Minggu, 02 Maret 2014

WOIII....APA KABAR????

Hai, apa kabar?”
“Baik. Kalau kau?”
“Baik juga. Terima kasih”
“Syukurlah kalau begitu”
Begitulah percakapan yang umum kita dengar dan kita ucapkan setiap saat, jika kita bertemu dengan teman dan keluarga, terlebih bila dalam jangka kita tidak bersua dengan mereka. Dan entah, kita memang sungguh dalam keadaan baik-baik saja maupun dalam situasi yang teramat sulit, umumnya kita selalu menjawab bahwa semuanya baik dan tidak ada masalah apa-apa. Kita tersenyum walau dalam hati sedang gundah. Karena terkadang kita merasakan bahwa mereka yang menanyakan kabar kita sesungguhnya hanya bertanya sambil lalu. Karena demikianlah kebiasaan yang umum dilakukan oleh orang-orang. Demikianlah yang biasa dipercakapkan saat kita bertemu. Demikianlah.

Maka, walau keadaan kita sungguh buruk, kita tetap memberikan senyum pada orang-orang. Kita tetap memberikan sebuah harapan bahwa sungguh tak ada masalah dalam perjalanan hidup kita. Kita sering hidup dalam kontradiksi, saat apa yang kita tampakkan sama sekali berbeda dengan apa yang kita pikirkan. Dan kita rasakan. Untuk menunjukkan bahwa kita mampu hidup. Untuk menunjukkan bahwa tak ada beban yang tak dapat kita pikul. Kesedihan dan kesusahan kita cukuplah untuk diri kita sendiri. Dan sama sekali tak perlu untuk dibagikan kepada orang lain. Karena mereka tak pernah akan memahami. Karena mereka bisa berbuat apa?

Hidup seseorang memang sesuatu yang unik. Unik dan satu-satunya dalam riwayat masing-masing. Dan takkan pernah sama, walau pengalaman yang dialami mirip atau bahkan serupa. Apa yang ada di dalam pikiran seseorang, apa yang ada di dalam pikiran kita, siapa yang tahu? Bahkan jika pun kita mampu mengutarakannya, sering pengalaman kesusahan kita terasa berlebihan bagi orang lain. Maka jika hidup lebih mudah dengan menyimpan duka kita sedalam-dalamnya, mengapa kita harus mempersulitnya? Bukankah lebih baik kita membagikan cahaya harapan dari pada membuat orang-orang ikut menjadi muram? Apalagi belum tentu mereka mampu membuat kesulitan kita terjawab. Atau bahkan, jangan-jangan mereka bahkan hanya mentertawakan kelemahan kita.

Demikianlah, sebagian besar dari kita setiap saat sering menyembunyikan fakta kehidupan. Dan tentu saja, kita merasa itu adalah hal yang biasa dan umum. Dan tidak ada yang salah dengan situasi demikian. Kesedihan dan kesusahan kita cukuplah untuk diri sendiri. Cukuplah untuk kita saja. Selebihnya biarlah dunia terasa tetap bersinar dengan cahaya harapan dan kegembiraan. Dengan begitu, kita mampu untuk tetap tersenyum. Kita tetap mampu untuk menerima hidup ini apa adanya. Apa adanya. Bukankah itu lebih indah dan bermanfaat, walau mungkin bukan buat kita? Tetapi percayalah, bahwa dengan semangat yang kita berikan, pada akhirnya akan kembali kepada diri kita. Hidup ternyata tidak sesedih dan sesulit gambaran kita. Sebab, syukurlah semua berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana adanya. Susah dan senang punya saatnya sendiri. Punya saatnya sendiri.


Yustinus Setyanta
Jogja



PERSEMBAHAN CINTA

Bukan bunga segar yang kuhantar
Buat persembahan pada-Mu di altar
Hanya untaian bunga pengabdian
Yang layu oleh keringnya jiwa, terimalah Tuhan jadi persembahaan

Bukan pula seonggok harta kuhantar
Buat persembahan pada-Mu dialtar
Hanya segenggam harapan dan cinta
Yank kami rajut dengan benang kasih, seirama

Terimalah Tuhan
Jadi persembahan

Hati ini menyembah-Mu
Jiwa ini berserah pada-Mu
Beri kami cinta dan rahmat
Cukup sudah 'tuk jadi berkat


Yustinus Setyanta




TEMBOK

Walau secara keseluruhan sering kita merasa betapa waktu melintas hampir tak terasa, dan betapa seminggu, sebulan dan setahun berlalu seakan mimpi saja. Namun, di momen-momen saat ini, sering pula kita merasa betapa lambatnya waktu, merambat detik ke detik seakan tak kunjung usai. Dan dalam kehidupan yang bergerak dengan monoton, kita merasa hampa, tak berdaya bahkan membosankan sehingga kadang kita berpikir betapa sia-sianya segala yang sedang kita jalani sekarang.

Kita yang hidup dalam kungkungan tembok tak tembus pandang, kita merasa seakan terjaring dengan jiwa yang penuh luka tetapi tak berdarah, perih tetapi tak mematikan, pilu tetapi tak nyata. Kita merasa ada sesuatu yang salah namun tak tahu apa dan mengapa salah. Hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya. Normal walau menyakitkan. Kadang penuh tawa walau hampa. Dan kita toh masih dapat bertutur dengan penuh semangat namun kosong. Kita kehilangan diri kita disaat kita sadar bahwa kita sungguh nyata ada. Mengapa? Ada apa? Dan untuk apa ini semua kita jalani?

Tembok tebal mengelilingi kita. Bukan hanya sekedar tembok beton empat dinding tetapi lebih dari itu. Dia tak nyata namun terasa. Dia tak berwujud namun ada. Kita pun hidup dan bergerak sebagai alat mekanis tanpa jiwa, sering hanya bertindak sebagai gema yang menirukan segala apa yang dianggap biasa dan normal oleh sekeliling kita sehingga sering kita terperosok dalam jurang kesepian, kesendirian, tak dipahami sekaligus tak memahami hingga tersudut di sisi paling kelam dan gelap dimana kita ingin menyembunyikan diri kita seluruhnya.

Tetapi siapakah kita? Sungguhkah kita ini nyata? Dan jika kita memang nyata, untuk apa kita disini? Apapun yang kita lakukan sering hanya sebatas apa yang diinginkan oleh lingkungan kita untuk lakukan. Dan kita kehilangan kendali atas pikiran dan perasaan kita. Buntu. Tembok-tembok tebal ini sungguh mengungkung kita dalam ketidak-berdayaan yang harus kita terima dan jalani setiap saat. Setiap hari. Tanpa pilihan lain. Tanpa kemungkinan lain. Kita ada tetapi dengan tanda tanya besar. Kita nyata tetapi sesungguhnya itu bukan kita. Bukan kita.

Adakah pilihan lain yang dapat kita lakukan tanpa merusak diri kita dan lingkungan kita? Adakah pilihan lain dari terbenam dan mati tetapi aman atau bangkit dan hidup tetapi melawan semua hal yang terasa menghimpit jiwa kita? Sungguh, hidup sering terasa membosankan, menyakitkan dan bahkan menjadi tanpa harapan. Pahit. Kelam. Waktu berjalan seakan merayap, lamban teramat lamban seakan tak berakhir. Seakan tak berujung. Hingga suatu saat, jauh kemudian, selewat waktu dan kita tetap disini, kita dapat tiba-tiba sadar betapa ternyata sebulan telah hilang. Setahun berlalu. Sepuluh tahun. Dan apa yang telah silam tak mungkin lagi kembali. Tak bakal terulang lagi. Lenyaplah dia. Lenyap...

Yustinus Setyanta

Rabu, 05 Februari 2014

AKU dan SUARA HATIKU

Malam semakin larut...
Dingin menyentuh kulit...
Dan aku disini masih terpekur di..
Sudut rasa...

¤ ¤ ¤ ¤ 
¤ ¤

Sunyi
Senyap
Hanya aku dan suara hatiku
Suara Tuhan.....
Yang membisikan firman-Nya
     lewat detak jantungku
    dan
    lewat simfony alam yang syahdu...

Aku adalah sosok pribadi
Yang terlahir dengan ketidak sempurnaan...
Namun ku mau karya Tuhan...
Terus bekerja dalam diriku...
    aku ingin menjadi bejana-Mu Tuhan
    layakkan aku Tuhan
    pimpinlah dan kuasilah aku Tuhan

Tuhan pakailah aku lewat sentuh-Mu dan bisik-Mu
Berilah dan limpahkan aku kepekaan
       dan kesadaran lewat suara hatiku
Engkau ketuk alam imanku

Tuhan jangan biarkan aku jatuh
        tinggalah dan jadikan hatiku 
        sebagai Mezbah-Mu

Amin

Shalom

-me-

2 mei 1999

Yustinus Setyanta




MANUSIA

Sesungguhnya siapakah kita ini? Jika kita jujur pada diri sendiri, dan mau merenungkan dengan dalam keberadaan kita saat ini, siapakah sebenarnya kita? Apakah kita ini manusia yang penuh daya, penuh kekuasaan? Penuh kemampuan dan kuat menghadapi apa saja? Ataukah kita hanya mahluk yang lemah dan tak berdaya menghadapi situasi dan kondisi kehidupan yang teramat keras ini? Ya, siapakah kita ini? Yang kadang dengan penuh kesombongan membanggakan kekayaan-kekuasaan-kekuatan kita dalam menghadapi kenyataan tetapi sering ceroboh menyamakan kebenaran yang kita pikirkan sebagai kebenaran utuh bagi semua mahluk hidup?

Entah mengapa, tetapi kadang-kadang aku berpikir bahwa kita sering merasa seperti dewa atau dewi yang berhak untuk memaksakan keinginan kita hanya agar kita dapat menikmati hidup. Hanya agar kita senang karena segala keinginan kita dapat terwujud. Padahal, siapa yang tahu hari esok yang akan kita hadapi kelak? Siapa yang bisa memastikan masa depan yang akan kita terima? Siapa? Tidakkah mendadak kita dapat hilang begitu saja dengan tanpa kita sangka-sangka. Dan tanpa kita rencanakan sama sekali? Tidakkah kita sungguh hanya debu yang sekali angin bertiup akan terbang melayang entah kemana seturut angin yang berhembus itu?

Kesadaran akan keberadaan kita selalu menyembunyikan satu kepastian yang berusaha atau mungkin memang sengaja kita lupakan. Ujung hidup. Mati. Kita tidaklah abadi. Kita tak pernah akan kekal. Sesekali mungkin kita menyadari hal itu. Sesekali kita mungkin tahu tentang itu. Tetapi kita lebih senang melupakannya dan hidup hanya untuk sekarang, hari ini, demi kesenangan dan agar segala hasrat dan ambisi kita dapat teraih. Tetapi siapakah kita? Mengapakah dalam kekuatan dan kekuasaan dan kekayaan kita selalu bertindak seakan-akan kita ini jauh dari segala kesia-siaan atas apa yang semua mampu kita miliki?

Mereka yang hidup dalam kesedihan akan berpikir seakan-akan kesedihannya merupakan inti kehidupan. Dan melupakan wajah-wajah lain yang berada bahkan tepat di depannya. Seakan-akan semuanya bersenag hati kecuali dirinya. Mereka yang hidup dalam kegembiraan akan berpikir sekan-akan semua orang pun bergembira dan tak seorang yang nampak susah. Wajah-wajah berseliweran di depannya. Datang dan pergi. Dikenal atau asing. Akrab atau hanya lewat saja. Tetapi wajah-wajah itu bukan dia. Bukan dirinya. Dan itu memang pasti. Tetapi siapakah kita? Apakah kita memang berbeda dengan yang lain?

Kita. Aku. Diri ini. Sesungguhnya adalah sebuah misteri terbesar yang enggan kita selami lebih dalam. Kita. Aku. Seakan-akan pusat kehidupan dan selain dari diri ini sering hanya berada dalam bayang-bayang keterasingan yang tak dikenal dan tak ingin dikenali. Tetapi entah apa mereka memang asing, atau justru diri ini yang terasing, kita sendiri adalah potret kehidupan di dunia yang tidak sempurna. Dan dalam ketidak-sempurnaan itu, kita selayaknya menyadari bahwa kita pun sama seperti dunia ini. Tak sempurna. Dan takkan pernah sempurna.

Maka, sekali lagi, siapakah kita ini? Suatu ketidak-pahaman? Suatu ambisi, hasrat dan keinginan belaka? Waktu berlalu. Dan suatu hari kelak, saatnya akan tiba dan tiba-tiba kita sadar betapa terbatasnya kita. Kita pun akan lewat. Lalu menghilang dalam kenangan. Menghilang lenyap bersama satu kepastian. Kita tak ada lagi disini. Kita tak akan ada lagi. Sirna dalam keabadian. Jadi siapakah kita ini?



Yustinus Setyanta

KABAR ANGIN

Di ruang dingin
Dinding menjelma kuping
Bersekutu dengan angin
Kabar angin pun berdenging

Kaburlah kabar angin
Yang dihembuskan
Mulut-mulut runcing
Orang-orang pun bergunjing
Ada resah
Ada amarah

Dasar kabar angin
Bawa penasaran
Tak jelas
Hanya sepintas
Tak penting
Bikin pening
Tak usah kau hiraukan
Hanya akan membawa prasangka yang bukan-bukan

Diruang dingin
Bersekutu dengan angin
Bila : kawan menikam teman
Matilah kemanusiaan

: dasar kabar angin!!!



Yustinus Setyanta

PRESTASI (Apa Itu Hebat?)

“Apa artinya hebat?” tanya seorang temanku yang cukup terkenal piawai dalam membantu kepanitiaan acara-acara besar. “Apa artinya berhasil?” tanyanya lagi. “Jika kita tahu bahwa sesungguhnya kita bisa berbuat lebih dan lebih lagi jika saja kita tidak terbentur pada masalah dana, pada sumber daya manusia dan sikap pimpinan yang hanya mementingkan tampil diri tanpa mau peduli dengan kondisi yang nyata. Apa artinya menjadi terkenal bila kita tahu bahwa ada banyak kelemahan yang kita miliki?”. Wajahnya muram. Dan nampak demikian tak berdaya dan putus asa.

Ku terhenyak. Dan memahami betapa sikapnya itu mengandung kebenaran. Pemikiran yang sering sama kualami juga. Dalam rapat-rapat perencanaan, betapa banyaknya keputusan yang dibuat oleh para pimpinan demi membuat sebuah acara yang memukau. Tetapi nyatanya, di lapangan, saat pelaksanaan, dimanakah mereka semua? Hanya beberapa orang yang mau dan rela untuk bertarung agar rencana-rencana itu dapat berjalan dengan baik. Dengan mengorbankan waktu, dana dan tenaga hingga tuntas. Tetapi saat acara puncak berlangsung, mereka yang bekerja secara tak terputus surut ke belakang karena yang tampil kemudian adalah para pimpinan yang dengan membanggakan diri mengatakan bahwa itu semua adalah hasil karya mereka. Tanpa rasa bersalah. Tanpa rasa sesal. Tetapi bukankah itu sudah jamak? Mereka adalah pimpinan dan yang lain hanya pekerja?

Maka barangkali soalnya bukan pada kenyataan di lapangan apakah sesuai hasil perencanaan, tetapi pada perbedaan antara ide dan kerja. Sebab dalam pengalaman, memang ada yang mampu memikirkan rencana yang bagus tetapi belum tentu dapat menjalankannya sendiri, dan ada pula yang piawai bekerja untuk menghasilkan sebuah karya yang bagus tetapi mungkin tidak mampu memikirkan dan merencanakan karya itu sendiri. Setiap orang pada akhirnya memiliki prestasi yang sesuai dengan talenta mereka masing-masing. Dan jelas kita tidak dapat menyalahkan mereka. Kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kemampuan yang memang berbeda maka tugas kita hanyalah melaksanakan apa yang kita mampu. Bukan saling menyalahkan. Bukan pula saling melempar tanggung-jawab.

“Apa artinya hebat? Apa artinya prestasi?” Semuanya tidak ada artinya selain dari hanya menjalankan apa yang dapat kita lakukan. Kita masing-masing. Sehingga secara bersama semuanya dapat berjalan dengan baik dan berhasil. Maka prestasi sesungguhnya tidak tergantung pada orang per orang melainkan hasil dari kerjasama yang baik sesuai dengan apa yang dapat dilakukan masing-masing kita yang terlibat. Sesuai dengan kemampuan diri. Sebab, bukankah walau tidak bisa memegang seperti tangan, tetapi kaki dapat berjalan yang tidak bisa dilakukan oleh tangan? Dan walau tak bisa mendengar, mata dapat melihat hal yang tak dapat dilakukan oleh telinga? Dengan demikian, seluruh tubuh bermanfaat sesuai dengan fungsinya masing-masing? Maka perlukah kita merasa kecewa atau sakit hati karena perbedaan-perbedaan itu?

Demikianlah, walaupun kadang kita merasa terganggu oleh sikap dan perbuatan dari mereka yang kita anggap mencuri prestasi kita, mungkin itu terjadi karena kita menganggap bahwa sebuah prestasi adalah milik kita sendiri. Milik orang per orang, bukannya hasil sebuah tim, sebuah kepanitiaan secara menyeluruh. Maka bila kita dapat memahami bahwa walau seakan-akan hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati hasil karya keseluruhan, sebuah prestasi sesungguhnya adalah hasil karya semua yang terlibat maka kita pun dapat menerima bahwa mereka yang tampil di acara-acara hasil karya kita sesungguhnya mewakili kita semua. Bukan mewakili dirinya saja. Sebab memang harus ada yang tampil ke depan. Harus ada yang dapat menampakkan kebanggan tim. Jika tidak, apa gunanya prestasi itu?


Yustinus Setyanta