Senin, 02 April 2018

(Apa itu) SPIRITUALITAS

Pernahkah Anda mendengar atau membaca berita semacam ini "Seorang tokoh spiritual tertangkap karena kriminal....". Mungkin pernah?

Dalam sesi obrolan saya di tanya seorang teman begini "Masa seh guru spiritual kok kayak gitu kelakuannya, kriminal" Saya hanya menjawab "itu mah spiritualitas sebagai aksesori aja"

Nah, jika sudah pernah mendengar berita semacam di atas, sesungguhnya kebutuhan masyarakat terhadap spiritualitas membawa akses terhadap wacana hukum ataupun sosial budaya. Lantas, sebetulnya bagaimana "pemahaman" dan penaganan spiritualitas di tengah-tengah kehidupan masyarakat? Apabila dicerminkan dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana kelanjutan praktik pendidikan spiritualitas di Indonesia?

Transenden dan Imamen

Jika spiritualisat dipahami sebagai suatu wacana tentang nilai supranatural, istilah guru spiritual mestinya dipandang sebagai individu yang mampu mengarahkan orang-orang pada nilai-nilai luhur dan kesempurnaan. Apabila didudukkan dalam kerangka filosofis, spiritualitas dianggap sebagai unsur mendasar yang menyokong kehidupan mental manusia.

Kemampuan memahami segala sesuatu secara spiritual membuat seseorang mampu menemukan makna tentang asal-usul dan tujuan kemanusiaan. Makna spiritual dengan kata lain adalah hakikat yang menyeluruh tentang dunia dan kehidupan.

Akan tetapi, dalam praktik sosial, spiritualitas sering kali bercampur aduk dengan sejumlah kegiatan magis dan klenik. Tidak aneh apabila kemampuan spiritual dipahami sebagai kekuatan xang melampaui pengalaman manusiawi. Seperti mampu berkomunikasi dengan dunia paralel, mampu menghilang, dan melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tak aneh apabila guru spiritual dilekatkan pada individu yang mampu melakukan hal-hal "aneh". Istilah lain guru spiritual adalah dukun, orang pintar, spiritualis, dan paranormal.

Wacana spiritualitas di Indonesia belum mendapatkan penaganan yang memadai, baik di luar maupun di dalam pendidikan formal. Di luar pendidikan formal, spiritualitas menjadi koditas sekelompok orang untuk tujuan-tujuan yang sangat berbeda dengan nilai spiritual itu sendiri. Bukti praktik "spiritual" nyatanya dilakukan orang sebagai individu-individu untuk meramal, memperdaya orang lain, dan dijadikan materi hiburan di tengah-tengah masyarakat.

Di dalam pendidikan formal, spiritualitas merupakan bagian utama dari desain pendidikan. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Permendikbud No 54 Tahun 2013, cukup lengkap memuat tentang empat kemampuan yang harus dimiliki peserta didik.

Empat kemampuan yang dimaksud adalah (1) sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Spiritualitas dalam hal ini dipahami sebagai bukti kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sikap sosial adalah sikap etis, kemampuan pengetahuan adalah logika ilmiah, dan kemampuan dalam keterampilan adalah karya yang ditunjukkan peserta didik.



Spiritualitas Tempelan

Dalam praktiknya, sikap spiritual hanya diarahkan pada ketaatan menjalankan syariat agamanya. Sebagaiman terbaca dalam Permendikbud No 54 Tahun 2013, kempetensi peserta didik dapat terlihat melalui: perilaku yang diidentifikasi melalui indikator "selalu menjalankan hbadah", "kebiasaan mensyukuri nikmat Tuhan", atau "sering mengucapkan salam". Adapun kompetensi sosial mencakup perilaku sopan terhadap orang lain, berprilaku baik, dan penghormatan terhadap norma-norma lokal.

Kesulitan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari adalah mempraktikan empat kompetensi inti di dalam satu mata pelajaran yang menyeluruh. Sebab, kompetensi inti spiritual tampak hanya "ditempelkan" di awal pembelajaran sebelum masuk pada materi pelajaran. Mengapa? Karena, materi spiritual itu dianggap sebagai materi sampingan dan materi pelajaran sebagai materi inti. Padahal, pada saat yang sama, apabila merujuk pada Permendikbud di atas, materi pelajaran dan materi spiritualitas benda dalam kategori kompentensi inti. Akibatnya, kemapuan spiritual tampaknya hanya bisa dikembangkan di luar sekolah karena dianggap kemampuan itu berada di luar nalar.

Berdasarkan kenyataan tersebut, spiritualitas mestinya ditempatkan dalam tiga kerangka ilmiah yang perlu segera ditindaklanjuti para pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Pertama, kemampuan spiritual mestinya menjadi bagian tak terpisahkan dalam praktik material pembelajaran di Indonesia. Dalam peraturan perundang-undangan, kemampuan spiritual itu memang sudah diletakkan pada nomor pertama, tetapi kenyataanya ia tidak mendapatkan perlakuan umtama para pendidik di lingkungan pendidikan.

Kedua, perlu ada pemahaman bahwa spiritualitas merupakan proyek nalar. Semua hanya dipahami ada gagasan kesempurnaan tetapi tidak pernah bisa dicapai melalui nalar. Rene Descartes kemudian memperkenalkan akal sehat sebagai perangkat mencari ilmu pengetahuan yang baru. Berulah kita tahu cara memahami spiritualitas secara rasional dari Immanuel Kant yang memperkenalkan nalar apriori. Melalui prinsip transendensi dan imanesi, di situlah terungkap ada makna kesempurnaan, kebaikan, dan kemuliaan. Jadi, spiritualitas yang tidak masuk akal bukan lagi menjadi pilihan.

Ketiga, pemahaman dalam praktik pembelajaran mestinya menjadikan spiritualitas sebagai asal muasal sekaligus tujuan pendidikan yang menyeluruh. Dengan demikian, siswa tidak hanya diminta mensyukuri ciptaan Tuhan, tetapi juga mampu memahami arti penting materi pelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan mulia dalam wacana kemanusiaan. Itulah kenapa konsep "atas berkat rahmat Allah", misalnya, menjadi bagian dasar pemahaman tentang materi pelajaran sejarah kemerdekaan sebagai termaktub dalam UUD 1945
.
Spiritual adalah kebutuhan hakiki manusia. Ini bukan kultus, juga bukan ritus, melainkan proyek nalar untuk mencapai nilai-nilai luhur manusia dan bukan sebaliknya.




(Yustinus Setyanta)

Minggu, 01 April 2018

SENI BAHASA

Ketika seorang ahli linguistik bertanya "What makes a verbal massage a work of art?" maka inilah salah satu memahami peneguhan posisi puisi dalam bahasa. Memang ihwal puitika sebagai salah satu Fungsi Emotif, fungsi konatif, fungsi fatis dan fungsi metalingual. Akan tetapi, saya kira - teori struktural - fungsional ini tak gampang diabaikan sebagai cara yang "ampuh" untuk menemukan ciri-ciri utama, pun struktur "tak biasa" dalam seni bahasa (verbal art), yang bentuk vepresentasinya adalah puisi.

Struktur yang rumit dan kompleks dalam puisi kerap membuat pembaca puisi awam, ini jadi problem klasik. Mulai dari tingkat pendidikan dasar di sekolah sampai paling tinggi di bangku kuliah. Puisi kerap marjinal daripada memilih puisi sebagai objek kajian sebuah peneletian, lebih baik memilih genre prosa. Maka, tak banyak kita baca, puisi dikaji dalam skripsi-tesis-desertasi, dibanding prosa. Si penulis tak tahu, entah karena memang puisi dianggap sebagai karya sastra yang tidak menarik untuk dikaji.

Puisi, dengan bahasa simbolik yang multi-dimensional itu, ketika dihadap-hadapkan dengan bahasa sehari-hari yang referensial, yang mono-dimensial, memang tampak seperti saling memunggung sehingga banyak orang merasa "asing" dengan puisi. Seolah puisi itu bukan bagian dan terpisahkan dari "bahasa". Akan tetapi lewat teori puitika linguistik (dalam Linguistics and Poetic, 1960 - Roman Jakobson) keduanya saling terkait secara integral. Bahkan, melalui berbagai kajian tentang seni-bahasa, ia meyimpulkan puitika adalah hakikat bahasa "Poetics may be regar ded asan integral part of linguistics". Memang, dia tidak sedang mengatakan "Puitika" itu adalah "Puisi" tetapi, melalui teori puitika (dengan difinisi yang luas) inilah struktur puisi (yang kompleks itu) dapat ditelanjangi.



Meski banyak orang kemudian, para penganut post-struktural terutama, tidak puas dengan Jakobson. Tafsir tekstual ala strukturalisme, semacam ini baru mengupas kulit belum isi sebagaimana juga 

"penolakan" terhadap teori penanda (siginifer) dan tetanda (signified) milik saussure, bahwa tak selamanya antara bentuk dan makna itu bersifat linier lurus, jelas puisi, yang multi-interpretable itu tak bisa selesai dan berhenti hanya pada pembongkaran tanda lapis pertama (the first-order sign system). Tanpa mengungkai lebih lanjut tanda pada lapis kedua (the second-order sign system), puisi masih diselimuti oleh teka-teki. Jika berhenti pada makna-makna denotatif yang ditemukan pada tanda lapis pertama, justru akan membuat puisi miskin makna.

Bagi saya, keduanya penting sama-sama berupaya nenyingkap yang tersembunyi dalam puisi, dalam seni-bahasa. Bahkan, arah kajian puisi kita yang belakangan lebih banyak memakai teori resepsi, dan seolah abai pada struktural, membuat kerumitan struktur bahasa dalam puisi kerap tak terurai dengan tuntas. Semua orang, boleh menjadi penafsir puisi dengan bekal apresiasi dan pengalamannya masing-masing orang-orang, bahkan cenderung semata megejar apa "makna" dalam sebuah puisi menjadi tak sekadar jadi corong pesan. Sampai-sampai kadang, sebagai penyair pun, demikian mengagungkan pesan dan tak secara gigih menemukan struktur "bahasa" puisi yang kokoh.

Maka, kiranya warisan tori Jakobson yang cukup menarik bagi kita; para pecinta puisi, para pembaca puisi, para penikmat puisi, para pekerja seni-bahasa, dsb adalah The principle of equitvalence (prinsip keseimbangan). Sebuah prinsip, yang dapat membuat struktur sebuah puisi menjadi salah satu tiang penyangga bagi kokoknya "kualitas bahasa" atau literainess selain kekuatan makna. Metafora-metafora yang tersembunyi dalam puisi dengan keseimbangan struktur itu akan dikemas dalam sintaksis, sematis, dan fonologis, yang penuh pertimbangan. Dan di situlah seni bahasa bekerja. (*)yts-

"The souind must seem an echo to the sense" Kenapa orang harus sembunyi-sembunyi dalam berkomunikasi?





(Yustinus Setyanta)

TAK ADA YANG HILANG

Tidak ada sesuatu yang hilang 
Yang ada adalah berubah tempat 
dan berubah wujud 

Apakah kita saja yang lupa? 
Atau justru kita yang lalai?



EKONOMI KREATIF (Melompat dengan Ide)

"Sudah saatnya ekon omi kreatif menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Sebab, ekonomi kreatif dapa memberi efek lompatan besar bagi perekonomian bangsa".

Kenyataannya, ekonomi kreatif muncul setelah ekonomi berbasis pertanian, industri dan informasi berkembang. Ekonomi kreatif berarti; menciptakan nilai tambah dari kreativitas sumber daya manusia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, termasuk warisan budaya dan teknologi. Dengan demikian, orang-orang kreatif bersifat berkelanjutan.

Ekonomi akan berperan strategis. Pasalnya, tulang punggung perekonomian yang selama ini menjadi andalan tidak bisa diharapkan keberlanjutannya.

Meski belum masif, ekonomi kreatif di Indonesia terus menerus tumbuh kembang. Warisan budaya nenek moyang jadi modal pengembangan ekonomi kreatif, salah satunya ialah 'Batik'. Hingga kini, batik terus dikembangkan, baik dalam hal motif, corak maupun desain.

Kendati menjanjikan, ekonomi kreatif tidak bisa tumbuh begitu saja. Manusia dengan ide kreatifnya harus mendapat perlindungan atas ide-idenya sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi dari ide itu. Hal itu menjadi stimulus bagi keberlangsungan tumbuhnya ide kreatif.

Yang tak kalah menarik, perlunya meningkatkan apresiasi dan pemahaman mengenai industri kreatif. Tak ketinggalan, menyediakan semakin banyak ruang publik sebagai tempat bagi masyarakat belajar berpikir kritis dan kreatif.

"Sudah banyak dan memiliki orang-orang kreatif. Dan setiap orang saya kira memang kreatif. Tinggal bagaimana mengembangkannya."





(Yustinus Setyanta)

JARING INTERNET

Tidak dapat disentuh tapi bermanfaat
Berjuta manusia menggunakanya
Tanpa mengenal waktu dan tempat
Namun kasap dalam pandangan mata

Semua hal berkaitan dengan internet
Dari para pelajar hingga para duta besar
Disanalah informasi tumpah ruah
Dari pornografi sampai yang paling suci religi


Eranya manusia dimudahkan
Era semua manusia dimanjakan
Era semua manusia dibebas-kan
Tapi bukan berarti bebas tanpa batas
 segala situs diakses dengan bebas

Merajalela
Terketukkah hati kalian








(Yustinus Setyanta)

DI BAWAH HUJAN






















Mengapung kenyataan di bawah hujan 
Saling bergantian melambaikan tangan 
Jarum jam terburu-buru berlarian 
Ingin lekas sampai dalam tujuan

Waktu adalah kumbang matahari dan rembulan 
Kita menikmati kedatangan 
Dan juga kepergian 
Di antara lorong keberadaan


KATA-KATA MENGELEMBUNG

Duduk manis, di kedai berkumpul seraya bebincang dengan teman sembari menikmati air kelapa muda. Seorang teman dari Taiwan masgul ketika mendengar seorang Indonesia berseru "Wah, mau hujan" Pada sebuah sore yang mendung "Waw, bagaimana caranya" Temen dari Taiwan pun bertanya. Ia menyangka temen orang Indonesia itu sedang menginginkan hujan atau berminta (meminta) pada hujan seperti minatnya mengunyah dan mengulum-ngulum es krim.

Dialog kedua teman itu tidak bersangkut paut. Hingga satu teman Indonesia lainnya melerai dan menjelaskan maksud seruan itu "mau hujan" tidak berarti "I want to rain" seperti dalam bahasa Indonesia kendati kata "mau" dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan "want" dalam kamus Indonesia-Inggris". "Mau hujan" dalam kalimat itu memiliki arti "akan hujan", yang padanannya persis sama dengan bentukan dalam bahasa Inggris "It will rain".

Teman dari Taiwan itu menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar penjelasan ini "susah sekali belajar bahasa, ya". Ia sudah menetap di Indonesia selama lima tahun tapi hanya memakai bahasa Indonesia untuk percakapan pendek dengan sopirnya, memesan kopi di restoran atau bertanya arah jalan kepada satpam. Ia mengindari penggunaan kalimat panjang yang memiliki arti komplek dan memilih memakai bahasa Inggris demi menghindari kesalahpahaman dari lawan bicaranya.




Bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu (Riau) yang tentu juga dituturkan oleh orang jawa dan sunda, yang sesungguhnya tidak punya akar dan pertautan genetika dengan bahasa Melayu. Di kampung-kampung di jawa, tak sedikit orang yang memandang aneh mereka yang berbicara dalam "bahasa Jakarta" varian lain dari bahasa melayu. Dikalangan menegah bahkan tak jarang menuai semacam cibiran jika bertemu dengan orang yang memakai "bahasa Indonesia yang baik dan benar" utamanya dalam percakapan lisan.

Bahasa Indonesia itu (bagi saya rumit) bahasa percakapan dan bahasa tulisan berbeda. Dalam bahasa lisan meski dalam banyak bahasa lain di dunia juga terjadi, kalimat bahasa Indonesia sering tak komplek dan mengandung konteks yang hanya diketahui oleh orang Indonesia.


Ketika teman sejawat asal Taiwan tersebut mendengar lagi kalimat yang berbunyi "Wah, dia mah orangnya suka drama" teman itu menyangka kalimat itu sepadan dengan "Dia menyukai (film) drama". Padahal artinya lain sama sekali. Seperti sebuah poster dengan tulisan yang berbunyi "Bagi kamu yang suka drama" ini tak berarti imbuhan untuk mereka yang menyukai film cerita.


Arti kata "drama" dalam bahasa percakapan telah memuai dan menggelembung arti lain yang tak dimiliki kata lain. "Drama" dalam kalimat "dia mah orangnya suka drama" berarti orang itu suka melebih-lebihkan situasi yang biasa saja menjadi dramatis entah karena pengaruh senitron yang memang acap melebih-lebihkan peristiwa biasa saja. Kata "drama" diterima dalam percakapan publik baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia dengan arti sebagai orang yang gemar mendramatisasi keadaan "Drama" sebagai kata benda yang tercantum dalam kamus berubah menjadi kata kerja dalam percakapan.


Demikian pula kata "mantan" yang dalam percakapan seolah-olah hanya merujuk pada "bekas pacar". Padahal kata ini melekat pada kata lain yang merujuk pada jabatan seperti, misalnya: Mantan Menteri Dalam Negeri, Mantan Camat, Mantar Rektor. Sebuah kata akan menemukan arti baru jika dipakai secara terus menerus dengan arti seperti itu. Mungkin benar. Sebuah pernyataan tersebut.


Kerugian lain makin banyak orang asing yang kesulitan mempelajari bahasa ini karena tak ada patokan yang jelas orang asing di sini tak hanya orang di luar Nusantara tapi kita semua yang karena orang Indonesia pun masih harus mempelajari bahasa ini dengan susah-sungguh. (Apalagi buat saya sendiri )





(Yustinus Setyanta)