Kata citra sering kali dimanfaatkan untuk menumbuhkan kepercayaan yang bersifat semu untuk mengelabuhi pandangan masyarakat. Ketika pengamat itu menggunakan pilihan kata citra untuk menegaskan gagasan, tentu yang berkembang dalam benak kita ialah gambaran pribadi-pribadi dalam suatu institusi, organisasi, lembaga, perusahaan, dsb, yang bersikap bersih, jujur, dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat. Inilah citra institusi, gambaran ideal yang diharapkan menjadi kenyataan di tengah masyarakat kita.
Sesungguhnya telah berkembang pengertian yang ambigu mengenai kata citra.
Dalam pandangan hegemoni kekuasaan; kata citra berkemungkinan diartikan sebagai sikap dan perilaku yang mendustai realitas. Citra diartikan sebagai gambaran perilaku tokoh yang diasumsikan baik, perpuji, dan populer, tetapi kenyataan yang sesungguhnya justru berkarakter buruk, tercela, atau biasa-biasa saja. Gambaran yang ingin dicapai tak seindah realitas tokoh dalam kehidupan keseharian.
Dalam pandangan semiotika; kita dapat menafsirk kompleksitas makna untuk menemukan muatan kepalsuan, yaitu sebuah tanda berpretensi mengungkapkan sebuah realitas. Padahal, ungkapan tersebut palsu. Ungkapan itu seolah-olah sudah merepresentasikan realitas. Padahal, baru sebagian kecil unsur realitas tersebut atau permukaan luarnya saja direprensentasikan. Yasraf Amir Piliang dalam buku Hipersemiotika mengutip gagasan Jean Baudrilard, pemikir Prancis, menjelaskan kompleksitas relasi antara tanda, citra dan makna. Pertama, sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Kedua, citra menopengi dan memutar balik realitas, seperti yang terjadi dalam kasus kejahatan. Ketiga, citra menopengi ketidaan realitas, seperti yang terdapat dalam ilmu sihir atau sulap. Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apapun disebabkan citra merupakan simulakrum dirinya sendiri, yang prosesnya disebut simulasi. Dalam wacana kapitalisme atau dalam hegemoni kekuasaan, kata citra dikonstruksi untuk memenuhi tuntutan pengemasan, pesona, kejutan, provnkasi, dan daya tarik sebagai logika komoditas. Kemasan kata citra, pada satu titik, lebih menarik perhatian setiap orang daripada pesan atau makna yang disampaikannya.
Tentu kita berharap, kata citra yang diekspresikan pengamat itu untuk menyampaikan gagasannya terhadap kinerja institusi, organisasi, lembaga sebagai refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda merepresentasikan realitas. Bukan sebuah situasi ketika kata citra diekspresikan untuk menopengi dan memutar balik realitas. Bukan pula kata citra yang dimanfaatkan untu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar