Pun ia nyanyikan dengan anggun... 
Kisah-kisah berbisik pada daun...


(Yustinus Setyanta)





MEMAHAMI

Memahami adalah mengerti relasi atau hubungan yang terjadi akan dua hal atau lebih. Memahami hidup dengan benar, berarti mengerti relasi yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang dialami di dalam kehidupan ini. Mengapa bisa begini, mengapa begitu, mestinya proses yang terjadi adalah demikian, semua itu merupakan serpih-serpih pengertian yang memenuhi sebuah pemahaman. Pola sebab-akibat biasanya yang kemudian digunakan sebagai landasan bagi sebuah pengertian.

Dalam pola sebab-akibat, memahami Allah sungguh tidak mungkin, karena kita tidak akan menemukan sebabnya. Jika hal ini dipaksakan, maka Allah menjadi sebuah obyek yang kemudian terlepas dari ke-Allah-anNya sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah memahami kehendak-Nya, karena kehendak-Nya itu bersebab. Satu-satunya yang menjadi sebab dari kehendak-Nya adalah Dia mengasihi manusia. Kasih-Nya menjadi sumber penyebab semua yang terpancar dari-Nya. Kasih-Nya menjadi satu-satunya alasan Dia berkehendak. Dengan demikian memahami dengan benar, adalah menempatkan setiap peristiwa sebagai kehendak yang merupakan ungkapan dari kasih-Nya.

Ketika kita gagal, ketika jatuh, hal itu bukanlah hukuman atau kutukan dari-Nya, namun Dia berkehendak agar kita menyadari kekurangan dan keterbatasan kita. Yang acapkali terjadi ketika jatuh dan gagal adalah menyalahkan orang lain atau nasib buruk yang menyebabkan kita jatuh dan gagal. Bahkan kita menyalahkan Allah dan menjadi tidak percaya kepada-Nya. Ketika kita sakit dan menderita, hal itu bukan kutukan dan hukuman, tetapi Dia memberi kesempatan bagi kita untuk lebih mendengarkan Dia berbicara. Yang umum terjadi kemudian adalah, kita lebih banyak mengeluh dan merintih. Kita lebih sibuk memohon dan terus berbicara kepada-Nya tanpa memberi kesempatan bagi-Nya untuk berbicara. Kita enggan diam, dan mendengarkan apa yang sebenarnya Dia kehendaki pada diri kita. Demikian juga ketika kita mengalami kegembiraan dan kebahagiaan, hal itu bukanlah hadiah atau upah karena kebiasaan kita, tetapi Dia memberi kesempatan bagi kita untuk berbicara kepada-Nya. Yang sering terjadi, kita bukan bersyukur dan bebicara kepada-Nya, melainkan sibuk berbicara dengan keinginan dan impian-impian kita sendiri.

Aku belajar dan belajar memahami kehendak-Nya dengan benar dalam kehidupan ku sehari-hari.






















(Yustinus Setyanta)