"Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhingga banyaknya.............sebuah ruang multidimensi yang terdapat beraneka ragam tulisan........." (Roland Barthes, 1990)
Jika ada adagium yang menyebut "Tak ada yang baru dibawah matahari", maka istilah "Intertekstualitas" segera dapat disandingkan frasa "yang baru" di situ, tentu merujuk soal orisinalitas. Orisinalitas, dizaman (yang orang sebut) sebagai post-modern ini, justru menjadi problmatis. Justru dibongkar, dan di tempatkan dalam ruang paradoks alias kontradiksi -- sebagaimana juga diskursus postmodernisme itu sendiri (yang selalu kontradiktif dan difinisinya).
Andai kita bersepakat dengan para pemikir postmodern, semacam Roland Barthes, Franscois lytard, Kristeva dan beberapa yang lain, maka dalam konteks proses produksi teks, mau tak mau, kita pun harus sepakat bahwa tak ada sebuah seni tertulis yang orisinal - terutama jika kata "orisinal" dimaknai sebagai sesuatu yang otonom, steril dari berbagai pengaruh dari luar dirinya.
Maka, kita bisa meletakan pemahaman bahwa soal "orisinalitas" adalah soal "kreativitas". Dengan menempatkan orisinalitas berbanding lurus dengan kreativitas, maka sesungguhnya, sedang memberi ruang "pengayaan" atau "perluasan" pada proses produksi teks (oleh si pengarang) artinya pengelanaan seorang pengarang ketika melakukan ekplorasi (panggilan) teks, dalam proses menulis, menuangkan gagasan-gagasan, adalah pengelanaan seorang pengembara yang telah dibekali oleh gagasan-gagasan yang terdapat di dalam "tek-tek lain".
Inilah yang oleh Julia Kristeva - pemikir perancis yang mengenalkan istilah "kesaling tergantungan satu teks dengan teks-teks sebelumnya" urusan teks, tidak semata urusan internal dengan yang eksternal. Artinya, menjadi penting peran sebuah teks "lama" untuk kelahiran sebuah teks "baru". Hal semacam ini tidak semata hanya dapat dilihat dari dan dikhususkan untuk proses penciptaan karya sastra saja, tetapi juga dalam konteks dinamika sosial yang lebih luas. Karena, bukankah kini memang sedang berada di dalam dunia/zaman yang serba interteks? Semua yang kita pakai, kita gunakan, kita makam, kita lihat, kita rasakan adalah serba interteks. Serba tak dapat kita raba "Asal muasalnya". Identitas-identitasnya menawarkan keserba-adaan, sekaligus keserba-tak-adaan.
Dunia serba interteks inilah yang memberi pengaruh pada pengarang -- sebagai salah satu bagian dari pengerak dinamika kehidupan sosial - - yang kemudian tentu memberi pula pengaruh dalam proses penciptaan teks. Maka interteks adalah niscaya. Tak dapat dinafikan. Interteks, dengan begitu adalah relasi-relasi yang selalu ada. Selalu dapat ditemukan dalam teks-teks ilmiah, sastra dan sebagainya, selama proses penciptaan teks dilakukan dalam sebuah "ruang dan waktu yang kongkrit". Dan dengan demikian, tentu selama dunia ini masih ada, kan?
Maka apakah tidak lebih afdol jika menerus memaknai orisinalitas dalam pergulatan dinamika yang semacam itu? Memaknai terus menerus relasi-relasi makna dalam pergulatan relasi-relasi teks yang tak pernah usai. Bisa selesai, ketika diantara relasi-relasi itu -- yang boleh jadi akan bersilang-sengkarut dapat ditemukan satu "simpul benang" yang "kongkrit" juga sebuah simpul "makna" yang dapat diberi identitas sebagai sebuah seni tertulis. * (-_-)
(Yustinus Setyanta)